MORAL DAN EMOSI
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Mata Kuliah
Psikologi Perkembangan
Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
KELOMPOK
Deden Ramdani 11360000
Dedi Mulyana 11360000
Anglin Windowati 11360000
Anis Novelia Nurjannah 11360000
Esti Susilawati 1136000041
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG
DJATI
BANDUNG
1432-1433 H/ 2011-2012 M
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur kami panjatkan
kehadirat Allah SWT, yang telah menciptakan langit dan bumi dan segala isinya.
Tak lupa sholawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada junjungan
kita semua Nabi Muhammad Saw, yang mana beliau telah membawa umatnya dari zaman
kegelapan ke zaman yang terang benderang. Juga kepada keluarganya, sahabatnya,
dan para pengikutnya yang selalu taat kepada ajarannya.
Berkat rahmat dan inayah Allah,
akhirnya kami dapat menyelesaikan Tugas yang diberikan oleh Ibu Rosleny
Marliana dalam mata kuliah Psikologi Perkembangan ini.
Kami menyadari tugas ini masih jauh
dari kesempurnaan, oleh karenanya kami
mengharapkan kritik dan saran untuk pembuatan tugas selanjutnya.
Dan akhirnya kami kembalikan
semuanya kepada Allah SWT, karena dialah pemilik kesempurnaan, semoga apa yang
kami lakukan mendapatkan pahala dan ridho serta ampunannya. Amin.
TIM
PENYUSUN
DAFTAR ISI
|
|
KATA
PENGANTAR
|
i
|
DAFTAR ISI
|
ii
|
BAB I
PENDAHULUAN
|
1
|
A.
Latar
Belakang
|
1
|
B.
Rumusan
Masalah
|
|
BAB
II PEMBAHASAN
|
|
A.
Moral
|
|
1.
Pengertian Moral
|
|
2.
Tahapan Perkembangan Moral
|
|
3.
Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral
|
|
4.
Teknik Penerapan
Disiplin dan Hal Penting
|
|
5.
Kerawanan Dalam
Perkembangan Moral
|
|
6.
Moral Dalam
Perspektif Islam
|
|
B.
Emosi
|
|
1.
|
|
2.
|
|
3.
|
|
4.
|
|
5.
|
|
6.
|
|
7.
|
|
BAB III
PENUTUP.........................................................................
|
|
A.
Simpulan............................................................................
|
|
B.
Saran....................................................................................
|
|
DAFTAR
PUSTAKA...................................................................
|
|
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Moral
merupakan ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban
dan sebagainya. Dengan kata lain bahwa moral berkaitan dengan kemampuan untuk
membedakan perbuatan yang benar dan yang salah sebagai alat kendali dalam
bertingkah laku. Moral sering dianggap sebagai prinsip dan patokan yang
berhubungan dengan benar dan salah oleh masyarakat tertentu, dapat pula
diartikan sebagai perilaku yang sesuai dengan norma benar atau salah tersebut.
Disamping nilai dan moral ada juga sikap, yang menurut Gerung sikap secara umum
diartikan sebagai kesediaan bereaksi individu terhadap sesuatu hal . Sikap
merupakan motif yang mendasari tingkah laku seseorang.
Adapun emosi, selain dipengaruhi
oleh pengindraan dan pikiran, perilaku manusia juga disertai oleh perasaan atau
emosi. Perasaan itu bisa positif (senang) dan bisa juga negatif (tidak senang).
Perasaan senang maupun tidak senang selalu mewarnai perilaku kita sehari-hari.
Perbedaan antara perasaan dan emosi tidak dapat dinyatakan dengan tegas, karena
keduanya merupakan sesuatu kelangsungan kualitatif yang tidak jelas batasnya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian moral?
2.
Apa saja faktor yang mempengaruhi
perkembangan moral?
3.
Apa pengertian emosi?
4.
Apa saja hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam perkembangan emosi?
BAB II
PEBAHASAN
MORAL DAN EMOSI
A.
MORAL
1.
Pengertian Moral
Secara
etimologis, kata moral berasal dari kata ‘mos’ dalam bahasa latin, yang bentuk
jamaknya ‘mores’, yang artinya adalah tata cara atau adat istiadat . Moral juga
diartikan sebagai aklak, budi pekerti, atau susila”.[1]
Secara
terminologis, terdapat berbagai pendapat tentang pengertian moral yang dilihat dari
segi subtansi materilnya memang tidak nampak perbedaan, namun dalam bentuk
formalnya berbeda. Widjaja, menyatakan bahwa moral adalah ajaran baik atau
buruknya suatu perbuatan. Al-Ghazali, mengemukakan bahwa akhlak padanan dari
kata moral merupakan suatu watak yang melekat erat dalam diri manusia dan
merupakan asal dari timbulnya suatu perbuatan tertentu dari diri manusia.
Moral
yaitu keputusan untuk melakukan sesuatu berdasarkan pertimbangan norma yang
berlaku dan nilai yang dianutnya.[2]
2. Tahapan Perkembangan Moral
1. Kohlberg
Lawrence
Kohlberg membagi perkembangan moral menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat
prekonvensional, tingkat konvensional, dan tingkat postkonvensional.[3]
Berikut ini adalah tiga tingkat perkembangan moral
menurut Kohlberg:
a). Tingkat
Prekonvensional
Pada
tingkat pertama ini, anak sangat tanggap terhadap norma-norma budaya, misalnya
norma-norma baik atau buruk, salah atau benar, dan sebagainya. Anak akan
mengaitkan norma-norma tersebut sesuai dengan akibat yang akan dihadapi atas
tindakan yang dilakukan. Anak juga menilai norma-norma tersebut berdasarkan
kekuatan fisik dari yang menerapkan norma-norma tersebut.
b). Tingkat
Konvensional
Pada
tingkat perkembangan moral konvensional, memenuhi harapan keluarga, kelompok,
masyarakat, maupun bangsanya merupakan suatu tindakan yang terpuji. Tindakan
tersebut dilakukan tanpa harus mengaitkan dengan konsekuensi yang muncul, namun
dibutuhkan sikap dan loyalitas yang sesuai dengan harapan-harapan pribadi dan
tertib sosial yang berlaku.
Pada tingkat ini, usaha seseorang untuk memperoleh,
mendukung, dan mengakui keabsahan tertib sosial sangat ditekankan, serta usaha
aktif untuk menjalin hubungan positif antara diri dengan orang lain maupun
dengan kelompok di sekitarnya.
c). Tingkat
Postkonvensional
Pada
tingkat ketiga ini, terdapat usaha dalam diri anak untuk menentukan nilai-nilai
dan prinsip-prinsip moral yang memiliki validitas yang diwujudkan tanpa harus
mengaitkan dengan otoritas kelompok maupun individu dan terlepas dari hubungan
seseorang dengan kelompok. [4]
2.
Piaget
Adapun menurut
Piaget ia percaya bahwa struktur kognitif dan kemampuan kognitif anak adalah
dasar dari pengembangan moralnya. Kemampuan kognitif itulah yang kemudian akan
membantu anak untuk mengembangkan penalaran yang berkaitan dengan masalah
sosial.
Piaget
membagi tahap perkembangan moral anak menjadi dua tahapan, yaitu tahap
heteronomous dan tahap autonomous.
Tabel Tahap
Perkembangan Moral Piaget[5]
Tahap heteronomous
(tahap realisme moral)
Anak usia <12 tahun
|
Tahap Autonomous
(tahap independensi moral)
Anak usia >12 tahun
|
Diberi label tahap
moralitas kendala
|
Diberi label tahap
moralitas kerjasama
|
Aturan dipandang sebagai
paksaan dari orang yang lebih dewasa
|
Aturan dipandang sebagai
hasil kesepakatan bersama
|
Menilai perilaku moral
berdasarkan konsekuensinya
|
Menilai perilaku moral
berdasarkan niat pelakunya
|
Hukuman dipandang sebagai
konsekuensi otomatis dari pelanggaran
|
Hukuman dipandang sebagai
sesuatu hal yang tidak serta merta, namun dipengaruhi oleh niat pelakunya
|
3. Faktor yang Mempengaruhi
Perkembangan Moral
a. Bimbingan
dalam mempelajari bagaimana membuat konsep khusus berlaku umum.
Dengan
percaya saja bahwa remaja telah mempelajari prinsip pokok tentang benar dan
salah, orang tua dan guru jarang menekankan dalam usaha pembinaan remaja untuk
melihat hubungan antara prinsip khusu yang dipelajari sebelumnya dengan prinsip
umum yang penting untuk mengendalikan perilaku dalam kehidupan orang dewasa.[6]
b. Disiplin
yang diterapkan di rumah dan di sekolah.
Karena
orang tua dan guru mengasumsikan bahwa remaja mengetahui tentang apa yang
benar, maka penekanan kedisiplinan hanya terletak pada pemberian hukuman pada
perilaku salah yang dianggap sengaja dilakukan. Penjelasan mengenai alasan
salah tidaknya suatu perilaku jarang ditekankan dan bahkan jarang memberi
ganjaran bagi remaja yang berperilaku benar.[7]
4.
Teknik Penerapan Disiplin dan Hal
Penting
Lawrence Kolhberg
menyatakan bahwa sejalan dengan kematangan anak secara kognitif, mereka
mengalami tiga tahapan penalaran moral (moral reasoning). Namun orang dapat
berpikir secara moral tanpa berperilaku bermoral. Psikologi perkembangan
mempelajari bagaimana anak menginternalisasikan standar hal-hal baik dan buruk
dan berperilaku sesuai dengan standar tersebut. Kemampuan ini tergantung dari
suara hati dan emosi moral seperti rasa bersalah, malu, empati, dan kemampuan
anak untuk belajar mengelola dorongan, keinginan dan perasaan mereka.[8]
Metode pengasuhan oleh orang tua untuk mendisiplinkan
anak memiliki konsekuensi yang berbeda-beda terhadap perilaku moral anak. Power
assertion diasosiasikan dengan anak-anak yang agresif dan gagal untuk
menginternalisasikan standar moral. Namun efek dari hukuman fisik seperti
memukul tergantung dari konteks keluarga dan dari tingkat keparahan dan
frekuensi dari hukuman tersebut.[9]
Kemampuan anak yang masih sangat muda untuk mengelola
dan mengendalikan dorongan dan perasaan diasosiasikan dengan internalisasi
standar moral dan suara hati yang baik. Kemampuan ini meningkat jika ibu
menggunakan induksi sebagai bentuk pendisiplinan utama. Kemampuan ini juga
dapat mencerminkan trait kepribadian yang relatif stabil, karena cenderung
muncul pada masa yang sangat awal di kehidupan dan konsisten sepanjang waktu
dan dalam berbagai situasi.[10]
5.
Kerawanan Dalam Perkembangan Moral
Pada masa remaja,
laki-laki dan perempuan telah mencapai apa yang oleh Piaget disebut tahap
pelaksanaan formal dalam kemampuan kognitif. Sekarang remaja mampu
mempertimbangkan semua kemungkinan untuk menyelesaikan suatu masalah dan
mempertanggungjawabkannya berdasarkan suatu hipotesis atau proposisi. Jadi, ia
dapat memandang masalahnya dari beberapa sudut pandang dan menyelesaikannya
dengan mengambil banyak faktor sebagai dasar pertimbangan.[11]
Pembentukkan kode moral terasa sulit bagi remaja
karena ketidakkonsistenan dalam konsep benar dan salah yang ditemukannya dalam
kehidupan sehari-hari. Ketidakkonsistenan membuat remaja bingung dan terhalang
dalam proses pembentukkan kode moral yang tidak hanya memuaskan tetapi akan
membimbingnya untuk mendapatkan dukungan sosial. Lambat atau cepat sebagian
remaja mengerti, misalnya, bahwa teman dari latar belakang yang berbeda akan
mempunyai kode moral yang berbeda pula.[12]
Perilaku berbohong sosial yang dilakukan oleh anak
sebenarnya dilakukan dalam upaya untuk menghindari kemungkinan menyakiti hati
orang atau dalam masalah mencontek dilakukan agar mendapat nilai besar. Karena
hal ini sudah umum, remaja menganggap bahwa bahwa teman-temannya akan
memanfaatkan perilaku ini dan membenarkannya jika demi diterima di sekolah
tinggi yang akan menunjang keberhasilan di masa depan.
Selain itu, kerawanan dalam perkembangan moral terjadi
jika seorang remaja telah mengenal minat pada lawan jenis dan merekan akan
menemukan pola perilaku tertentu bagi lawan jenisnya yang tidak hanya
dibenarkan tetapi juga dihargai meskipun sangat tidak dibenarkan dan tidak
sesuai dengan norma-norma tertentu terutama norma agama.
6.
Moral Dalam Perspektif Islam
Berbicara tentang moral atau etika berarti
berbicara tentang sesuatu yang bertalian dengan baik buruknya perilaku manusia. Setiap bayi yang dilahirkan
membawa potensi beragam, namun bentuk perilaku yang akan muncul tergantung dari
bimbingan, pemeliharaan dan pengaruh orang tua mereka. Sehingga tepatlah kalau
dikatakan pendidikan keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan moral
anak.
Nilai-nilai moral yang dimaksud pun tidak terlepas dari
ajaran-ajaran normativitas agama Islam seperti yang telah dicontohkan oleh
Rasul. Rasulullahpun bersabda dalam sebuah Hadits yang berbunyi:
Dari Muhammad bin Ajlan dari al-Qa’qa bin Hakim dari
Abu Shalih dari Abu Hurairah berkata: Bersabda Rasulallah SAW: .Sesungguhnya
aku diutus ke muka bumi ini adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia (H.R. Ahmad).
Tentang eratnya hubungan agama dengan moral ini
kita dapat menganalisa dari keseluruhan ajaran agama Islam itu sendiri, bahwa
akhirnya akan berujung pada pembentukan moral. Perintah mengucapkan dua kalimat
syahadat misalnya yang merupakan inti awal masuknya seseorang ke dalam agama
Islam, mengandung pesan moral agar segala ucapan dan perbuatannya dimotivasi
oleh nilai-nilai yang berasal dari Tuhan dan Rasul-Nya,
Menurut
al-Qur’an, ketika Allah menciptakan sesuatu hal (khalq), Ia memberikan
sifat-sifat, potensi-potensi, dan hukum-hukum tingkah laku, baik berupa
perintah atau petunjuk kepadanya, sehingga semua unsur makhluk mengikuti sebuah
pola tertentu. Manusia adalah satu-satunya kekecualian, karena ia diberikan
kebebasan untuk mentaati dan mengingkari perintah-Nya. Itulah sebabnya mengapa
sedemikian pentingnya bagi manusia untuk mendengarkan hati nuraninya, walaupun
syetan selalu melancarkan intrik-intriknya.
Adanya kebebasan memilih pada
manusia atas tingkah laku moral tertentu tidak lain disebabkan Allah telah
menyertakan kepada manusia suatu potensi yang bisa dipakai untuk membedakan
antara yang baik dan buruk, benar dan salah. Pada dasarnya Allah telah
memberikan pilihan atas tingkah laku moral tertentu yang seharusnya menjadi
pilihan manusia. Akan tetapi karena kepicikannya, maka manusia mempunyai sifat
yang suka terburu nafsu, panik, dan tidak mengetahui akibat jangka panjang dari
apa yang dipilih dan dilakukannya.
Terkait dengan moralitas atau
akhlak manusia ini, al-Ghazali membuat pembedaan dengan menempatkan manusia
pada empat tingkatan. Pertama, terdiri dari orang-orang yang lengah,
yang tidak dapat membedakan kebenaran dengan yang palsu, atau antara yang baik
dengan yang buruk. Nafsu jasmani kelompok ini bertambah kuat, karena tidak
memperturutkannya. Kedua, terdiri dari orang yang tahu betul tentang
keburukan dari tingkah laku yang buruk, tetapi tidak menjauhkan diri dari
perbuatan itu. Mereka tidak dapat meninggalkan perbuatan itu disebabkan adanya
kenikmatan yang dirasakan dari perbuatana itu. Ketiga, orang-orang yang
merasa bahwa perbuatan buruk yang dilakukannya adalah sebagai perbuatan yang
benar dan baik. Pembenaran yang demikian dapat berasal dari adanya kesepakatan
kolektif yang berupa adat kebiasaan suatu masyarakat. Dengan demikian
orang-orang ini melakukan perbuatan tercelanya dengan leluasa dan tanpa merasa
berdosa. Keempat, orang-orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan
buruk atas dasar keyakinannya.[13]
B.
EMOSI
Perilaku kita sehari-hari pada
umumnya diwarnai oleh perasaan-perasaan tertentu, seperti senang atau tidak senang,
suka atau tidak suka, atau sedih dan gembira. Perasaan yang terlalu menyertai
perbuatan-perbuatan kita sehari-hari disebut sebagai warna afektif. Warna
afektif ini kadang-kadang kuat, kadang-kadang lemah, atau kadang-kadang tidak
jelas. Apabila warna afektif tersebut kuat, proses seperti itu dinamakan emosi.
1. pengertian emosi
Emosi
adalah perasaan intens yang ditujukan kepada seseorang atau sesuatu. Emosi
adalah reaksi terhadap seseorang atau kejadian. Emosi dapat ditunjukkan ketika
merasa senang mengenai sesuatu, marah kepada seseorang, ataupun takut terhadap
sesuatu.
Kata
"emosi" diturunkan dari kata bahasa Perancis, émotion, dari émouvoir,
'kegembiraan' dari bahasa Latin emovere, dari e- (varian eks-) 'luar'
dan movere 'bergerak'. Kebanyakan ahli yakin bahwa emosi lebih cepat
berlalu daripada suasana hati. Sebagai contoh, bila seseorang bersikap kasar,
manusia akan merasa marah. Perasaan intens kemarahan tersebut mungkin datang
dan pergi dengan cukup cepat tetapi ketika sedang dalam suasana hati yang
buruk, seseorang dapat merasa tidak enak untuk beberapa jam.
Frieda, N.H. “Moods, Emotion
Episodes and Emotions”, New York: Guilford Press, 1993, hal. 381-403.
Ekman, P. “The Nature of Emotion”,
Oxford, UK: Oxford University Press, 1994.
2. peran emosi dalam perkembangan anak
Secara umum , emosi memiliki fungsi dan peranan
dalam kehidupan seseorang sebagai berikut:
1.
Merupakan
bentuk komunikasi sehingga anak dapat menyatakan segala kebutuhan dan
perasaannya pada orang lain. Sebagai contoh, anak yang merasakan sakit atau
marah biasanya mengekspresikan emosinya dengan menangis. Menangis merupakan
bentuk komunikasi anak dengan lingkungannya pada saat ia belum mampu
mengutarakan perasaannya dalam bentuk bahasa verbal. Demikian juga halnya ekspresi
tertawa terbahak-bahak, ataupun memeluk ibunya dengan erat. Ini merupakan
contoh bentuk komunikasi anak yang bermuatan emosional.
2.
Emosi berperan
dalam mempengaruhi kepribadian dan
penyesuaian diri anak dengan lingkungan sosialnya, antara lain:
a. Tingkah laku anak yang ditampilkan merupakan
sumber penilaian lingkungan sosial terhadap dirinya.
b. Emosi menyenangkan atau tidak menyenangkan
dapat mempengaruhi interaksi sosial anak melalui reaksi-reaksi yang ditampilkan
lingkungan.
c. Emosi dapat meempengaruhi iklim psikologis
lingkungan.
d. Tingkah laku yang sama dan ditampilkan secara
berulang dapat mnejadi satu kebiasaan.
e. Ketegangan emosi yang dimiliki anak dapat
menghambat aktivitas motorik dan mental anak.
LN, Syamsu
Yusuf. 2011. Psikologi Perkembangan Anak
dan Remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mashar, Riana.
2011. Emosi Anak Usia Dini dan Strategi
Pengembangannya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
3. peran maturasi dan belajar dalam perkembangan emosi anak
- Faktor Maturasi
Perkembangan intelektual menghasilkan kemampuan
untuk memahami makna yang sebelumnya tidak dipahami, memperlihatkan rangsangan
dalam jangka waktu yang telah lama, dan memutuskan ketegangan emosi dalam satu
obyek. Demikian pula kemampuan mengingat dan menduga mempengaruhi reaksi
emosional. Dengan demikian anak-anak menjadi reaktif terhadap rangsangan yang
tadinya tidak mempengaruhi mereka pada usia yang lebih muda (Ahmasi, 1990: 88).
Perkembangan kelenjer endokrin perlu untuk
mematangkan perilaku emosional. Bayi secara relatif kekurangan produksi
kelenjar endokrin yang diperlukan untuk menopang rekasi fisiologi terhadap
sters. Kelenjar adrenalin memainkan peran utama pada emosional mengecil secara
tajam segera setelah bayi lahir. Tidak lama kemudian kelenjar itu mulai
membesar lagi, dan membesar dengan pesat sampai anak berusia lima tahun,
pembesarannya melambat pada usia 5 dan usia 11 tahun, dan membesar lebih pesat
lagi sampai anak berusia 16 tahun pada usia 16 tahun kelenjar tersebut mencapai
kembali ukuran semula seperti pada saat anak lahir.
- faktor Belajar
Ada beberapa metode yang menunjang perkembangan
emosi anak, antara lain :
- Tiral and error learning; anak belajar secara coba-coba untuk mengekspresikan emosi dalam bentuk perilaku yang memberikan pemuasan terbesar kepadanya dan menolak perilaku yang memberikan pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberikan pemuasan.
- Leraning by initation, belajar dengan cara meniru sekaligus mempengaruhi aspek rangsangan dan aspek reaksi.
- Learning by identification, belajar dengan cara menidentifikasi diri sama dengan belajar menirukan.
- Conditioning; dalam metode ini obyek dan situasi yang pada umumnya gagal memancing reaksi emosional kemudian dapat berhasil dengan cara asosiasi.
- Traning; pelatihan atau belajar dengan bimbingan dan pengawasan, terbatas pada aspek reaksi
- Metode Belajar yang Menunjang perkembangan Emosi
- Belajar secara coba dan ralat
Belajar secara coba dan ralat (trial and
error learning) terutama melibatkan aspek reaksi. Anak belajar secara
coba-coba untuk mengekspresikan emosi dalam bentuk perilaku yang memberikan
pemuasan terbesar kepadanya dan menolak perilaku yang memberikan pemuasan
sedikit atau sama sekali tidak memberikan pemuasan. Cara belajar ini lebih umum
digunakan pada masa kanak-kanak awal dibandingkan dengan sesudahnya, tetapi
tidak pernah ditinggalkan sama sekali.
- Belajar dengan cara meniru
Belajar dengan cara meniru (learning by
imitation) sekaligus mempengaruhi aspek rangsangan dan aspek reaksi. Dengan
cara mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi tertentu pada orang lain,
anak-anak bereaksi dengan emosi dan metode ekspresi yang sama dengan
orang-orang yang diamati. Sebagai contoh, anak yang peribut mungkin menjadi
marah terhadap teguran guru. Jika ia seorang anak yang popular di kalangan
teman sebayanya, maka teman-teman yang lain juga akan ikut marah kepada guru
tersebut.
- Belajar dengan cara mempersamakan diri
Belajar dengan cara mempersamakan diri (learning
by identification) sama dengan belajar secara menirukan, yaitu anak
menirukan reaksi emosional orang lain dan tergugah oleh rangsangan yang sama
dengan rangsangan yang telah membangkitkan emosi orang yang ditiru. Metode ini
berbeda dari metode menirukan dalam dua segi. Pertama, anak hanya menirukan
orang yang dikagumi dan mempunyai ikatan emosional yang kuat dengannya. Kedua,
motivasi untuk menirukan orang yang dikagumi lebih kuat dibandingkan
dengan motivasi untuk menirukan sembarang orang.
- Belajar melalui pengkondisian
Pengkondisian (conditioning) berarti
belajar dengan cara asosiasi. Dalam metode ini obyek dan situasi yang pada
mulanya gagal memancing reaksi emosional kemudian dapat berhasil dengan cara
asosiasi. Metode ini berhubungan dengan aspek rangsangan, bukan dengan aspek
reaksi. Pengkondisian terjadi dengan mudah dan cepat pada tahun-tahun awal
kehidupan karena anak kecil kurang mampu menalar, kurang pengalaman untuk
menilai situasi secara kritis, dan kurang mengenal betapa tidak rasionalnya
reaksi mereka. Setelah lewatnya masa kanak-kanak awal, penggunaan metode
pengkondisian semakin terbatas pada perkembangan rasa suka dan tidak suka.
- Pelatihan
Pelatihan (training) atau belajar di
bawah bimbingan dan pengawasan, terbatas pada aspek reaksi. Kepada anak
diajarkan cara bereaksi yang dapat diterima jika sesuatu emosi terangsang.
Dengan pelatihan, anak-anak dirangsang untuk bereaksi terhadap rangsangan yang
biasanya membangkitkan emosi yang menyenangkan dan dicegah agar tidak bereaksi
secara emosional terhadap rangsangan yang membangkitkan emosi yang tidak menyenangkan.
Hal ini dilakukan dengan cara mengendalikan lingkungan apabila memungkinkan.
Suryabrata,
Sumadi. (1984). Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UGM Press.
4. karaktristik emosi anak
5. pola/ bentuk reaksi emosi anak dan ciri utama setiap reaksi emosi sesuai tahap perkembangannya
6. hal- hal yang perlu d perhatikan dalam perkembangan emosi
5. pola/ bentuk reaksi emosi anak dan ciri utama setiap reaksi emosi sesuai tahap perkembangannya
6. hal- hal yang perlu d perhatikan dalam perkembangan emosi
7. emosi dalam
perspektif islam
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia akan
merasakan berbagai macam perasaan atau sering kita kenal emosi. Psikolog telah
meneliti persoalan emosi ini secara detail. Alquran telah menggambarkan
berbagai macam emosi manusia. Demikian juga dengan hadist-hadist Nabi, banyak
yang menjelaskan berbagai macam emosi manusia, seperti cinta, takut, marah,
benci, sedih, malu, iri, cemburu dan emosi-emosi lainnya.
1.
Cinta
Al-Qur’an menjelaskan tentang cinta
kepada Allah SWT. Cinta kepada Allah SWT adalah tujuan setiap mukmin juga merupakan kekuatan pendorong
untuk takut kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Cinta
seorang mukmin kepada Allah SWT akan melampaui cintanya kepada dirinya,
anak-anak, istri, ibu, bapak, keluarga, dan hartanya.
Artinya; “Katakanlah, ‘jika
bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, keluarga kalian, harta
kekayaan yang kalian usahakan, perdagngan yang kalian khawatirkan kerugiannya,
dan rumah-rumah yang kalian sukai, lebih kalian cintai daripada Allah dan
Rasul-Nya serta berjidad di jalannya, maka tunggulah oleh kalian hingga Allah
mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada
orang-orang fasik.” (Q.S. At-Taubah [9] : 24)
Cinta
dan ibadah seorang mukmin kepada Allah SWT. Merupakan kebutuhan yang paling
luhur dan tujuan yang paling puncak. Dengan cinta dan ibadah itu, seorang
mukmin dapat mewujudkan sebesar-besarnya kebahagiaan, kegembiraan , kesenangan,
keamanan, dan ketentraman, baik di dunia ataupun di akhirat.[14]
2.
Takut
Takut adalah satu bentuk yang mendorong
individu untuk menjauhi sesuatu dan sedapat mungkin menghindari kontak dengan
suatu hal.[15]
Rasa takut sangat bermanfaat dalam kehidupan manusia karena perasaan ini akan
mendorongnya menjauhi sesuatu yang akan menyakiti dirinya. Dan rasa takut yang
paling penting dalam kehidupan seseorang adalah rasa takutnya terhadap siksa
Allah. Hal ini dapat mendorong seseorang untuk mengerjakan kewajiban-kewajiban
agamanya. Allah berfirman :
Artinya :
Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu)
dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu
takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang
beriman. [16]
Penelitian muktahir membuktikan bahwa rasa
takut yang berkadar normal akan mendorong manusia untuk melakukah hal- hal
baik. Sementara rasa takut yang berlebihan akan menimbulkan keresahan yang
berefek negartif pada kualitas kerja.[17]
Dari hasil penelitian ini pun kita dapat
menyimpulkan bahwa rasa takut yang
berlebihan akan adzab Allah dapat menimbulkan sikap putus asa dari rahmat
Allah. Sedangkan sikap optimis yang berlebihan mengharap rahmat Allah akan
menyebabkan manusia menyepelekan agamanya. Oleh karena itu menyatukan antara
rasa takut terhadap rahmat Allah dan pengharapan terhadaprahmat Allah harus
seimbang. Perpaduan dari kedua perasaan ini mampu menghasilkan energi pendorong
yang akan mengarahkan manusia pada perilaku yang lurus. Allah SWT berfirman :
Artinya :
lambung mereka jauh dari tempat tidurnya[18]
dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap,
serta mereka menafkahkan apa apa rezki yang Kami berikan. ( QS. AS-Sajdah : 16)
3.
Marah
Marah merupakan emosi yang sifatnya fitrah
dan akan muncul apabila salah satu motif tidak terpenuhi, atau terlambat untuk
terpenuhi. Jika marah terjadi karena adanya penghalang dalam mencapai tujuan
yang sangat penting dalam kehidupan atau satu tujuan luhur yang diperjuangkan
dalam mencapai kesempurnaan kepribadian kita maka marah iini adalah marah yang
terpuji. Allah memuji kemarahan Rasulullah saw dan para sahabat saat berjuang
melawan orang- orang kafir dalam rangka dakwah islamiyah. Allah SWT berfirman :
Artinya :
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah
keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. (QS.
Al- Fath :29)
Rasulullah saw melukiskan peranggai ini,
khususnya yang terjadi pada organ jantung seseorang ketika marah. Organ tubuh
ini pun akan dipenuhi darah akibat jantung memompa darah kebagian atas badan,
khususnya bagian wajah. Oleh karena itu, orang yang sedang marah biasanya merasa suhu tubuhnya merasa panas. Abu Sa’id
Al-Khudri meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda : “Ingatlah bahwa marah
adalah bara api didalam hati anak Adam. Tidakkah kalian melihat kedua matanya
yang memerah dan urat lehernya yag menegang.[19]
4.
Benci
Rasa benci merupakan lawan dari rasa cinta.
Ada hubungan erat antara marah dan benci. Sesuatu yang dapat membangkitkan rasa
marah biasanya juga sesuatu yang bisa mengobarkan kebencian. Rasulullah saw
bersabda : “Penyakit beberapa umat manusia menimpa kalian, yaitu hasud dan
benci.”[20]
Seorang mukmin yang cinta dan benci karena
Allah merupakan tanda kesempurnaan iman. Seorang mukmin yang mencintai manuia,
hewan, dan cinta kepada seluruh makhluk Allah, inilah yang dimaksud cinta
karena Allah. Adapun benci karena Allah adalah benci terhadap keburukan dalam
bentuk apapun, benci terhadap tindakan menyakiti manusia, dan kepentingan umum
lainnya.
Kebanyakan manusia membenci maut. Al-quran
telah mengisyaratkan hal ini dalam firmannya :
Artinya :
Diwajibkan atas kamu berperang, Padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu
benci. boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh
Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS albaqarah 216 )
5.
Sedih
Rasa sedih
merupakan letupan emosi yang dirasakan seseorang saat ia kehilangan seseorang
ataupun sesuatu yang berharga bagi dirinya. Dari sejak lahir
manusia sudah pandai menangis dan tersenyum. Setelah mulai menapaki kehidupan
orang belajar dari lingkungannya kapan tempatnya tertawa dan kapan pula
menangis. Q.S. al-Najm [53]: 43 menjelaskan:
“Dan bahwasanya Dialah yang
menjadikan orang tertawa dan menangis.”
Pada umumnya, yang kita kenali dalam ekspresi emosi sedih
adalah tangis. Akan tetapi, tidak berarti bahwa setiap orang yang
menangis pasti bersedih, karena ternyata ada tangis bahagia, tangis haru, atau
bahkan ada tangis pura-pura seperti terjadi pada kisah saudara-saudara Yusuf.
Ekspresi lain adalah raut wajah yang menggambarkan suasana hati ketika sedang
bersedih: dingin, pucat, pandangan lesu, tanpa senyum, tidak bergairah.
[1] Kamus besar bahasa indonesia, jakarta : balai
pustaka, 1989
[2] Dr. H. Mahmud, M.Si. psikologi pendidikan
(Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2010), Hal. 358
[3]
Slavin, R.E. 2006. Educational psychology theory and practice. United states of
amerika: john hopkins university.
[6]
Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan, (Jakarta : Erlangga,
1980), hal. 225
[7]
Ibid., hal. 225
[8]
Carol Tavris dan Carole Wade, Psikologe
Edisi Kesembilan Jilid 2, (Jakarta : Erlangga, 2007), hal. 280
[9]
Ibid., hal. 280
[10]
Ibid., hal. 225-226
[11]
Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan, (Jakarta : Erlangga,
1980), hal. 225
[12]
Ibid., hal. 226
[13]
M. Abul Quasem, Etika Al-Ghazali, (Bandung: Pustaka, 1988)
[14]
Muhammad Usman Najati, Psikologi Dalam
Al-quran, (Bandung : Pusaka Setia,2005),hlm.99
[16]
QS. Ali Imran : 175
[17]
Muhammad Ustman Najati, Psikologi Sempurna ala Nabi Saw (Bandung
:Pustaka Hidayah, 2008 ) hlm.105
[18] Maksudnya mereka tidak tidur di
waktu biasanya orang tidur untuk mengerjakan shalat malam.
[19]
HR. Tirmidzi (Nashif, vol. V, hlm. 298-299)
[20]
HR Tirmidzi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar