SEJARAH PERKEMBANGAN
HADITS PADA PERIODE
PERTAMA
MAKALAH
Diajukan Untuk Tugas Terstruktur Pada Mata Kuliah Ulumul
Hadits
Dosen
Pegampu :
Ujang rohman, M.Ag
Oleh :
Nama
: Dedi Mulyana
NIM
: 1136000028
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2014/1435H
BAB I
PENDAHULUAN
Hadist memang mengalami perkembangan yang sangat pesat mulai dari
masa Nabi masih hidup, masa para sahabat, thabi’in hingga pada masa sekarang
terus mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pada masa periode pertama yakni
masa Nabi itu masa awal munculnya hadist karena hadist berasal dari Nabi
Muhammad SAW dan terus berkembang sehingga sampai pada kita sekarang ini.
Hadits Nabi telah ada sejak awal perkembangan Islam adalah
sebuah kenyataan yang tak dapat
diragukan lagi. Hadits Nabi merupakan sumber ajaran Islam, di samping al-Qur'an. "Haditsatau
disebut juga dengan Sunnah, adalah segala sesuatu yang bersumber atau
didasarkan kepada Nabi SAW., baik berupa
perketaan, perbuatan, atau taqrir-nya. Hadits, sebagai sumber ajaran Islam
setelah al-Qur'an, sejarah perjalanan hadits tidak terpisahkan dari sejarah
perjalanan Islam itu sendiri. Akan tetepi, dalam beberapa hal terdapat
ciri-ciri tertentu yang spesipik, sehingga dalam mempelajarinya diperlukan
pendekatan khusus".
Pada zaman Nabi, hadits diterima dengan mengandalkan hafalan para
sahabat Nabi, dan hanya sebagian hadits yang ditulis oleh para sahabat Nabi.
Hal ini disebabkan, "Nabi pernah melarang para sahabat untuk menulis
hadits beliau. Dalam pada itu, Nabi juga pernah menyuruh para sahabat untuk
menulis hadits. Dalam sejarah, pada zaman Nabi telah terjadi penulisan hadits,
misalnya berupa surat-surat Nabi tentang ajakan memeluk Islam kepada sejumlah
pejabat dan kepala negara yang belum memeluk Islam. Seiring dengan berjalannya
waktu dewasa ini umat Islam banyak yang hanya memahami tentang hadist, akan
tetapi tidak mengetahui bagaimana hadist itu muncul ketika jaman Nabi dan
beberapa dinamika di dalamnya lantas bagaimana sejarah hadist pada periode
pertama.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
perkembangan ilmu hadist pada masa Nabi hidup
Membicarakan hadits pada masa rasulullah,
berarti membicarakan hadits pada awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan
terkait langsung dengan pribadi Rasulullah SAW sebagai sumber hadits.
Rasulullah SAW membina umatnya selama 23 tahun.
Masa ini cukup singkat, dimulai sejak tahun 13 sebelum Hijriah atau bertepatan
dengan 610 Masehi sampai dengan tahun 11 Hijriah atau bertepatan dengan 632
Masehi. Masa ini merupakan kurun waktu turunya wahyu dan sekaligus
diwurudkannya Hadits. Keadaan ini sangat menuntut keseriusandan kehati-hatian
para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran islam.
Wahyu allah SWT kepadanya dijelaskannya melalui
perkataan (aqwal),
perbuatan (af’al),
dan penetapan (taqriir)-nya. Sehingga apa yang
didengar, dilihat dan disaksikan oleh para sahabatmerupakan pedoman bagi
amaliah dan ubudiyah mereka. Nabi muhammad
merupakan contoh satu-satunya bagi para sahabat, karena ia memiliki sifat kesempurnaan
dan keutamaan selaku Rasul Allah SWT yang berbeda dengan manusia lainya.
Ketika masa Nabi masih
hidup ditengah-tengah para sahabat, hadits tidak ada persoalan karena jika
menghadapi suatu masalah atau skeptis dalam suatu masalah mereka langsung bertemu
dengan beliau untuk mengecek kebenarannya. Pada masa itu pemalsuan hadits-pun
tidak pernah terjadi menurut pendapat para ulama ahli hadits.
Sekalipun pada masa nabi
tidak dinyatakan adanya ilmu hadits, tetapi para peneliti hadits memperhatikan
adanya dasar-dasar dalam Al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW. Misalnya anjuran
pemeriksaan berita datang dan perlunya persaksian yang adil.
Allah SWT telah berfirman
dalam surat Al-Hujarat (49): 6, yang artinya “Hai orang-orang yang beriman,
jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan
teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu”.
Demikian juga dalam surat
Al-Baqarah (2): 282, yang artinya “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi
dari orang-orang lelaki diantaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka boleh
seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai,
supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya”.begitupun dalam
surat At-Thalaq (65):2 Allah SWT berfirman, yang artinya: “Persaksikanlah
dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu”.
Ayat-ayat di atas menunjukkan
pemberitaan dan persaksian orang fasik tidak diterima. Muslim mengatakan,
sekalipun pemberitaan dan persaksian tidak sama pengertiannya, tetapi dalam
beberapa hal mempunyai arti yang sama. Ayat-ayat diatas tersebut berarti memerintahkan
untuk memeriksa, meneliti, dan mengkaji berita yang dibawa seorang fasik yang
tidak adil. Tidak semua berita yang dibawa seseorang dapat diterima sebelum
diperiksa siapa pembawanya dan apa isi berita tersebut.
B.
Permasalahan
mempelajari ilmu hadist pada masa Nabi
Para sahabat memang mengalami beberapa permasalahan atau hambatan
untuk mempelajari hadist, banyak diantara sahabat yang tidak terlalu bagus
tentang hafalan mengalami permasalahan karena pada jaman nabi hadits tidak
boleh dituliskan, sedangkan hadist banyak sekali yang diucapkan nabi dan apa
yang dilakukanNya itu adalah hadist. Maka hanya beberapa sahabat yang mampu
mempelajari hadits dengan lancer dan hanya sahabat yang mempunyai hafalan yang
baik seperti halnya Abu Hurairah yang paling banyak meriwayatkan hadits,
yakni 5374 hadits lalu ‘abdullah Ibn
‘Umar Ibn Khattab yang meriwayatkan 2603 hadits.
Setelah nabi membolehkan menulis hadist maka sahabat tidak terlalu
sulit untuk mempelajari hadits, dan jika ada yang tidak dimengerti sabahat langsung
menanyakan kepada nabi.
C.
Bagaimana Nabi
mengajarkan hadits pada para sahabat
Metode yang di
gunakan Nabi saw untuk mengajarkan hadist di bagi menjadi 3 :
1. Metode Lisan
Nabi saw
adalah guru bagi sahabat-sahabatnya untuk memudahkan hafalan dan pengertian,
Beliau biasa mengulangi tiga kali dalam penyampaian hal-hal penting. Sesudah
mengajari sahabat, biasanya Beliau mendengarkan lagi yang sudah sahabat
pelajari. Selain itu Beliau juga memberikan pertanyaan-pertanyaan untuk
mengetahui sejauh mana pengetahuan sahabat dalam menangkap ilmu yang telah
disampaikan oleh Nabi.
2. Metode tulisan
Yaitu Nabi
saw menyebarkannya melalui surat-surat panjang yang ditujukan kepada Raja -
raja, Penguasa, Kepala Suku, dan Gubernur Muslim yang berisikan tentang hukum zakat,
pajak, bentuk-bentuk ibadah, sebagai pedoman agar terbebas dari dosa kecil
maupun dosa besar.
3. Metode praktek
Dengan
metode ini Nabi saw mengajarkan cara-cara wudlu, sholat, puasa, haji. Dalam
segi kehidupan Beliau memberikan pelajaran praktek disertai perintah yang jelas
untuk mengikutinya. Nabi bersabda “Sholatlah sebagaimana kalian melihat Aku
sholat.”
D. Masa pertumbuhan hadits dan cara
para sahabat memperolehnya
Hadis-hadis Nabi yang terhimpun di
dalam kitab-kitab Hadis yang ada sekarang adalah hasil kesungguhan para Sahabat
dalam menerima dan memelihara Hadis di masa Nabi saw dahulu, adapun cara-cara
Para Sahabat untuk memperoleh hadis Nabi saw antara lain yaitu:
1. Mendatangi majelis-majelis taklim
yang diadakan Rasul saw. Apabila mereka berhalangan hadir, maka mereka mencari
Sahabat yang kebetulan hadir bersama Nabi saw ketika itu untuk meminta apa yang
telah mereka peroleh dari beliau.
2. Mengikuti kemanapun Nabi saw
melangkah, kemudian beliau menjelaskan hukumnya kepada para Sahabat tentang
peristiwa yang dialami Nabi saw selama perjalanan yang sedang disaksikan
Sahabat. Apabila para Sahabat yang hadir dalam menyaksikan peristiwa itu
banyak, maka berita tentang peristiwa itu akan segera tersebar luaskan. Namun
apabila yang hadir hanya sedikit maka Rasulullah memerintahkan mereka yang
hadir untuk memberitahukan kepada yang berhalangan hadir.
3. Kadang-kadang terjadi sejumlah
peristiwa pada diri para Sahabat, kemudian mereka menanyakan hukumnya kepada
Rasulullah saw dan beliau memberikan fawa atau penjelasan hukum tentang
peristiwa itu.
4. Menyaksikan dan menirukan perbuatan
yang dilakukan Rasulullah saw yang sering kali yang berkaitan dengan tata cara
pelaksanaan ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan lainnya. Kemudian
mereka menyampaikan kepada para Sahabat atau generasi-generasi sesudahnya atas
apa yang telah mereka saksikan.
E. Sebab hadits tidak boleh ditulis
ketika Nabi menyampaikannya
Hadist atau sunnah nabi tidak ditulis seperti
Al-Qur’an, karena ada larangan Nabi Saw, yang khawatir andaikan campur dengan
Al-Qur’an, Menghindarkan umat
menyandarkan ajaran Islam kepada hadis saja dan Khawatir
dalam meriwayatkan hadits salah, dan tidak sesuai dengan yang disampaikan Nabi
Muhammad SAW. Seperti halnya dalam hadist dibawah
ini:
Artinya: Dari Said Al-Khudri bahwasannya
Rasululah SAW bersabda ”jangan kamu menuliskan sesuatu dariku, dan siapa yang
menuliskan selain dari Al-Qur’an maka hendaklah ia menghapusnya’ (HR.Muslim).
Meskipun demikian, hadits Nabi saw tetap
dihafal dan diriwayatkan oleh para Shahabat ra , karena Nabi saw bersabda:
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيْثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ وَ رُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ
“Semoga Alloh menjadikan putih cemerlang seseorang yang mendengar sebuah hadits dari kami, kemudian menghafalkan dan menyampaikannya karena mungkin saja terjadi orang membawa ilmu kepada orang yang lebih faham darinya, dan mungkin terjadi orang yang membawa ilmu tidak faham tentang ilmunya itu. (HSR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, danAl-Hakim).
F.
Kedudukan usaha para sahabat untuk menulis
hadits
Riwayat-riwayat yang benar menceritakan bahwa sebagian
sahabat mempunyai lembaran-lembaran yang tertulis hadits. Mereka bukukan
didalamnya sebagian hadits yang mereka dengar dari Rasulullah SAW, seperti
Shahifah Abdullah Ibn Amer Ibn ‘Ash yang dinamai Ash Shadiqah.
Ada pula riwayat yang menerangkan baha Ali mempunyai sebuah
shahifah, ditulis didalamnya hukum-hukum diyat yang diberatkan kepada keluarga
dan lain-lainnya. Sebagian sahabat menyatakan keberatannya terhadap pekerjaan
yang dilakukan Abdullah itu. Mereka berkata kepada Abdullah, “Anda selalu
menulis apa yang ada dengar dari Nabi, padahal beliau kadang-kadang dalam
keadaan marah, lalu beliau menuturkan sesuatu yang tidak dijadikan syariat
umum”.
Mendengar
itu Abdullah pergi bertanya kepada Nabi, apakah boleh dia menulis hadits-hadits
yang didengarnya dari Nabi. Nabi bersabda :
“Tulislah
apa yang kamu dengar daripadaku, demi Tuhan yang jiwaku ditangan-Nya, tidak
keluar dari mulutku selain kebenaran”.
G. Pembatalan larangan menulis hadist
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa larangan
menulis hadits yang di-nasakh-kan oleh hadits Abu said, di-mansukh-kan dengan
izin yang datang sesudahnya. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa
larangan menulis hadits tertentu terhadap mereka yang akan dikhawatirkan akan
mencampuradukkan hadits dengan Al-Quran. Izin hanya diberikan kepada mereka
yang tidak dikhawatirkan mencampuradukkan hadits dengan Al-Quran.
Tegasnya, mereka berpendapat bahwa tidak ada
pertentangan antara larangan dan keizinan, apabila kita pahami bahwa yang
dilarang adalah pembukuan resmi seperti halnya Al-Quran, dan keizinan itu
diberikan kepada mereka yang hanya menulis sunnah untuk diri sendiri.
Memang kita dapat menetapkan bahwa larangan itu
dihadapkan umat secara umum, sedangkan keizinan hanya untuk beberapa orang
tertentu. Riwayat Abdullah ibn Amr menguatkan pendapat ini.
Dikatakan pula kebolehan menulis hadits secara
tidak resmi, oleh riwayat Al-Bukhary yang meriwayatkan bahwa ketika Nabi dalam
sakit berat, beliau meminta dituliskan pesan-pesannya untuk menjadi pegangan
umat. Akan tetapi, karena ketika itu Nabi dalam keadaan sakit berat, Umar
menghalangnya karena ditakuti menambah berat sakit Nabi.
Dapat pula dipahamkan, bahwa sesudah Al-Quran
dibukukan, ditulis dengan sempurna dan telah pula lengkap turunnya, barulah dikeluarkan
izin menulis hadits. Diantara hadits-hadits Nabi yang memerintahkan sahabat
untuk menuliskan hadits sebagai berikut:
Dari Rafi’I Ibnu Khudaij dia menceritakan “kami
bertanya kepada Rasulullah” ya Rasulullah sesungguhnya kami mendengar banyak
hadits dari engkau apakah kami boleh menuliskannya? Rasulullah menjawab
“tuliskanlah olehmu untukku dan tidak ada kesulitan (HR.Khatib).
Dari keterangan diatas dapat dipahami bahwa
Rasulullah membolehkan untuk menulis hadits, bahkan Nabi yang menyuruh para
sahabat untuk menuliskan hadits hadits tersebut.
BAB III
SIMPULAN
Perkembangan hadits pada masa nabi masih hidup
tidak mengalami permasalah seperti sekarang, tidak ada pemalsuan hadits karena
bisa langsung ditanyakan kepada Nabi ekalu pemuka hadits dan karena ucapan dan
perilaku beliaulah hadits itu ada. Namun para sahabat mengalami kesulitan untuk
mempelajari hadits karena hadits dilarang untuk ditulis, hanya para sahabat
yang mempunyai hafalan yang baguslah yang dengan mudah mempelajari hadits.
Nabi mengajarkan hadits kepada para sahabat
melalui 3 metode yakni lisan, tulisan dan praktek. Para sahabat memperoleh
hadits dengan medatangi majlis majlis, mengikuti Rasul dan menanyakan ketika
ada sesuatu yang terjadi. Memang pada saaat itu hadits sempat tidak boleh
ditulis oleh para sahabat katena Rasul kwatir hadits tercampur dengan
Al-Qur’an. Walaupun begitu ada riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa Abdullah
Ibn Amer Ibn Ash mempuyai tulisan tulisan tentang hukum diyat.
Kemudian sesudah Al-Quran dibukukan, ditulis
dengan sempurna dan telah pula lengkap turunnya, barulah dikeluarkan izin
menulis hadits. Diantara hadits-hadits Nabi yang memerintahkan sahabat untuk
menuliskan hadits sebagai berikut:
Dari Rafi’I Ibnu Khudaij dia menceritakan “kami
bertanya kepada Rasulullah” ya Rasulullah sesungguhnya kami mendengar banyak
hadits dari engkau apakah kami boleh menuliskannya? Rasulullah menjawab
“tuliskanlah olehmu untukku dan tidak ada kesulitan (HR.Khatib). Dengan adaya
pemjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa hadits boleh ditulis.
DAFTAR PUSTAKA
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits,
Pustaka Rizki Putra, Semarang, Cet. Kedua,
1998.
Dts.
Munzier Suparta, MA., Ilmu Hadits. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.2003.
Musthafa
Azami Muhammad; Memahami Ilmu Hadis,
Jakarta, Lentera, 1993
Al-Hajjaj
Al-Naisaburi Muslem, Sahih Muslim, Beirut: Dar Al-Fikr 1414/1993, Juz.2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar