Kamis, 05 Maret 2015

MAKALAH PERKEMBANGAN HADITS PADA ABAD KE IV DAN V




PERKEMBANGAN HADITS PADA ABAD KE IV DAN V
MAKALAH
Diajukan Untuk Tugas Terstruktur Pada Mata Kuliah Ulumul Hadits
Dosen Pegampu :
Ujang rohman, M.Ag

Oleh    :
Nama : Dedi Mulyana
    NIM   : 1136000028


 









FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2014/1435H
BAB I
PENDAHULUAN
Pada abad ke IV dan ke V ini adalah abad dimana dilakukan pelestarian hadits atau yang disebut dengan pengkodifikasian hadits. Kodifikasi atau tadwin secara bahasa adalah mengikat yang terpisah dan mengumpulkan yang tercecer kepada satu diwan/kitab. Dan tadwin secara istilah adalah aktifitas  mengklasifikasikan dan penyusunan.
Sejarah pengumpulan dan penulisan Hadith dan ilmu Hadith telah melewati fase historis yang sangat panjang semenjak Nabi SAW, sahabat, tabi’in dan seterusnya hingga mencapai puncaknya pada kurun abad III Hijriyah. Perjuangan para ulama Hadith yang telah berusaha dengan keras dalam melakukan penelitian dan penyeleksian terhadap hadish, mana yang soheh dan mana yang da’if, telah menghasilkan metode-metode yang cukup kaya, mulai dari metode penyusunan dalam berbagai bentuknya (musnad, sunan, jami’ dan lain-lainnya), hingga kaidah-kaidah penelusuran Hadith. Kaidah-kaidah tersebut akhirnya menjadi disiplin ilmu tersendiri yang kemudian disebut dengan ilmu Hadith.
Namun, karena pembukuan Hadith baru bisa di lakukan dalam rentang waktu yang cukup lama (hampir seratus tahun) setelah Nabi Muhammad SAW wafat, ditambah lagi dengan kenyataan sejarah bahwa banyak Hadith yang dipalsukan, maka keabsahan Hadith-Hadith yang beredar di kalangan kaum muslimin menjadi rancau, meskipun mereka telah meneliti dengan seksama.
Pengkodifikasian hadis-hadis Rasulullah saw secara resmi baru dimulai  100 tahun setelah Rasulullah SAW wafat. Tepatnya pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz. Pada awal perkembangan islam, pengkodifikasian hadis tidak terlalu penting karena pada waktu itu banyak sekali orang-orang yang mengetahui hadis Nabi. Seiring dengan perjalanan waktu, orang-orang yang hafal terhadap Al-Hadis semakin berkurang disebabkan mereka gugur di peperangan. Maka dengan segera umat Islam mengantisipasiya dengan melakukan kodifikasi hadis.
Akan tetapi kodifikasi Hadis tidak mungkin dapat dilakukan tanpa ada usaha sebelumnya. Para sahabat telah menyusun pondasi-pondasi kodifikasi dengan menghafal sabda Rasulullah SAW dengan hafalannya mereka yang terkenal kuat. Di samping itu terdapat sebagian sahabat yang mencatat hadis-hadis ke dalam catatan mereka.
Kemudian usaha yang dilakukan pada masa sahabat ini terus dikembangkan oleh generasi Tabi'in dan generasi selanjutnya  menggunakan sistem sanad.  Sehingga kodifikasi yang dilakukan secara resmi pada paruh pertama dari abad kedua dan seterusnya dapat dipertanggung jawabkan dan diuji keotentikannya.














BAB II
PEMBAHASAN

A.    KODIFIKASI HADITS PADA ABAD KE IV

      Dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan periwayatan Hadith mulai berkembang, sejalan dengan banyaknya ulama’ yang tertarik untuk menulis fatwa-fatwa dari para Sahabat dan Tabi’in dalam permasalahan-permasalahan yang timbul pada waktu itu. Dan untuk mengantisipasi hilangnya Hadith-Hadith nabi, karena adanya Hadith-Hadith palsu yang menyebar di kalangan sahabat yang wafat dalam menegakkan agama Allah, maka usaha penulisan dan kodifikasi (tadwin) Hadith semakin keras di lakukan para ulama’ di kalangan Tabi’in.
      Kodifikasi atau tadwin Hadith, artinya ialah pencatatan, penulisan, atau pembukuan Hadith. Secara individual, seperti diuraikan dalam pembahasan diatas, pencatatan telah dilakukan oleh para Sahabat sejak zaman Rasul SAW. Akan tetapi yang dimaksud dalam pembahasan ini, ialah kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah khalifah, dengan melibatkan beberapa personil yang ahli dalam masalah ini. Bukan yang dilakukan secara perseorangan atau untuk kepentingan pribadi, seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya.
      Dan yang perlu digaris bawahi dalam pembahasan kodifikasi Hadith adalah, bahwa kodifikasi Hadith ini terjadi pada akhir qurun partama, dan pembahasan tentang kaidah-kaidah kodifikasi Hadith belum ditulis  pada waktu itu, akan tetapi hanya dikonsep dalam hati para penulis, dan di hati mereka terdapat Hadith- Hadith pilihan sebelum masa kodifikasi. Pun pula para perowi  dan  pengumpul Hadith tidak mempunyai dasar-dasar dan kaidah-kaidah tertulis penyusunan, akan tetapi mereka mempunyai dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang sempurna dalam hati walaupuntidak bisa diwujudkan dalam kenyataan.
      Setelah agama islam tersiar luas di masyarakat, dipeluk dan dianut oleh penduduk yang bertempat tinggal diluar jazirah Arabia, dan para sahabat mulai terpencar di beberapa wilayah, bahkan tidak sedikit jumlahnya yang telah meninggal dunia, maka terasalah perlunya Al-Hadith di abadikan dalam bentuk tulisan dan kemudian di bukukan dalam dewan Hadith.Urgensi ini menggerakkan hati Khalifah Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah Bani Umayyah yang menjabat antara tahun 99 H sampai tahun 101 H, untuk menulis dan membukukan Al-Hadith.
      Usaha kodifikasi Hadith yang pertama ini yang dipimoin oleh khalifah Umar bin ‘abdul Aziz  ( khalifah bani umayyah VIII ), melalui intruksinya kepada pejabat daerah agar memperhatikan dan mengumpulkan Hadith dari para penghafalnya. Intruksi khalifah yang pertama ini pertama kali di sampaikan pada Abu Bakr bin Muhammad ibn ‘mr ibn Hazm ( Gubernur Madinah ), ia mengirim instruksi yang iainya:
انظرماكان حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم فاكتبوه , فانى حفت دروس العلم وذهاب العلماء ولاتقبل الا حديث الرسول
“Perhatikan atau periksalah Hadith- Hadith Rasul SAW kemudian tulislah ! Aku khawatir akan lenyapnya ilmu dengan meninggalnya para ulama (para ahlinya). Dan janganlah kamu terima kecuali Hadith- Hadith dari Rasul SAW”
Dengan adanya perintah dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz tersebut, para ulama mulai menulis dan membukukan Hadith dan pada waktu itu pula masjid-masjid dipenuhi para yang melakukan pengkajian dan pembahasan Hadith. Perintah tersebut diikuti dengan kebijaksanaan penggunaan sebagian Bait al-Mal  untuk membiayai kegiatan penulisan Hadith. Ibn Syihab al-Zuhri adalah orang yang pertama yang melaporkan pengumpulan Hadith pada permulaan abad ke-2.  Kemudian disusul oleh ulama yang lain bersamaan dengan kegiatan Ulama dalam bidang Ilmu-ilmu agama lainya,seperti Ilmu fikih, ilmu kalam, dan sebagainya. Oleh karena itu, masa ini dikenal dengan ‘ashr al-tadwin (masa pembukuan).
Abu bakr ibn Hazm berhasil menghimpun Hadith- Hadith yang ada pada ‘Amrah binti ‘Abd al-Rahman al-Anshari (murid kepercayaan ‘A’isyah),yang menurut Ulama tidaklah begitu lengkap.Sedangkan Ibn Syihab al Zuhri berhasil menghimpunnya, yang menurut penilaian para Ulama lebih lengkap. Akan tetapi, sayang sekali karya dari kedua ulama Tabi’in ini lenyap, tidak sampai diwariskan kepada generasi sekarang.
1. Motif utama Khalifah Umar bin Abdul Aziz berinisiatif membukukan Hadith:
a. Kemauan beliau yang kuat untuk tidak membiarkan Hadith seperti waktu yang sudah-sudah. Karena beliau hawatir akan hilang dan lenyapnya Hadith dari perbendaharaan masyarakat, disebabkan belum dikodifikasikannya dalam diwan Hadith.
b. kemauan beliau yang keras untuk membersihkan dan memelihara Hadith dari Hadith- Hadith maudlu’  yang di buat oleh orang-orang untuk mempertahankan ideologi golongannya dan mempertahankan madzhabnya, yang mulai tersiar sejak awal berdirinya kekhalifahan Ali bin Abi Thalib r.a .
c. Alasan tidak didewankannya Hadith secara resmi di zaman Rasulullah SAW dan Khulafa al-rasyidin, karena adanya kekawatiran bercampur dengan Al-Quran.
d. Kalau zaman Khulafa al-Rasyidin belum pernah dibayangkan dan terjadi peperangan antara orang muslim dengan orang kafir, demikian juga perang saudara orang muslim yang kian hari kian menjadi-jadi, yang sekaligus berakibat berkurangnya jumlah ulama ahli Hadith.

            Setelah berlalu abad ke 3 yang merupakan masa keemasan bagi perkembangan ilmu-ilmu islam, khususnya ilmu-ilmu tentang hadis Nabi. Ulama pada abad ke 4 ini mengikuti usaha pendahulu mereka dalam berkhidmat kepada Sunnah Nabi saw.
Abad ke empat ini merupakan abad pemisahan antara ulama Mutaqaddimin, yang dalam menyusun kitab hadits mereka berusaha sendiri menemui para sahabat atau tabi’in atau tabi’in yang menghafal hadits dan kemudian menelitinya sendiri, dengan ulama mutaakhirin yang dalam usahanya menyusun kitab-kitab hadits, mereka hanya menukil dari kitab-kitab yang disusun oleh ulama mutaqaddimin.
Mereka berlomba-lomba untuk menghafal sebanyak-banyaknya hadits-hadits yang telah dikodifikasikan, sehingga tidak mustahil sebagian dari mereka sanggup menghafal beratus-ratus ribu hadits. Sejak periode inilah timbul bermacam-macam gelar keahlian dalam ilmu hadits, seperti gelar al-Hakim dan al-Hafidz. Adapun Kitab – kitab yang masyhur hasil ulama abad ke-empat, antara lain :

1.  Mu’jamu al-Kabir, M’jamu al-Awsath, Mu’jamu al-Shaghir, karya al-Imam Sulaiman bin Ahmad al-Tabrany (360 H.).
2.     Sunan al-Daruquthny, karya al-Imam Abdul Hasan Ali bin Umar bin Ahmad al-Daruquthny (306-385 H.).
3.    Shahih bin ‘Auwanah, karya Abu ‘Auwanah Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim al-Asfayainy (354 H.).
4.      Shahih Ibnu Khudzaimah, Karya Ibnu Khudzaimah Muhammad bin Ishaq (316 H.).

2.      Perkembangan Kodifikasi Pada Abad ini
Di antara mereka ada menyusun kitab hadis mengikuti metode kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim dalam mentakhrij hadis-hadis shahih. Diantaranya:
a). Shahih Ibn Khuzaimah (223 H-311 H)
b). Shahih Ibn Hibban (>270 H-354 H)
c). Al Mustadrak al-Hakim (321 H-405 H)
Ada pula beberapa ulama yang menyusun kitab hadis dengan menggunakan  metode As-Sunan dalam penyusunannya. Diantaranya:
a). Muntaqo ibn Jarud (w. 307 H)
b). Sunan Ad-Daruquthni (306 H-385 H)
c). Sunan Al-Kubra Al-Baihaqi (384 H-458 H)
Muncul pula pada masa ini kitab hadis yang sangat bemanfaat sekali dalam menjelaskan antara hadis yang tampaknya bertentangan. Diantaranya: Syarh Musykil al-Atsar Ath-Thahawi (239 H-321 H)
Pada masa ini pun para ulama ada yang membuat kitab hadis yang mentartib hadis-hadis berdasarkan nama sahabat periwayatnya. Diantaranya: Mu’jam Al-Kabir Ath-Thabrani (260 H-360 H)
Beberapa ulama membuat kitab-kitab Mustakhraj. Mustakhraj artinya adalah yang dikeluarkan, maksudnya adalah seorang mengeluarkan (meriwayatkan) hadis dari satu kitab, dan sanadnya dari dia sendiri. Lalu sanadnya bertemu dengan syaikh pengarang kitab itu, selanjutnya bertemu dengan rawi yang lebih atas dari syaikh tersebut.
Diantara kitab Mustakhraj ini adalah:
a). Mustakhraj Abu Bakar Al-Isma’ili  ‘ala Shahih al-Bukhari (w. 371 H)
b). Mustakhraj Muhammad bin Ahmad bin Al-Hasan Al-Ghatrifi ‘ala al Bukhari (w. 377 H)
c). Mustakhraj Ibn Abi Dzihlin ‘ala al-Bukhari (w. 378 H)
d). Mustakhraj Ahmad bin Musa bin Mardawaih Al-Ashbahani ‘ala Shahih al-Bukhari (w. 416 H)
e). Mustakhraj Ya’qub bin Ishaq Al-Isfirayaini ‘ala shahih Muslim (w. 316 H)
f). Mustakhraj Ahmad bin Salamah An-Naisaburi ‘ala Shahih muslim (w. 286 H)
g). Mustakhraj Ahmad bin Hamdan bin ‘Ali Al-Hairy An-Naisaburi ‘ala Muslim (w. 311 H)
h). Mustakhraj Muhammad bin Muhammad bin Raja’ An-Naisaburi ‘ala Muslim (w. 286 H)
i). Mustakhraj Muhammad bin Muhammad bin Yusuf Ath-Thusi ‘ala Shahih Muslim (w. 344 H)

B. KODIFIKASI HADIS PADA ABAD KE 5
Pada abad ini para ulama mencoba membuat kumpulan hadis dengan metode jam’i. Yaitu metode penggabungan antara dua kitab atau lebih kitab. Kitab ini dikutip dari beberapa kitab hadis abad sebelumnya. Diantaranya:
1.   Al-Jam’u Baina as-Shahihain (Kumpulan dari Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim)
a.    Ad-Dimasyqi                                                    (w. 401 H)
b.    Ibn Al-Furat                                                     (w. 414 H)
c.    Al-Barqoni                                                       (w. 425 H)
d.   Imam Abi Abdillah Al-Humaidi Al Andalusi (w. 488 H)
e.    Al-Baghawi                                                      (w. 516 H)
f.     Al-Asybili                                                        (w. 581 H)
g.    Imam Abi Abdillah Al-Anshary                      (w. 582 H)
h.    Abi Hafsh Al-Maushili                                    (w. 622 H)
i.      Ash-Shagani                                                     (w. 650 H)
2.     Al-Jam’u baina Kutub al-Khamsah au As-Sittah (Kumpulan dari kutub al-Khomsah atau al-Sittah)
a.       At-Tajrid li Ash-Shihhah wa As-Sunan As-Sirqisthi (w. 535 H)
b.      Al-Jaami’ baina al-Kutub As-Sittah Al-Asybili                      (w. 581 H)
c.       Jaami’ al-Ushul fi Ahaadiits Ar-Rasul Ibn Atsir                    (544 H-606 H)
d.      Anwaar al-Mishbah fi al-Jam’i baina al-Kutub As-Sittah Ash-Shihhah Al-Gharnathi (w. 646 H)
Pada Abad ini pun muncul beberapa kitab yang lain, yang semakin memperkaya khazanah keilmuan Islam. Diantaranya:
a.    Syarh As-Sunnah Al Baghawi                         (436 H-516 H)
b.    Mashabih As-Sunnah Al-Baghawi                  (436 H-516 H)
c.     Jaami’ al-Ushul fi Ahaadiits Ar-Rasul Ibn Atsir (544 H-606 H)

Usaha ulama ahli hadits pada abad V dan seterusnya adalah ditujukan untuk mengklasifikasikan al-Hadits dengan menghimpun hadits-hadits yang sejenis kandungannya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam satu kitab hadits. Disamping itu mereka pada men-syarahkan (menguraikan dengan luas) dan mengikhtishar (meringkaskan) kitab-kitab hadits yang telah disusun oleh ulama yang mendahuluinya. seperti yang dilakukan oleh Abu 'Abdillah al-Humaidi (448 H.) adapun contoh kitab-kitab hadits pada periode ini antara lain:
1.      Sunan al-Kubra, Karya abu Bakar Ahmad bin Husain 'Ali al-Baihaqy (384-458 H.)
2.      Muntaqa al-Akhbar, karya Majduddin al-Harrany (652 H.)
3.      Fathu al-Bari Fi Syarhi al-Bukhari, Karya Ibnu Hajar al-'Asqolany (852 H.).
4.      Nailu al-Awthar, Syarah kitab Muntaqa al-Akhbar, karya al-Imam Muhammad bin Ali al-Syaukany (1172- 1250 H.)
Dan muncul pula Kitab-kitab hadits targhib dan tarhib, sepeti :
1.       Al-Targhib wa al-Tarhib, karya al-Imam Zakiyuddin Abdul ‘Adzim al-Mundziry (656 H.)
2.       Dalailu al-falihin, karya al-Imam Muhammad Ibnu ‘Allan al-Shiddiqy (1057 H.) sebagai kitab syarah Riyadu al-Shalihin, karya al-Imam Muhyiddin abi zakaria al-Nawawawi (676 H.)
Pada periode ini para ulama juga menciptakan kamus hadits untuk mencari pentakhrij suatu hadits attau untuk mengetahui dari kitab hadits apa suatu hadits didapatkan, misalnya :
1.      al-Jami’u al-Shaghir fi Ahaditsi al-Basyiri al-Nadzir , karya al-Imam Jalaluddin al-Suyuthy (849-911 H.)
2.      Dakhairu al-Mawarits fi Dalalati ‘Ala Mawadhi’i al-Ahadits, karya al-Imam al-‘Allamah al-Sayyid Abdul Ghani al-Maqdisy al-Nabulisy.
3.      Al-Mu'jamu al-Mufahras Li al-Alfadzi al-Haditsi al-Nabawy, Karya Dr. A.J. Winsinc dan Dr. J.F. Mensing.
4.       Miftahu al-Kunuzi al-Sunnah, Karya Dr. A.J. Winsinc.























BAB III
SIMPULAN
Dari sedikit uraian sejarah kodifikasi al-Hadits tersebut, dapat kita tarik sebuah kesimpulan, bahwa hadits yang sekarang bisa kita nikmati dari kitab-kitab hadits susuanan para ulama, ternyata memiliki sejarah perjuangan yang besar.
Pengkodifikasian kitab hadis dari Abad IV abad Ke V, merupakan usaha para ulama untuk menyelamatkan sunnah dan Hadis sebagai sumber ajaran islam. Pencatatan hadis yang pada awalnya dipertentangkan, menjadi hal yang mesti untuk dilakukan. Bukankah pelarangan pencatatan hadis oleh Rasulullah saw dilakukan untuk kemaslahatan. Oleh karena itu, pencatatan hadis untuk memelihara keaslian sunnah dan hadis nabi mesti pula dilakukan. Supaya umat islam di masa depan tidak kehilangan petunjuk yang akan menunjukkan mereka ke jalan yang benar. 












DAFTAR FUSTAKA

Muhammad bin Mathar al-Zahrani. Tadwin as-Sunnah an-Nabawiyah. hlm. Tadwin diambil dari bahasa Persia (Iran) yang diarabkan.
Mudasir "Ilmu Hadis" ; 2008 M./1429 H.Pustaka Setia. Surabaya
Jumantoro, Totok, Kamus Ilmu Hadis. 2002. Jakarta: Bumi Aksara.
Ibn  Muhammad Abu Syahbah, Muhammad.  Al- Wasiit fi al-Ulum wa Musthola al-Hadith. Mesir: Dar al- Fikr al-Arabi.
Rahman,  Fatchur. Ikhtishar Mushthalahu’l Hadits. Bandung: PT Alma’arif, 1974.
Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadis. Jakarta Selatan: Gaya Media Pratama, 1996.
Sulaiman PL, Noor. Antologi Ilmu Hadith. Jakarta: Gaung Persada Press, 2008.


MAKALAH
Diajukan Untuk Tugas Terstruktur Pada Mata Kuliah Ulumul Hadits
Dosen Pegampu :
Ujang rohman, M.Ag

Oleh    :
Nama : Dedi Mulyana
    NIM   : 1136000028


 









FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2014/1435H
BAB I
PENDAHULUAN
Pada abad ke IV dan ke V ini adalah abad dimana dilakukan pelestarian hadits atau yang disebut dengan pengkodifikasian hadits. Kodifikasi atau tadwin secara bahasa adalah mengikat yang terpisah dan mengumpulkan yang tercecer kepada satu diwan/kitab. Dan tadwin secara istilah adalah aktifitas  mengklasifikasikan dan penyusunan.
Sejarah pengumpulan dan penulisan Hadith dan ilmu Hadith telah melewati fase historis yang sangat panjang semenjak Nabi SAW, sahabat, tabi’in dan seterusnya hingga mencapai puncaknya pada kurun abad III Hijriyah. Perjuangan para ulama Hadith yang telah berusaha dengan keras dalam melakukan penelitian dan penyeleksian terhadap hadish, mana yang soheh dan mana yang da’if, telah menghasilkan metode-metode yang cukup kaya, mulai dari metode penyusunan dalam berbagai bentuknya (musnad, sunan, jami’ dan lain-lainnya), hingga kaidah-kaidah penelusuran Hadith. Kaidah-kaidah tersebut akhirnya menjadi disiplin ilmu tersendiri yang kemudian disebut dengan ilmu Hadith.
Namun, karena pembukuan Hadith baru bisa di lakukan dalam rentang waktu yang cukup lama (hampir seratus tahun) setelah Nabi Muhammad SAW wafat, ditambah lagi dengan kenyataan sejarah bahwa banyak Hadith yang dipalsukan, maka keabsahan Hadith-Hadith yang beredar di kalangan kaum muslimin menjadi rancau, meskipun mereka telah meneliti dengan seksama.
Pengkodifikasian hadis-hadis Rasulullah saw secara resmi baru dimulai  100 tahun setelah Rasulullah SAW wafat. Tepatnya pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz. Pada awal perkembangan islam, pengkodifikasian hadis tidak terlalu penting karena pada waktu itu banyak sekali orang-orang yang mengetahui hadis Nabi. Seiring dengan perjalanan waktu, orang-orang yang hafal terhadap Al-Hadis semakin berkurang disebabkan mereka gugur di peperangan. Maka dengan segera umat Islam mengantisipasiya dengan melakukan kodifikasi hadis.
Akan tetapi kodifikasi Hadis tidak mungkin dapat dilakukan tanpa ada usaha sebelumnya. Para sahabat telah menyusun pondasi-pondasi kodifikasi dengan menghafal sabda Rasulullah SAW dengan hafalannya mereka yang terkenal kuat. Di samping itu terdapat sebagian sahabat yang mencatat hadis-hadis ke dalam catatan mereka.
Kemudian usaha yang dilakukan pada masa sahabat ini terus dikembangkan oleh generasi Tabi'in dan generasi selanjutnya  menggunakan sistem sanad.  Sehingga kodifikasi yang dilakukan secara resmi pada paruh pertama dari abad kedua dan seterusnya dapat dipertanggung jawabkan dan diuji keotentikannya.














BAB II
PEMBAHASAN

A.    KODIFIKASI HADITS PADA ABAD KE IV

      Dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan periwayatan Hadith mulai berkembang, sejalan dengan banyaknya ulama’ yang tertarik untuk menulis fatwa-fatwa dari para Sahabat dan Tabi’in dalam permasalahan-permasalahan yang timbul pada waktu itu. Dan untuk mengantisipasi hilangnya Hadith-Hadith nabi, karena adanya Hadith-Hadith palsu yang menyebar di kalangan sahabat yang wafat dalam menegakkan agama Allah, maka usaha penulisan dan kodifikasi (tadwin) Hadith semakin keras di lakukan para ulama’ di kalangan Tabi’in.
      Kodifikasi atau tadwin Hadith, artinya ialah pencatatan, penulisan, atau pembukuan Hadith. Secara individual, seperti diuraikan dalam pembahasan diatas, pencatatan telah dilakukan oleh para Sahabat sejak zaman Rasul SAW. Akan tetapi yang dimaksud dalam pembahasan ini, ialah kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah khalifah, dengan melibatkan beberapa personil yang ahli dalam masalah ini. Bukan yang dilakukan secara perseorangan atau untuk kepentingan pribadi, seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya.
      Dan yang perlu digaris bawahi dalam pembahasan kodifikasi Hadith adalah, bahwa kodifikasi Hadith ini terjadi pada akhir qurun partama, dan pembahasan tentang kaidah-kaidah kodifikasi Hadith belum ditulis  pada waktu itu, akan tetapi hanya dikonsep dalam hati para penulis, dan di hati mereka terdapat Hadith- Hadith pilihan sebelum masa kodifikasi. Pun pula para perowi  dan  pengumpul Hadith tidak mempunyai dasar-dasar dan kaidah-kaidah tertulis penyusunan, akan tetapi mereka mempunyai dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang sempurna dalam hati walaupuntidak bisa diwujudkan dalam kenyataan.
      Setelah agama islam tersiar luas di masyarakat, dipeluk dan dianut oleh penduduk yang bertempat tinggal diluar jazirah Arabia, dan para sahabat mulai terpencar di beberapa wilayah, bahkan tidak sedikit jumlahnya yang telah meninggal dunia, maka terasalah perlunya Al-Hadith di abadikan dalam bentuk tulisan dan kemudian di bukukan dalam dewan Hadith.Urgensi ini menggerakkan hati Khalifah Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah Bani Umayyah yang menjabat antara tahun 99 H sampai tahun 101 H, untuk menulis dan membukukan Al-Hadith.
      Usaha kodifikasi Hadith yang pertama ini yang dipimoin oleh khalifah Umar bin ‘abdul Aziz  ( khalifah bani umayyah VIII ), melalui intruksinya kepada pejabat daerah agar memperhatikan dan mengumpulkan Hadith dari para penghafalnya. Intruksi khalifah yang pertama ini pertama kali di sampaikan pada Abu Bakr bin Muhammad ibn ‘mr ibn Hazm ( Gubernur Madinah ), ia mengirim instruksi yang iainya:
انظرماكان حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم فاكتبوه , فانى حفت دروس العلم وذهاب العلماء ولاتقبل الا حديث الرسول
“Perhatikan atau periksalah Hadith- Hadith Rasul SAW kemudian tulislah ! Aku khawatir akan lenyapnya ilmu dengan meninggalnya para ulama (para ahlinya). Dan janganlah kamu terima kecuali Hadith- Hadith dari Rasul SAW”
Dengan adanya perintah dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz tersebut, para ulama mulai menulis dan membukukan Hadith dan pada waktu itu pula masjid-masjid dipenuhi para yang melakukan pengkajian dan pembahasan Hadith. Perintah tersebut diikuti dengan kebijaksanaan penggunaan sebagian Bait al-Mal  untuk membiayai kegiatan penulisan Hadith. Ibn Syihab al-Zuhri adalah orang yang pertama yang melaporkan pengumpulan Hadith pada permulaan abad ke-2.  Kemudian disusul oleh ulama yang lain bersamaan dengan kegiatan Ulama dalam bidang Ilmu-ilmu agama lainya,seperti Ilmu fikih, ilmu kalam, dan sebagainya. Oleh karena itu, masa ini dikenal dengan ‘ashr al-tadwin (masa pembukuan).
Abu bakr ibn Hazm berhasil menghimpun Hadith- Hadith yang ada pada ‘Amrah binti ‘Abd al-Rahman al-Anshari (murid kepercayaan ‘A’isyah),yang menurut Ulama tidaklah begitu lengkap.Sedangkan Ibn Syihab al Zuhri berhasil menghimpunnya, yang menurut penilaian para Ulama lebih lengkap. Akan tetapi, sayang sekali karya dari kedua ulama Tabi’in ini lenyap, tidak sampai diwariskan kepada generasi sekarang.
1. Motif utama Khalifah Umar bin Abdul Aziz berinisiatif membukukan Hadith:
a. Kemauan beliau yang kuat untuk tidak membiarkan Hadith seperti waktu yang sudah-sudah. Karena beliau hawatir akan hilang dan lenyapnya Hadith dari perbendaharaan masyarakat, disebabkan belum dikodifikasikannya dalam diwan Hadith.
b. kemauan beliau yang keras untuk membersihkan dan memelihara Hadith dari Hadith- Hadith maudlu’  yang di buat oleh orang-orang untuk mempertahankan ideologi golongannya dan mempertahankan madzhabnya, yang mulai tersiar sejak awal berdirinya kekhalifahan Ali bin Abi Thalib r.a .
c. Alasan tidak didewankannya Hadith secara resmi di zaman Rasulullah SAW dan Khulafa al-rasyidin, karena adanya kekawatiran bercampur dengan Al-Quran.
d. Kalau zaman Khulafa al-Rasyidin belum pernah dibayangkan dan terjadi peperangan antara orang muslim dengan orang kafir, demikian juga perang saudara orang muslim yang kian hari kian menjadi-jadi, yang sekaligus berakibat berkurangnya jumlah ulama ahli Hadith.

            Setelah berlalu abad ke 3 yang merupakan masa keemasan bagi perkembangan ilmu-ilmu islam, khususnya ilmu-ilmu tentang hadis Nabi. Ulama pada abad ke 4 ini mengikuti usaha pendahulu mereka dalam berkhidmat kepada Sunnah Nabi saw.
Abad ke empat ini merupakan abad pemisahan antara ulama Mutaqaddimin, yang dalam menyusun kitab hadits mereka berusaha sendiri menemui para sahabat atau tabi’in atau tabi’in yang menghafal hadits dan kemudian menelitinya sendiri, dengan ulama mutaakhirin yang dalam usahanya menyusun kitab-kitab hadits, mereka hanya menukil dari kitab-kitab yang disusun oleh ulama mutaqaddimin.
Mereka berlomba-lomba untuk menghafal sebanyak-banyaknya hadits-hadits yang telah dikodifikasikan, sehingga tidak mustahil sebagian dari mereka sanggup menghafal beratus-ratus ribu hadits. Sejak periode inilah timbul bermacam-macam gelar keahlian dalam ilmu hadits, seperti gelar al-Hakim dan al-Hafidz. Adapun Kitab – kitab yang masyhur hasil ulama abad ke-empat, antara lain :

1.  Mu’jamu al-Kabir, M’jamu al-Awsath, Mu’jamu al-Shaghir, karya al-Imam Sulaiman bin Ahmad al-Tabrany (360 H.).
2.     Sunan al-Daruquthny, karya al-Imam Abdul Hasan Ali bin Umar bin Ahmad al-Daruquthny (306-385 H.).
3.    Shahih bin ‘Auwanah, karya Abu ‘Auwanah Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim al-Asfayainy (354 H.).
4.      Shahih Ibnu Khudzaimah, Karya Ibnu Khudzaimah Muhammad bin Ishaq (316 H.).

2.      Perkembangan Kodifikasi Pada Abad ini
Di antara mereka ada menyusun kitab hadis mengikuti metode kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim dalam mentakhrij hadis-hadis shahih. Diantaranya:
a). Shahih Ibn Khuzaimah (223 H-311 H)
b). Shahih Ibn Hibban (>270 H-354 H)
c). Al Mustadrak al-Hakim (321 H-405 H)
Ada pula beberapa ulama yang menyusun kitab hadis dengan menggunakan  metode As-Sunan dalam penyusunannya. Diantaranya:
a). Muntaqo ibn Jarud (w. 307 H)
b). Sunan Ad-Daruquthni (306 H-385 H)
c). Sunan Al-Kubra Al-Baihaqi (384 H-458 H)
Muncul pula pada masa ini kitab hadis yang sangat bemanfaat sekali dalam menjelaskan antara hadis yang tampaknya bertentangan. Diantaranya: Syarh Musykil al-Atsar Ath-Thahawi (239 H-321 H)
Pada masa ini pun para ulama ada yang membuat kitab hadis yang mentartib hadis-hadis berdasarkan nama sahabat periwayatnya. Diantaranya: Mu’jam Al-Kabir Ath-Thabrani (260 H-360 H)
Beberapa ulama membuat kitab-kitab Mustakhraj. Mustakhraj artinya adalah yang dikeluarkan, maksudnya adalah seorang mengeluarkan (meriwayatkan) hadis dari satu kitab, dan sanadnya dari dia sendiri. Lalu sanadnya bertemu dengan syaikh pengarang kitab itu, selanjutnya bertemu dengan rawi yang lebih atas dari syaikh tersebut.
Diantara kitab Mustakhraj ini adalah:
a). Mustakhraj Abu Bakar Al-Isma’ili  ‘ala Shahih al-Bukhari (w. 371 H)
b). Mustakhraj Muhammad bin Ahmad bin Al-Hasan Al-Ghatrifi ‘ala al Bukhari (w. 377 H)
c). Mustakhraj Ibn Abi Dzihlin ‘ala al-Bukhari (w. 378 H)
d). Mustakhraj Ahmad bin Musa bin Mardawaih Al-Ashbahani ‘ala Shahih al-Bukhari (w. 416 H)
e). Mustakhraj Ya’qub bin Ishaq Al-Isfirayaini ‘ala shahih Muslim (w. 316 H)
f). Mustakhraj Ahmad bin Salamah An-Naisaburi ‘ala Shahih muslim (w. 286 H)
g). Mustakhraj Ahmad bin Hamdan bin ‘Ali Al-Hairy An-Naisaburi ‘ala Muslim (w. 311 H)
h). Mustakhraj Muhammad bin Muhammad bin Raja’ An-Naisaburi ‘ala Muslim (w. 286 H)
i). Mustakhraj Muhammad bin Muhammad bin Yusuf Ath-Thusi ‘ala Shahih Muslim (w. 344 H)

B. KODIFIKASI HADIS PADA ABAD KE 5
Pada abad ini para ulama mencoba membuat kumpulan hadis dengan metode jam’i. Yaitu metode penggabungan antara dua kitab atau lebih kitab. Kitab ini dikutip dari beberapa kitab hadis abad sebelumnya. Diantaranya:
1.   Al-Jam’u Baina as-Shahihain (Kumpulan dari Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim)
a.    Ad-Dimasyqi                                                    (w. 401 H)
b.    Ibn Al-Furat                                                     (w. 414 H)
c.    Al-Barqoni                                                       (w. 425 H)
d.   Imam Abi Abdillah Al-Humaidi Al Andalusi (w. 488 H)
e.    Al-Baghawi                                                      (w. 516 H)
f.     Al-Asybili                                                        (w. 581 H)
g.    Imam Abi Abdillah Al-Anshary                      (w. 582 H)
h.    Abi Hafsh Al-Maushili                                    (w. 622 H)
i.      Ash-Shagani                                                     (w. 650 H)
2.     Al-Jam’u baina Kutub al-Khamsah au As-Sittah (Kumpulan dari kutub al-Khomsah atau al-Sittah)
a.       At-Tajrid li Ash-Shihhah wa As-Sunan As-Sirqisthi (w. 535 H)
b.      Al-Jaami’ baina al-Kutub As-Sittah Al-Asybili                      (w. 581 H)
c.       Jaami’ al-Ushul fi Ahaadiits Ar-Rasul Ibn Atsir                    (544 H-606 H)
d.      Anwaar al-Mishbah fi al-Jam’i baina al-Kutub As-Sittah Ash-Shihhah Al-Gharnathi (w. 646 H)
Pada Abad ini pun muncul beberapa kitab yang lain, yang semakin memperkaya khazanah keilmuan Islam. Diantaranya:
a.    Syarh As-Sunnah Al Baghawi                         (436 H-516 H)
b.    Mashabih As-Sunnah Al-Baghawi                  (436 H-516 H)
c.     Jaami’ al-Ushul fi Ahaadiits Ar-Rasul Ibn Atsir (544 H-606 H)

Usaha ulama ahli hadits pada abad V dan seterusnya adalah ditujukan untuk mengklasifikasikan al-Hadits dengan menghimpun hadits-hadits yang sejenis kandungannya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam satu kitab hadits. Disamping itu mereka pada men-syarahkan (menguraikan dengan luas) dan mengikhtishar (meringkaskan) kitab-kitab hadits yang telah disusun oleh ulama yang mendahuluinya. seperti yang dilakukan oleh Abu 'Abdillah al-Humaidi (448 H.) adapun contoh kitab-kitab hadits pada periode ini antara lain:
1.      Sunan al-Kubra, Karya abu Bakar Ahmad bin Husain 'Ali al-Baihaqy (384-458 H.)
2.      Muntaqa al-Akhbar, karya Majduddin al-Harrany (652 H.)
3.      Fathu al-Bari Fi Syarhi al-Bukhari, Karya Ibnu Hajar al-'Asqolany (852 H.).
4.      Nailu al-Awthar, Syarah kitab Muntaqa al-Akhbar, karya al-Imam Muhammad bin Ali al-Syaukany (1172- 1250 H.)
Dan muncul pula Kitab-kitab hadits targhib dan tarhib, sepeti :
1.       Al-Targhib wa al-Tarhib, karya al-Imam Zakiyuddin Abdul ‘Adzim al-Mundziry (656 H.)
2.       Dalailu al-falihin, karya al-Imam Muhammad Ibnu ‘Allan al-Shiddiqy (1057 H.) sebagai kitab syarah Riyadu al-Shalihin, karya al-Imam Muhyiddin abi zakaria al-Nawawawi (676 H.)
Pada periode ini para ulama juga menciptakan kamus hadits untuk mencari pentakhrij suatu hadits attau untuk mengetahui dari kitab hadits apa suatu hadits didapatkan, misalnya :
1.      al-Jami’u al-Shaghir fi Ahaditsi al-Basyiri al-Nadzir , karya al-Imam Jalaluddin al-Suyuthy (849-911 H.)
2.      Dakhairu al-Mawarits fi Dalalati ‘Ala Mawadhi’i al-Ahadits, karya al-Imam al-‘Allamah al-Sayyid Abdul Ghani al-Maqdisy al-Nabulisy.
3.      Al-Mu'jamu al-Mufahras Li al-Alfadzi al-Haditsi al-Nabawy, Karya Dr. A.J. Winsinc dan Dr. J.F. Mensing.
4.       Miftahu al-Kunuzi al-Sunnah, Karya Dr. A.J. Winsinc.























BAB III
SIMPULAN
Dari sedikit uraian sejarah kodifikasi al-Hadits tersebut, dapat kita tarik sebuah kesimpulan, bahwa hadits yang sekarang bisa kita nikmati dari kitab-kitab hadits susuanan para ulama, ternyata memiliki sejarah perjuangan yang besar.
Pengkodifikasian kitab hadis dari Abad IV abad Ke V, merupakan usaha para ulama untuk menyelamatkan sunnah dan Hadis sebagai sumber ajaran islam. Pencatatan hadis yang pada awalnya dipertentangkan, menjadi hal yang mesti untuk dilakukan. Bukankah pelarangan pencatatan hadis oleh Rasulullah saw dilakukan untuk kemaslahatan. Oleh karena itu, pencatatan hadis untuk memelihara keaslian sunnah dan hadis nabi mesti pula dilakukan. Supaya umat islam di masa depan tidak kehilangan petunjuk yang akan menunjukkan mereka ke jalan yang benar. 












DAFTAR FUSTAKA

Muhammad bin Mathar al-Zahrani. Tadwin as-Sunnah an-Nabawiyah. hlm. Tadwin diambil dari bahasa Persia (Iran) yang diarabkan.
Mudasir "Ilmu Hadis" ; 2008 M./1429 H.Pustaka Setia. Surabaya
Jumantoro, Totok, Kamus Ilmu Hadis. 2002. Jakarta: Bumi Aksara.
Ibn  Muhammad Abu Syahbah, Muhammad.  Al- Wasiit fi al-Ulum wa Musthola al-Hadith. Mesir: Dar al- Fikr al-Arabi.
Rahman,  Fatchur. Ikhtishar Mushthalahu’l Hadits. Bandung: PT Alma’arif, 1974.
Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadis. Jakarta Selatan: Gaya Media Pratama, 1996.
Sulaiman PL, Noor. Antologi Ilmu Hadith. Jakarta: Gaung Persada Press, 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tutorial Lengkap Agar disetujui Daftar Google Adsense

Sejak membuat BLOGOOBLOK, ratusan sudah postingan yang saya buat. Tidak sedikit diantaranya membahas  Google Adsense . Ini menandakan...