PERKEMBANGAN HADITS PADA
ABAD KE IV DAN V
MAKALAH
Diajukan Untuk Tugas Terstruktur Pada Mata Kuliah Ulumul
Hadits
Dosen
Pegampu :
Ujang rohman, M.Ag
Oleh :
Nama
: Dedi Mulyana
NIM
: 1136000028
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN
GUNUNG DJATI
BANDUNG
2014/1435H
BAB I
PENDAHULUAN
Pada abad ke IV dan ke V ini
adalah abad dimana dilakukan pelestarian hadits atau yang disebut dengan
pengkodifikasian hadits. Kodifikasi atau tadwin secara bahasa adalah mengikat yang
terpisah dan mengumpulkan yang tercecer kepada satu diwan/kitab. Dan tadwin
secara istilah adalah aktifitas
mengklasifikasikan dan penyusunan.
Sejarah pengumpulan dan penulisan
Hadith dan ilmu Hadith telah melewati fase historis yang sangat panjang
semenjak Nabi SAW, sahabat, tabi’in dan seterusnya hingga mencapai puncaknya
pada kurun abad III Hijriyah. Perjuangan para ulama Hadith yang telah berusaha
dengan keras dalam melakukan penelitian dan penyeleksian terhadap hadish, mana
yang soheh dan mana yang da’if, telah menghasilkan metode-metode
yang cukup kaya, mulai dari metode penyusunan dalam berbagai bentuknya (musnad,
sunan, jami’ dan lain-lainnya), hingga kaidah-kaidah penelusuran Hadith. Kaidah-kaidah
tersebut akhirnya menjadi disiplin ilmu tersendiri yang kemudian disebut dengan
ilmu Hadith.
Namun, karena pembukuan
Hadith baru bisa di lakukan dalam rentang waktu yang cukup lama (hampir seratus
tahun) setelah Nabi Muhammad SAW wafat, ditambah lagi dengan kenyataan sejarah
bahwa banyak Hadith yang dipalsukan, maka keabsahan Hadith-Hadith yang beredar
di kalangan kaum muslimin menjadi rancau, meskipun mereka telah meneliti dengan
seksama.
Pengkodifikasian hadis-hadis Rasulullah
saw secara resmi baru dimulai 100 tahun
setelah Rasulullah SAW wafat.
Tepatnya pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz. Pada awal perkembangan
islam, pengkodifikasian hadis tidak terlalu penting karena pada waktu itu
banyak sekali orang-orang yang mengetahui hadis Nabi. Seiring dengan perjalanan
waktu, orang-orang yang hafal terhadap Al-Hadis semakin berkurang disebabkan
mereka gugur di peperangan. Maka dengan segera umat Islam mengantisipasiya
dengan melakukan kodifikasi hadis.
Akan tetapi kodifikasi Hadis tidak
mungkin dapat dilakukan tanpa ada usaha sebelumnya. Para sahabat telah menyusun
pondasi-pondasi kodifikasi dengan menghafal sabda Rasulullah SAW dengan
hafalannya mereka yang terkenal kuat. Di samping itu terdapat sebagian sahabat
yang mencatat hadis-hadis ke dalam catatan mereka.
Kemudian usaha yang dilakukan pada masa
sahabat ini terus dikembangkan oleh generasi Tabi'in dan generasi
selanjutnya menggunakan sistem
sanad. Sehingga kodifikasi yang
dilakukan secara resmi pada paruh pertama dari abad kedua dan seterusnya dapat
dipertanggung jawabkan dan diuji keotentikannya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
KODIFIKASI HADITS PADA ABAD KE IV
Dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan periwayatan Hadith
mulai berkembang, sejalan dengan banyaknya ulama’ yang tertarik untuk menulis
fatwa-fatwa dari para Sahabat dan Tabi’in dalam permasalahan-permasalahan yang
timbul pada waktu itu. Dan untuk mengantisipasi hilangnya Hadith-Hadith nabi,
karena adanya Hadith-Hadith palsu yang menyebar di kalangan sahabat yang wafat
dalam menegakkan agama Allah, maka usaha penulisan dan kodifikasi (tadwin)
Hadith semakin keras di lakukan para ulama’ di kalangan Tabi’in.
Kodifikasi atau tadwin
Hadith, artinya ialah pencatatan, penulisan, atau pembukuan Hadith. Secara
individual, seperti diuraikan dalam pembahasan diatas, pencatatan telah
dilakukan oleh para Sahabat sejak zaman Rasul SAW. Akan tetapi yang dimaksud
dalam pembahasan ini, ialah kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah
khalifah, dengan melibatkan beberapa personil yang ahli dalam masalah ini.
Bukan yang dilakukan secara perseorangan atau untuk kepentingan pribadi,
seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Dan yang perlu digaris bawahi dalam pembahasan kodifikasi
Hadith adalah, bahwa kodifikasi Hadith ini terjadi pada akhir qurun partama,
dan pembahasan tentang kaidah-kaidah kodifikasi Hadith belum ditulis pada
waktu itu, akan tetapi hanya dikonsep dalam hati para penulis, dan di hati
mereka terdapat Hadith- Hadith pilihan sebelum masa kodifikasi. Pun pula para
perowi dan pengumpul Hadith tidak mempunyai dasar-dasar dan
kaidah-kaidah tertulis penyusunan, akan tetapi mereka mempunyai dasar-dasar dan
kaidah-kaidah yang sempurna dalam hati walaupuntidak bisa diwujudkan dalam
kenyataan.
Setelah agama islam tersiar luas di masyarakat, dipeluk dan
dianut oleh penduduk yang bertempat tinggal diluar jazirah Arabia, dan para
sahabat mulai terpencar di beberapa wilayah, bahkan tidak sedikit jumlahnya
yang telah meninggal dunia, maka terasalah perlunya Al-Hadith di abadikan dalam
bentuk tulisan dan kemudian di bukukan dalam dewan Hadith.Urgensi ini
menggerakkan hati Khalifah Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah Bani Umayyah
yang menjabat antara tahun 99 H sampai tahun 101 H, untuk menulis dan
membukukan Al-Hadith.
Usaha kodifikasi Hadith yang pertama ini yang dipimoin oleh
khalifah Umar bin ‘abdul Aziz ( khalifah bani umayyah VIII ), melalui
intruksinya kepada pejabat daerah agar memperhatikan dan mengumpulkan Hadith
dari para penghafalnya. Intruksi khalifah yang pertama ini pertama kali di
sampaikan pada Abu Bakr bin Muhammad ibn ‘mr ibn Hazm ( Gubernur Madinah ), ia
mengirim instruksi yang iainya:
انظرماكان حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم فاكتبوه , فانى
حفت دروس العلم وذهاب العلماء ولاتقبل الا حديث الرسول
“Perhatikan atau periksalah
Hadith- Hadith Rasul SAW kemudian tulislah ! Aku khawatir akan lenyapnya ilmu
dengan meninggalnya para ulama (para ahlinya). Dan janganlah kamu terima
kecuali Hadith- Hadith dari Rasul SAW”
Dengan adanya perintah dari
Khalifah Umar bin Abdul Aziz tersebut, para ulama mulai menulis dan membukukan
Hadith dan pada waktu itu pula masjid-masjid dipenuhi para yang melakukan
pengkajian dan pembahasan Hadith. Perintah tersebut diikuti dengan kebijaksanaan
penggunaan sebagian Bait al-Mal untuk membiayai kegiatan penulisan
Hadith. Ibn Syihab al-Zuhri adalah orang yang pertama yang melaporkan
pengumpulan Hadith pada permulaan abad ke-2. Kemudian disusul oleh ulama
yang lain bersamaan dengan kegiatan Ulama dalam bidang Ilmu-ilmu agama
lainya,seperti Ilmu fikih, ilmu kalam, dan sebagainya. Oleh karena itu, masa
ini dikenal dengan ‘ashr al-tadwin (masa pembukuan).
Abu bakr ibn Hazm berhasil
menghimpun Hadith- Hadith yang ada pada ‘Amrah binti ‘Abd al-Rahman al-Anshari
(murid kepercayaan ‘A’isyah),yang menurut Ulama tidaklah begitu
lengkap.Sedangkan Ibn Syihab al Zuhri berhasil menghimpunnya, yang menurut
penilaian para Ulama lebih lengkap. Akan tetapi, sayang sekali karya dari kedua
ulama Tabi’in ini lenyap, tidak sampai diwariskan kepada generasi sekarang.
1. Motif utama Khalifah Umar bin Abdul Aziz berinisiatif
membukukan Hadith:
a. Kemauan beliau
yang kuat untuk tidak membiarkan Hadith seperti waktu yang sudah-sudah. Karena
beliau hawatir akan hilang dan lenyapnya Hadith dari perbendaharaan masyarakat,
disebabkan belum dikodifikasikannya dalam diwan Hadith.
b. kemauan beliau
yang keras untuk membersihkan dan memelihara Hadith dari Hadith- Hadith
maudlu’ yang di buat oleh orang-orang untuk mempertahankan ideologi
golongannya dan mempertahankan madzhabnya, yang mulai tersiar sejak awal
berdirinya kekhalifahan Ali bin Abi Thalib r.a .
c. Alasan tidak
didewankannya Hadith secara resmi di zaman Rasulullah SAW dan Khulafa
al-rasyidin, karena adanya kekawatiran bercampur dengan Al-Quran.
d. Kalau zaman
Khulafa al-Rasyidin belum pernah dibayangkan dan terjadi peperangan antara
orang muslim dengan orang kafir, demikian juga perang saudara orang muslim yang
kian hari kian menjadi-jadi, yang sekaligus berakibat berkurangnya jumlah ulama
ahli Hadith.
Setelah
berlalu abad ke 3 yang merupakan masa keemasan bagi perkembangan ilmu-ilmu
islam, khususnya ilmu-ilmu tentang hadis Nabi. Ulama pada abad ke 4 ini
mengikuti usaha pendahulu mereka dalam berkhidmat kepada Sunnah Nabi saw.
Abad ke empat ini merupakan abad
pemisahan antara ulama Mutaqaddimin, yang dalam menyusun kitab hadits mereka
berusaha sendiri menemui para sahabat atau tabi’in atau tabi’in yang menghafal
hadits dan kemudian menelitinya sendiri, dengan ulama mutaakhirin yang dalam
usahanya menyusun kitab-kitab hadits, mereka hanya menukil dari kitab-kitab
yang disusun oleh ulama mutaqaddimin.
Mereka berlomba-lomba untuk menghafal
sebanyak-banyaknya hadits-hadits yang telah dikodifikasikan, sehingga tidak
mustahil sebagian dari mereka sanggup menghafal beratus-ratus ribu hadits.
Sejak periode inilah timbul bermacam-macam gelar keahlian dalam ilmu hadits,
seperti gelar al-Hakim dan al-Hafidz. Adapun Kitab – kitab yang masyhur hasil
ulama abad ke-empat, antara lain :
1. Mu’jamu al-Kabir, M’jamu al-Awsath, Mu’jamu al-Shaghir, karya al-Imam Sulaiman bin Ahmad al-Tabrany (360 H.).
2. Sunan al-Daruquthny, karya al-Imam Abdul Hasan Ali bin
Umar bin Ahmad al-Daruquthny (306-385 H.).
3. Shahih bin ‘Auwanah, karya Abu ‘Auwanah Ya’qub bin Ishaq
bin Ibrahim al-Asfayainy (354 H.).
4. Shahih
Ibnu Khudzaimah, Karya Ibnu Khudzaimah Muhammad bin Ishaq (316 H.).
2.
Perkembangan Kodifikasi Pada Abad ini
Di antara mereka ada menyusun kitab hadis mengikuti
metode kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim dalam mentakhrij hadis-hadis
shahih. Diantaranya:
a). Shahih Ibn Khuzaimah (223 H-311 H)
b). Shahih Ibn Hibban (>270 H-354 H)
c). Al Mustadrak al-Hakim (321 H-405 H)
Ada pula
beberapa ulama yang menyusun kitab hadis dengan menggunakan metode As-Sunan dalam penyusunannya.
Diantaranya:
a).
Muntaqo ibn Jarud
(w. 307 H)
b). Sunan Ad-Daruquthni (306 H-385 H)
c). Sunan Al-Kubra Al-Baihaqi (384 H-458 H)
Muncul pula pada masa ini kitab hadis
yang sangat bemanfaat sekali dalam menjelaskan antara hadis yang tampaknya
bertentangan. Diantaranya:
Syarh Musykil al-Atsar Ath-Thahawi (239 H-321 H)
Pada masa ini pun para ulama ada yang membuat kitab hadis
yang mentartib hadis-hadis
berdasarkan nama sahabat periwayatnya. Diantaranya: Mu’jam
Al-Kabir Ath-Thabrani (260 H-360 H)
Beberapa ulama membuat kitab-kitab Mustakhraj. Mustakhraj
artinya adalah yang dikeluarkan, maksudnya adalah seorang mengeluarkan
(meriwayatkan) hadis dari satu kitab, dan sanadnya dari dia sendiri. Lalu
sanadnya bertemu dengan syaikh pengarang kitab itu, selanjutnya bertemu dengan
rawi yang lebih atas dari syaikh tersebut.
Diantara kitab Mustakhraj ini adalah:
a). Mustakhraj
Abu Bakar Al-Isma’ili ‘ala Shahih al-Bukhari
(w. 371 H)
b).
Mustakhraj Muhammad bin Ahmad bin Al-Hasan Al-Ghatrifi ‘ala al Bukhari (w. 377
H)
c). Mustakhraj
Ibn Abi Dzihlin ‘ala al-Bukhari (w. 378 H)
d). Mustakhraj
Ahmad bin Musa bin Mardawaih Al-Ashbahani ‘ala Shahih al-Bukhari (w. 416
H)
e). Mustakhraj
Ya’qub bin Ishaq Al-Isfirayaini ‘ala shahih Muslim (w. 316 H)
f).
Mustakhraj Ahmad bin Salamah An-Naisaburi ‘ala Shahih muslim (w. 286 H)
g).
Mustakhraj Ahmad bin Hamdan bin ‘Ali Al-Hairy An-Naisaburi ‘ala Muslim (w. 311
H)
h).
Mustakhraj Muhammad bin Muhammad bin Raja’ An-Naisaburi ‘ala Muslim (w. 286
H)
i). Mustakhraj
Muhammad bin Muhammad bin Yusuf Ath-Thusi ‘ala Shahih Muslim
(w. 344 H)
B. KODIFIKASI HADIS PADA ABAD KE 5
Pada abad ini para ulama mencoba
membuat kumpulan hadis dengan metode jam’i. Yaitu metode penggabungan antara
dua kitab atau lebih kitab. Kitab ini dikutip dari beberapa kitab hadis abad
sebelumnya. Diantaranya:
1. Al-Jam’u Baina as-Shahihain (Kumpulan
dari Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim)
a. Ad-Dimasyqi (w. 401 H)
b. Ibn Al-Furat (w.
414 H)
c. Al-Barqoni (w.
425 H)
d. Imam Abi Abdillah Al-Humaidi Al Andalusi (w. 488 H)
e. Al-Baghawi (w.
516 H)
f. Al-Asybili (w.
581 H)
g. Imam Abi Abdillah Al-Anshary (w. 582 H)
h. Abi Hafsh Al-Maushili (w.
622 H)
i. Ash-Shagani (w. 650 H)
2. Al-Jam’u
baina Kutub al-Khamsah au As-Sittah (Kumpulan dari kutub al-Khomsah atau
al-Sittah)
a. At-Tajrid
li Ash-Shihhah wa As-Sunan As-Sirqisthi (w. 535 H)
b. Al-Jaami’
baina al-Kutub As-Sittah Al-Asybili (w.
581 H)
c. Jaami’
al-Ushul fi Ahaadiits Ar-Rasul Ibn Atsir (544
H-606 H)
d.
Anwaar al-Mishbah fi al-Jam’i baina al-Kutub As-Sittah Ash-Shihhah
Al-Gharnathi (w. 646 H)
Pada Abad
ini pun muncul beberapa kitab yang lain, yang semakin memperkaya khazanah
keilmuan Islam. Diantaranya:
a. Syarh As-Sunnah Al Baghawi (436 H-516 H)
b. Mashabih As-Sunnah Al-Baghawi (436 H-516 H)
c. Jaami’ al-Ushul fi Ahaadiits Ar-Rasul
Ibn Atsir (544 H-606 H)
Usaha ulama ahli hadits pada abad V dan
seterusnya adalah ditujukan untuk mengklasifikasikan al-Hadits dengan
menghimpun hadits-hadits yang sejenis kandungannya atau sejenis sifat-sifat
isinya dalam satu kitab hadits. Disamping itu mereka pada men-syarahkan
(menguraikan dengan luas) dan mengikhtishar (meringkaskan) kitab-kitab hadits
yang telah disusun oleh ulama yang mendahuluinya. seperti yang dilakukan oleh
Abu 'Abdillah al-Humaidi (448 H.) adapun contoh kitab-kitab hadits pada periode
ini antara lain:
1.
Sunan al-Kubra, Karya abu Bakar Ahmad bin Husain 'Ali
al-Baihaqy (384-458 H.)
2.
Muntaqa al-Akhbar, karya
Majduddin al-Harrany (652 H.)
3.
Fathu al-Bari Fi Syarhi al-Bukhari, Karya Ibnu Hajar
al-'Asqolany (852 H.).
4.
Nailu
al-Awthar,
Syarah kitab Muntaqa al-Akhbar, karya al-Imam Muhammad bin Ali al-Syaukany
(1172- 1250 H.)
Dan
muncul pula Kitab-kitab hadits targhib dan tarhib, sepeti :
1.
Al-Targhib
wa al-Tarhib, karya al-Imam Zakiyuddin Abdul ‘Adzim al-Mundziry (656 H.)
2.
Dalailu
al-falihin,
karya al-Imam Muhammad Ibnu ‘Allan al-Shiddiqy (1057 H.) sebagai kitab syarah
Riyadu al-Shalihin, karya al-Imam Muhyiddin abi zakaria al-Nawawawi (676 H.)
Pada periode ini para ulama juga menciptakan kamus hadits
untuk mencari pentakhrij suatu hadits attau untuk mengetahui dari kitab hadits
apa suatu hadits didapatkan, misalnya :
1.
al-Jami’u
al-Shaghir fi Ahaditsi al-Basyiri al-Nadzir , karya al-Imam Jalaluddin
al-Suyuthy (849-911 H.)
2.
Dakhairu
al-Mawarits fi Dalalati ‘Ala Mawadhi’i al-Ahadits, karya al-Imam al-‘Allamah
al-Sayyid Abdul Ghani al-Maqdisy al-Nabulisy.
3.
Al-Mu'jamu
al-Mufahras Li al-Alfadzi al-Haditsi al-Nabawy, Karya Dr. A.J. Winsinc dan
Dr. J.F. Mensing.
4.
Miftahu
al-Kunuzi al-Sunnah, Karya Dr. A.J. Winsinc.
BAB III
SIMPULAN
Dari sedikit uraian sejarah kodifikasi al-Hadits
tersebut, dapat kita tarik sebuah kesimpulan, bahwa hadits yang sekarang bisa
kita nikmati dari kitab-kitab hadits susuanan para ulama, ternyata memiliki
sejarah perjuangan yang besar.
Pengkodifikasian kitab hadis dari Abad IV abad Ke V,
merupakan usaha para ulama untuk menyelamatkan sunnah dan Hadis sebagai sumber
ajaran islam. Pencatatan hadis yang pada awalnya dipertentangkan, menjadi
hal yang mesti untuk dilakukan. Bukankah pelarangan pencatatan hadis oleh Rasulullah saw
dilakukan untuk kemaslahatan. Oleh karena itu, pencatatan hadis untuk
memelihara keaslian sunnah dan hadis nabi mesti pula dilakukan. Supaya umat
islam di masa depan tidak kehilangan petunjuk yang akan menunjukkan mereka ke
jalan yang benar.
DAFTAR FUSTAKA
Muhammad bin Mathar al-Zahrani. Tadwin
as-Sunnah an-Nabawiyah. hlm. Tadwin diambil dari bahasa Persia (Iran) yang
diarabkan.
Mudasir "Ilmu Hadis" ; 2008 M./1429
H.Pustaka Setia. Surabaya
Jumantoro,
Totok, Kamus Ilmu Hadis. 2002. Jakarta: Bumi Aksara.
Ibn
Muhammad Abu Syahbah, Muhammad. Al- Wasiit fi al-Ulum wa Musthola
al-Hadith. Mesir: Dar al- Fikr al-Arabi.
Rahman,
Fatchur. Ikhtishar Mushthalahu’l Hadits. Bandung: PT Alma’arif, 1974.
Ranuwijaya,
Utang. Ilmu Hadis. Jakarta Selatan: Gaya Media Pratama, 1996.
Sulaiman
PL, Noor. Antologi Ilmu Hadith. Jakarta: Gaung Persada Press, 2008.
MAKALAH
Diajukan Untuk Tugas Terstruktur Pada Mata Kuliah Ulumul
Hadits
Dosen
Pegampu :
Ujang rohman, M.Ag
Oleh :
Nama
: Dedi Mulyana
NIM
: 1136000028
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN
GUNUNG DJATI
BANDUNG
2014/1435H
BAB I
PENDAHULUAN
Pada abad ke IV dan ke V ini
adalah abad dimana dilakukan pelestarian hadits atau yang disebut dengan
pengkodifikasian hadits. Kodifikasi atau tadwin secara bahasa adalah mengikat yang
terpisah dan mengumpulkan yang tercecer kepada satu diwan/kitab. Dan tadwin
secara istilah adalah aktifitas
mengklasifikasikan dan penyusunan.
Sejarah pengumpulan dan penulisan
Hadith dan ilmu Hadith telah melewati fase historis yang sangat panjang
semenjak Nabi SAW, sahabat, tabi’in dan seterusnya hingga mencapai puncaknya
pada kurun abad III Hijriyah. Perjuangan para ulama Hadith yang telah berusaha
dengan keras dalam melakukan penelitian dan penyeleksian terhadap hadish, mana
yang soheh dan mana yang da’if, telah menghasilkan metode-metode
yang cukup kaya, mulai dari metode penyusunan dalam berbagai bentuknya (musnad,
sunan, jami’ dan lain-lainnya), hingga kaidah-kaidah penelusuran Hadith. Kaidah-kaidah
tersebut akhirnya menjadi disiplin ilmu tersendiri yang kemudian disebut dengan
ilmu Hadith.
Namun, karena pembukuan
Hadith baru bisa di lakukan dalam rentang waktu yang cukup lama (hampir seratus
tahun) setelah Nabi Muhammad SAW wafat, ditambah lagi dengan kenyataan sejarah
bahwa banyak Hadith yang dipalsukan, maka keabsahan Hadith-Hadith yang beredar
di kalangan kaum muslimin menjadi rancau, meskipun mereka telah meneliti dengan
seksama.
Pengkodifikasian hadis-hadis Rasulullah
saw secara resmi baru dimulai 100 tahun
setelah Rasulullah SAW wafat.
Tepatnya pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz. Pada awal perkembangan
islam, pengkodifikasian hadis tidak terlalu penting karena pada waktu itu
banyak sekali orang-orang yang mengetahui hadis Nabi. Seiring dengan perjalanan
waktu, orang-orang yang hafal terhadap Al-Hadis semakin berkurang disebabkan
mereka gugur di peperangan. Maka dengan segera umat Islam mengantisipasiya
dengan melakukan kodifikasi hadis.
Akan tetapi kodifikasi Hadis tidak
mungkin dapat dilakukan tanpa ada usaha sebelumnya. Para sahabat telah menyusun
pondasi-pondasi kodifikasi dengan menghafal sabda Rasulullah SAW dengan
hafalannya mereka yang terkenal kuat. Di samping itu terdapat sebagian sahabat
yang mencatat hadis-hadis ke dalam catatan mereka.
Kemudian usaha yang dilakukan pada masa
sahabat ini terus dikembangkan oleh generasi Tabi'in dan generasi
selanjutnya menggunakan sistem
sanad. Sehingga kodifikasi yang
dilakukan secara resmi pada paruh pertama dari abad kedua dan seterusnya dapat
dipertanggung jawabkan dan diuji keotentikannya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
KODIFIKASI HADITS PADA ABAD KE IV
Dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan periwayatan Hadith
mulai berkembang, sejalan dengan banyaknya ulama’ yang tertarik untuk menulis
fatwa-fatwa dari para Sahabat dan Tabi’in dalam permasalahan-permasalahan yang
timbul pada waktu itu. Dan untuk mengantisipasi hilangnya Hadith-Hadith nabi,
karena adanya Hadith-Hadith palsu yang menyebar di kalangan sahabat yang wafat
dalam menegakkan agama Allah, maka usaha penulisan dan kodifikasi (tadwin)
Hadith semakin keras di lakukan para ulama’ di kalangan Tabi’in.
Kodifikasi atau tadwin
Hadith, artinya ialah pencatatan, penulisan, atau pembukuan Hadith. Secara
individual, seperti diuraikan dalam pembahasan diatas, pencatatan telah
dilakukan oleh para Sahabat sejak zaman Rasul SAW. Akan tetapi yang dimaksud
dalam pembahasan ini, ialah kodifikasi secara resmi berdasarkan perintah
khalifah, dengan melibatkan beberapa personil yang ahli dalam masalah ini.
Bukan yang dilakukan secara perseorangan atau untuk kepentingan pribadi,
seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Dan yang perlu digaris bawahi dalam pembahasan kodifikasi
Hadith adalah, bahwa kodifikasi Hadith ini terjadi pada akhir qurun partama,
dan pembahasan tentang kaidah-kaidah kodifikasi Hadith belum ditulis pada
waktu itu, akan tetapi hanya dikonsep dalam hati para penulis, dan di hati
mereka terdapat Hadith- Hadith pilihan sebelum masa kodifikasi. Pun pula para
perowi dan pengumpul Hadith tidak mempunyai dasar-dasar dan
kaidah-kaidah tertulis penyusunan, akan tetapi mereka mempunyai dasar-dasar dan
kaidah-kaidah yang sempurna dalam hati walaupuntidak bisa diwujudkan dalam
kenyataan.
Setelah agama islam tersiar luas di masyarakat, dipeluk dan
dianut oleh penduduk yang bertempat tinggal diluar jazirah Arabia, dan para
sahabat mulai terpencar di beberapa wilayah, bahkan tidak sedikit jumlahnya
yang telah meninggal dunia, maka terasalah perlunya Al-Hadith di abadikan dalam
bentuk tulisan dan kemudian di bukukan dalam dewan Hadith.Urgensi ini
menggerakkan hati Khalifah Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah Bani Umayyah
yang menjabat antara tahun 99 H sampai tahun 101 H, untuk menulis dan
membukukan Al-Hadith.
Usaha kodifikasi Hadith yang pertama ini yang dipimoin oleh
khalifah Umar bin ‘abdul Aziz ( khalifah bani umayyah VIII ), melalui
intruksinya kepada pejabat daerah agar memperhatikan dan mengumpulkan Hadith
dari para penghafalnya. Intruksi khalifah yang pertama ini pertama kali di
sampaikan pada Abu Bakr bin Muhammad ibn ‘mr ibn Hazm ( Gubernur Madinah ), ia
mengirim instruksi yang iainya:
انظرماكان حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم فاكتبوه , فانى
حفت دروس العلم وذهاب العلماء ولاتقبل الا حديث الرسول
“Perhatikan atau periksalah
Hadith- Hadith Rasul SAW kemudian tulislah ! Aku khawatir akan lenyapnya ilmu
dengan meninggalnya para ulama (para ahlinya). Dan janganlah kamu terima
kecuali Hadith- Hadith dari Rasul SAW”
Dengan adanya perintah dari
Khalifah Umar bin Abdul Aziz tersebut, para ulama mulai menulis dan membukukan
Hadith dan pada waktu itu pula masjid-masjid dipenuhi para yang melakukan
pengkajian dan pembahasan Hadith. Perintah tersebut diikuti dengan kebijaksanaan
penggunaan sebagian Bait al-Mal untuk membiayai kegiatan penulisan
Hadith. Ibn Syihab al-Zuhri adalah orang yang pertama yang melaporkan
pengumpulan Hadith pada permulaan abad ke-2. Kemudian disusul oleh ulama
yang lain bersamaan dengan kegiatan Ulama dalam bidang Ilmu-ilmu agama
lainya,seperti Ilmu fikih, ilmu kalam, dan sebagainya. Oleh karena itu, masa
ini dikenal dengan ‘ashr al-tadwin (masa pembukuan).
Abu bakr ibn Hazm berhasil
menghimpun Hadith- Hadith yang ada pada ‘Amrah binti ‘Abd al-Rahman al-Anshari
(murid kepercayaan ‘A’isyah),yang menurut Ulama tidaklah begitu
lengkap.Sedangkan Ibn Syihab al Zuhri berhasil menghimpunnya, yang menurut
penilaian para Ulama lebih lengkap. Akan tetapi, sayang sekali karya dari kedua
ulama Tabi’in ini lenyap, tidak sampai diwariskan kepada generasi sekarang.
1. Motif utama Khalifah Umar bin Abdul Aziz berinisiatif
membukukan Hadith:
a. Kemauan beliau
yang kuat untuk tidak membiarkan Hadith seperti waktu yang sudah-sudah. Karena
beliau hawatir akan hilang dan lenyapnya Hadith dari perbendaharaan masyarakat,
disebabkan belum dikodifikasikannya dalam diwan Hadith.
b. kemauan beliau
yang keras untuk membersihkan dan memelihara Hadith dari Hadith- Hadith
maudlu’ yang di buat oleh orang-orang untuk mempertahankan ideologi
golongannya dan mempertahankan madzhabnya, yang mulai tersiar sejak awal
berdirinya kekhalifahan Ali bin Abi Thalib r.a .
c. Alasan tidak
didewankannya Hadith secara resmi di zaman Rasulullah SAW dan Khulafa
al-rasyidin, karena adanya kekawatiran bercampur dengan Al-Quran.
d. Kalau zaman
Khulafa al-Rasyidin belum pernah dibayangkan dan terjadi peperangan antara
orang muslim dengan orang kafir, demikian juga perang saudara orang muslim yang
kian hari kian menjadi-jadi, yang sekaligus berakibat berkurangnya jumlah ulama
ahli Hadith.
Setelah
berlalu abad ke 3 yang merupakan masa keemasan bagi perkembangan ilmu-ilmu
islam, khususnya ilmu-ilmu tentang hadis Nabi. Ulama pada abad ke 4 ini
mengikuti usaha pendahulu mereka dalam berkhidmat kepada Sunnah Nabi saw.
Abad ke empat ini merupakan abad
pemisahan antara ulama Mutaqaddimin, yang dalam menyusun kitab hadits mereka
berusaha sendiri menemui para sahabat atau tabi’in atau tabi’in yang menghafal
hadits dan kemudian menelitinya sendiri, dengan ulama mutaakhirin yang dalam
usahanya menyusun kitab-kitab hadits, mereka hanya menukil dari kitab-kitab
yang disusun oleh ulama mutaqaddimin.
Mereka berlomba-lomba untuk menghafal
sebanyak-banyaknya hadits-hadits yang telah dikodifikasikan, sehingga tidak
mustahil sebagian dari mereka sanggup menghafal beratus-ratus ribu hadits.
Sejak periode inilah timbul bermacam-macam gelar keahlian dalam ilmu hadits,
seperti gelar al-Hakim dan al-Hafidz. Adapun Kitab – kitab yang masyhur hasil
ulama abad ke-empat, antara lain :
1. Mu’jamu al-Kabir, M’jamu al-Awsath, Mu’jamu al-Shaghir, karya al-Imam Sulaiman bin Ahmad al-Tabrany (360 H.).
2. Sunan al-Daruquthny, karya al-Imam Abdul Hasan Ali bin
Umar bin Ahmad al-Daruquthny (306-385 H.).
3. Shahih bin ‘Auwanah, karya Abu ‘Auwanah Ya’qub bin Ishaq
bin Ibrahim al-Asfayainy (354 H.).
4. Shahih
Ibnu Khudzaimah, Karya Ibnu Khudzaimah Muhammad bin Ishaq (316 H.).
2.
Perkembangan Kodifikasi Pada Abad ini
Di antara mereka ada menyusun kitab hadis mengikuti
metode kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim dalam mentakhrij hadis-hadis
shahih. Diantaranya:
a). Shahih Ibn Khuzaimah (223 H-311 H)
b). Shahih Ibn Hibban (>270 H-354 H)
c). Al Mustadrak al-Hakim (321 H-405 H)
Ada pula
beberapa ulama yang menyusun kitab hadis dengan menggunakan metode As-Sunan dalam penyusunannya.
Diantaranya:
a).
Muntaqo ibn Jarud
(w. 307 H)
b). Sunan Ad-Daruquthni (306 H-385 H)
c). Sunan Al-Kubra Al-Baihaqi (384 H-458 H)
Muncul pula pada masa ini kitab hadis
yang sangat bemanfaat sekali dalam menjelaskan antara hadis yang tampaknya
bertentangan. Diantaranya:
Syarh Musykil al-Atsar Ath-Thahawi (239 H-321 H)
Pada masa ini pun para ulama ada yang membuat kitab hadis
yang mentartib hadis-hadis
berdasarkan nama sahabat periwayatnya. Diantaranya: Mu’jam
Al-Kabir Ath-Thabrani (260 H-360 H)
Beberapa ulama membuat kitab-kitab Mustakhraj. Mustakhraj
artinya adalah yang dikeluarkan, maksudnya adalah seorang mengeluarkan
(meriwayatkan) hadis dari satu kitab, dan sanadnya dari dia sendiri. Lalu
sanadnya bertemu dengan syaikh pengarang kitab itu, selanjutnya bertemu dengan
rawi yang lebih atas dari syaikh tersebut.
Diantara kitab Mustakhraj ini adalah:
a). Mustakhraj
Abu Bakar Al-Isma’ili ‘ala Shahih al-Bukhari
(w. 371 H)
b).
Mustakhraj Muhammad bin Ahmad bin Al-Hasan Al-Ghatrifi ‘ala al Bukhari (w. 377
H)
c). Mustakhraj
Ibn Abi Dzihlin ‘ala al-Bukhari (w. 378 H)
d). Mustakhraj
Ahmad bin Musa bin Mardawaih Al-Ashbahani ‘ala Shahih al-Bukhari (w. 416
H)
e). Mustakhraj
Ya’qub bin Ishaq Al-Isfirayaini ‘ala shahih Muslim (w. 316 H)
f).
Mustakhraj Ahmad bin Salamah An-Naisaburi ‘ala Shahih muslim (w. 286 H)
g).
Mustakhraj Ahmad bin Hamdan bin ‘Ali Al-Hairy An-Naisaburi ‘ala Muslim (w. 311
H)
h).
Mustakhraj Muhammad bin Muhammad bin Raja’ An-Naisaburi ‘ala Muslim (w. 286
H)
i). Mustakhraj
Muhammad bin Muhammad bin Yusuf Ath-Thusi ‘ala Shahih Muslim
(w. 344 H)
B. KODIFIKASI HADIS PADA ABAD KE 5
Pada abad ini para ulama mencoba
membuat kumpulan hadis dengan metode jam’i. Yaitu metode penggabungan antara
dua kitab atau lebih kitab. Kitab ini dikutip dari beberapa kitab hadis abad
sebelumnya. Diantaranya:
1. Al-Jam’u Baina as-Shahihain (Kumpulan
dari Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim)
a. Ad-Dimasyqi (w. 401 H)
b. Ibn Al-Furat (w.
414 H)
c. Al-Barqoni (w.
425 H)
d. Imam Abi Abdillah Al-Humaidi Al Andalusi (w. 488 H)
e. Al-Baghawi (w.
516 H)
f. Al-Asybili (w.
581 H)
g. Imam Abi Abdillah Al-Anshary (w. 582 H)
h. Abi Hafsh Al-Maushili (w.
622 H)
i. Ash-Shagani (w. 650 H)
2. Al-Jam’u
baina Kutub al-Khamsah au As-Sittah (Kumpulan dari kutub al-Khomsah atau
al-Sittah)
a. At-Tajrid
li Ash-Shihhah wa As-Sunan As-Sirqisthi (w. 535 H)
b. Al-Jaami’
baina al-Kutub As-Sittah Al-Asybili (w.
581 H)
c. Jaami’
al-Ushul fi Ahaadiits Ar-Rasul Ibn Atsir (544
H-606 H)
d.
Anwaar al-Mishbah fi al-Jam’i baina al-Kutub As-Sittah Ash-Shihhah
Al-Gharnathi (w. 646 H)
Pada Abad
ini pun muncul beberapa kitab yang lain, yang semakin memperkaya khazanah
keilmuan Islam. Diantaranya:
a. Syarh As-Sunnah Al Baghawi (436 H-516 H)
b. Mashabih As-Sunnah Al-Baghawi (436 H-516 H)
c. Jaami’ al-Ushul fi Ahaadiits Ar-Rasul
Ibn Atsir (544 H-606 H)
Usaha ulama ahli hadits pada abad V dan
seterusnya adalah ditujukan untuk mengklasifikasikan al-Hadits dengan
menghimpun hadits-hadits yang sejenis kandungannya atau sejenis sifat-sifat
isinya dalam satu kitab hadits. Disamping itu mereka pada men-syarahkan
(menguraikan dengan luas) dan mengikhtishar (meringkaskan) kitab-kitab hadits
yang telah disusun oleh ulama yang mendahuluinya. seperti yang dilakukan oleh
Abu 'Abdillah al-Humaidi (448 H.) adapun contoh kitab-kitab hadits pada periode
ini antara lain:
1.
Sunan al-Kubra, Karya abu Bakar Ahmad bin Husain 'Ali
al-Baihaqy (384-458 H.)
2.
Muntaqa al-Akhbar, karya
Majduddin al-Harrany (652 H.)
3.
Fathu al-Bari Fi Syarhi al-Bukhari, Karya Ibnu Hajar
al-'Asqolany (852 H.).
4.
Nailu
al-Awthar,
Syarah kitab Muntaqa al-Akhbar, karya al-Imam Muhammad bin Ali al-Syaukany
(1172- 1250 H.)
Dan
muncul pula Kitab-kitab hadits targhib dan tarhib, sepeti :
1.
Al-Targhib
wa al-Tarhib, karya al-Imam Zakiyuddin Abdul ‘Adzim al-Mundziry (656 H.)
2.
Dalailu
al-falihin,
karya al-Imam Muhammad Ibnu ‘Allan al-Shiddiqy (1057 H.) sebagai kitab syarah
Riyadu al-Shalihin, karya al-Imam Muhyiddin abi zakaria al-Nawawawi (676 H.)
Pada periode ini para ulama juga menciptakan kamus hadits
untuk mencari pentakhrij suatu hadits attau untuk mengetahui dari kitab hadits
apa suatu hadits didapatkan, misalnya :
1.
al-Jami’u
al-Shaghir fi Ahaditsi al-Basyiri al-Nadzir , karya al-Imam Jalaluddin
al-Suyuthy (849-911 H.)
2.
Dakhairu
al-Mawarits fi Dalalati ‘Ala Mawadhi’i al-Ahadits, karya al-Imam al-‘Allamah
al-Sayyid Abdul Ghani al-Maqdisy al-Nabulisy.
3.
Al-Mu'jamu
al-Mufahras Li al-Alfadzi al-Haditsi al-Nabawy, Karya Dr. A.J. Winsinc dan
Dr. J.F. Mensing.
4.
Miftahu
al-Kunuzi al-Sunnah, Karya Dr. A.J. Winsinc.
BAB III
SIMPULAN
Dari sedikit uraian sejarah kodifikasi al-Hadits
tersebut, dapat kita tarik sebuah kesimpulan, bahwa hadits yang sekarang bisa
kita nikmati dari kitab-kitab hadits susuanan para ulama, ternyata memiliki
sejarah perjuangan yang besar.
Pengkodifikasian kitab hadis dari Abad IV abad Ke V,
merupakan usaha para ulama untuk menyelamatkan sunnah dan Hadis sebagai sumber
ajaran islam. Pencatatan hadis yang pada awalnya dipertentangkan, menjadi
hal yang mesti untuk dilakukan. Bukankah pelarangan pencatatan hadis oleh Rasulullah saw
dilakukan untuk kemaslahatan. Oleh karena itu, pencatatan hadis untuk
memelihara keaslian sunnah dan hadis nabi mesti pula dilakukan. Supaya umat
islam di masa depan tidak kehilangan petunjuk yang akan menunjukkan mereka ke
jalan yang benar.
DAFTAR FUSTAKA
Muhammad bin Mathar al-Zahrani. Tadwin
as-Sunnah an-Nabawiyah. hlm. Tadwin diambil dari bahasa Persia (Iran) yang
diarabkan.
Mudasir "Ilmu Hadis" ; 2008 M./1429
H.Pustaka Setia. Surabaya
Jumantoro,
Totok, Kamus Ilmu Hadis. 2002. Jakarta: Bumi Aksara.
Ibn
Muhammad Abu Syahbah, Muhammad. Al- Wasiit fi al-Ulum wa Musthola
al-Hadith. Mesir: Dar al- Fikr al-Arabi.
Rahman,
Fatchur. Ikhtishar Mushthalahu’l Hadits. Bandung: PT Alma’arif, 1974.
Ranuwijaya,
Utang. Ilmu Hadis. Jakarta Selatan: Gaya Media Pratama, 1996.
Sulaiman
PL, Noor. Antologi Ilmu Hadith. Jakarta: Gaung Persada Press, 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar