BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Good Governance diperkenalkan
oleh Bank Dunia dalam publikasinya Sub Saharan Africa : From Crisis to
Sustainable Growth pada tahun 1989. Wacana ini memiliki tujuan untuk
“memberdayakan masyarakat umum” yang ada di
Benua Afrika. Wacana Good Governance sendiri yang bergulir pada dekade
tahun 90-an tentunya tidak lepas dari perubahan peta politik dunia yang begitu
dinamis kala itu. Adapun perubahan – perubahan tersebut disinyalir disebabkan
oleh tiga faktor antara lain hilangnya legitimasi, keruntuhan ekonomi, dan
protes rakyat. Pemikiran tentang good
governance ini pertama kali dikembangkan oleh lembaga dana internasional
seperti world bank, UNDP dan IMF dalam rangka menjaga dan menjamin kelangsungan
dana bantuan yang diberikan kepada negara sasaran bantuan. Penyandang dana
bantuan memandang bahwa setiap bantuan untuk negar-negara didunia terutama
negara berkembang, sulit berhasil tanpa adanya Good Governance. Karena itu Good Governance menjadi isu sentral dalam
hubungan lembaga-lembaga multilateral tersebut bersama negara sasaran, disisi
lain memaknai Good Governance sebagai aplikasian kongkrit
dari pemerintahan demokrasi dengan demikian Good Governance adalah pemerintahan yang baik
dalam standar proses dan maupun hasil-hasilnya semua unsur pemerintahan bisa
bergerak secara sinergis, tidak saling berbenturan, memperoleh dukungan dari
rakyat dan terlepas dari gerakan-gerakan anarkis yang dapat menghambat proses
pembangunan.
B.
Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa
pengertian dari Good Governance?
2. Apa
saja prinsip-prinsip Good Governance ?
3. Apa
yang menjadi penyebab Good Governance masuk ke Indonesia?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Memenuhi tugas mata kuliah Pancasila
2.
Memberikan pemahaman mengenai pengertian dari Good Governance
3.
Memberikan gambaran bagaimana penerapannya di Indonesia
4.
Menelusuri bagaimana Governance menjadi jalan keluar yang di
gembar-gemborkan pada masa orde baru ke reformasi.
BAB II
GOOD GOVERNANCE
A. Pengertian
Good Governance
Administrasi publik mengalami perkembangan paradigma secara dinamis. Diawali
dengan Old Public Administration, di mana terjadi dikotomi locus dan fokus, dan
masih kental orientasinya dengan government. OPA pada perkembangannya bergeser
menjadi paradigma baru, yaitu New Public Manajemen, New Public Services hingga Good Governance
(Keban, 2008). Good Governance diterjemahkan sebagai tata pemerintahan yang
baik merupakan tema umum kajian yang populer, baik di pemerintahan, civil
society maupun di dunia swasta. Kepopulerannya adalah akibat semakin
kompleksnya permasalahan, seolah menegaskan tidak adanya iklim pemerintahan
yang baik. Good Governance dipromosikan oleh World Bank untuk menciptakan
tatanan pemerintahan yang sehat. Pemahaman pemerintah tentang good governance
berbeda-beda, namun setidaknya sebagian besar dari mereka membayangkan bahwa
dengan good governance mereka akan dapat memiliki kualitas pemerintahan yang
lebih baik. Banyak di antara mereka membayangkan bahwa dengan memiliki praktik
good governance yang lebih baik, maka kualitas pelayanan publik menjadi semakin
baik, angka korupsi menjadi semakin rendah, dan pemerintah menjadi semakin
peduli dengan kepentingan warga (Dwiyanto, 2005). Lalu bagaimana sebenarnya
asal usul ide Good Governance itu muncul? Bagaimana pula Konsep yang menjadi
landasan untuk terwujudnya Good
Governance? Kritik apa saja yang muncul akibat adanya Paradigma Good
Governance?.
Makalah ini menjelaskan tentang pengertian good governance, kronologi munculnya ide
good governance, dan kritik yang muncul terhadap good governance.
ood
Governance bisa diartikan juga sebagai kinerja suatu
lembaga baik itu pemerintahan, perusahaan, dan organisasi kemasyarakatan.
Pemerintahan yang baik, citra negara berdasarkan hukum, dimana masyarakatnya
merupakan self regulatory society. Dengan demikian, pemerintahan sudah
dapat mereduksi perannya sebagai pembina dan pengawas implementasi visi dan
misi bangsa dalam seluruh sendi-sendi kenegaraan melalui pemantauan terhadap
masalah-masalah hukum yang timbul dan menindak lanjuti keluahan-keluahan
masyarakat dan sebagai fasilitator yang baik. Dengan pengembangan informasi
yang baik, kegiatan pemerintahan menjadi lebih transparan, dan akuntabel,
karena pemerintah mampu menangkap feedback dan meningkatkan peran serta
masyarakat.[1]
Menurut bahasa Good Governance diartikan dengan “pemerintahan
yang baik”. Sedangkan menurut istilah Good Governance adalah suatu kesepakatan
menyangkut pengaturan negara yang diciptakan bersama oleh pemerintah,
masyarakat madani (civil society) dan sektor suasta. Kesepakatan tersebut mencakup
keseluruhan bentuk mekanisme, kepentingan, menggunakan hak hukum, memenuhi
kewajiban, dan menjembatani perbedaan diantara mereka (ICCE UIN Syahid Jakarta, 2003:181).[2]
Konsep good governance
yang dimajukan di atas menggambarkan bahwa sistem pemerintahan yang baik
menekankan kepada kesepakatan pengaturan negara yang diciptakan bersama
pemerintah, lembaga-lembaga negara yang baik di tingkat pusat maupun daerah,
sektor swasta, masyarakat madani.[3]
Dengan demikian Good
governance dikategorikan pemerintahan yang baik, dalam standar proses dan
maupun hasil-hasilnya, semua unsur pemerintahan bisa bergerak secara sinergis,
tidak saling berbenturan, memperoleh dukungan dar rakyat dan terlepas dari
gerakan-gerakan anarkis yang dapat menghambat proses pembangunan. Dapat di
kategorikan pemerintahan yang baik, jika pembangunan itu dapat dilakukan dengan
biaya sangat minimal menuju cita-cita kesejahteraan dan kemakmuran,
memperlihatkan hasil indikator kemampuan ekonomi rakyat meningkat,
kesejahteraan spiritualisasinya meningkat dengan indikator masyarakat rasa
aman, tenang, bahagia dan penuh dengan kedamaian.[4]
B.
Prinsip dan Pilar
Good Governance di Indonesia
Berikut adalah prinsip-prinsip Good Governance :
a.
Partisipasi masyarakat
Semua warga masyarakat
mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun
melalui lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi
menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan
pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif.
b.
Tegaknya supremasi hukum
Menurut Asep Sulaiman
(2012:156) kerangka hukum harus adil dan di berlakukan tanpa pandang bulu,
termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia. Karna
prinsip penegakan hukum menunjukan adanya penegakan hukum yang adil bagi semua
pihak tanpa kecuali, menjungjung tinggi HAM dan memperhatikan nilai-nilai hidup
masyarakat.[5]
c.
Transparansi
Tranparansi
di bangun atas darsar arus informasi yang bebas, dengan
adanya
transparansi maka pemerintahan menunjukan kinerjanya sebagai tolak ukur dan
informasi bagi masyarakat dipemerintahan.[6]
d.
Peduli pada stakeholder
Maksud dari peduli pada stakeholder
lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha mngayomi semua
pihak yang berkepentingan.
e. Berorientasi pada konsensus
Tata pemerintahan yang baik menjembatani
kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus
menyeluruh dalam hal apa yang terbaikbagi kelompok-kelopok masyarakat, dan bila
mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.[7]
f.
Kesetaraan
Kesetaraan adalah perlakuan yang sama kepada
semua unsur tanpa memandang atribut yang menempel pada subyek tersebut
(prasetya,2001:78). Dalam hal ini jelas bahwa setiap warga juga mempunyai
kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahtraan mereka.[8]
g.
Efektifitas dan Efesien
Proses-proses pemerintahan lembaga –lembaga
membuahkan hasil seseuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunaka
sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.[9]
h.
Akuntabilitas
Para pengambil keputusan di
pemerintah sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab
baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan.[10]
i.
Visi strategis
Para pemimpin dan masyarakat
memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang
baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan
untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki
pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar
bagi perspektif tersebut.[11]
Berikut adalah pilar-pilar Good Governance :
Good
governance hanya bermakna bila keberadaannya ditopang oleh lembaga yang
melibatkan kepentingan publik . jenis lembaga tersebut adalah :
a.
Negara
1.
Menciptakan kondisi politik,
ekonomi dan sosial yang stabil.
2.
Membuat peraturan yang efektif
dan berkeadilan
3.
Menyediakan public service
yang efektifdan accountable
4.
Menegakkan HAM
5.
Melindungi lingkungan hidup
6.
Mengurus standar kesehatan dan
standar keselamatan publik [12]
b.
Sektor Swasta
1.
Menjalankan industri
2.
Menceiptakan lapangan kerja
3.
Menyediakan insentif bagi
karyawan
4.
Meningkatkan standar hidup
masyarakat
5.
Memilahara lingkungan hidup
6.
Menaati peraturan transfer ilmu
pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat
7.
Menyediakan kredit bagi
pengembangan HAM[13]
c.
Masyarakat Madani
1.
Menjaga agar hak-hak
masyarakat terlindungi
2.
Mempengaruhi kebijakan publik
3.
Sebagai sarana cheks dan
balances pemerintah
4.
Mengawasi penyalahgunaan kewenangan
sosial pemerintah
5.
Mengembangkan SDM
6.
Sarana berkomunikasi antara
anggota masyarakat[14]
C. Latar belakang Good
Governance di Indonesia
Transformasi government sepanjang abad ke-20 pada
awalnya ditandai dengan konsolidasi pemerintahan demokratis (democratic
government) di dunia Barat. Tahap II berlangsung pada pasca Perang Dunia I,
diindikasikan dengan semakin menguatnya peran pemerintah. Pemerintah mulai
tampil dominan, yang melancarkan regulasi politik, redistribusi ekonomi dan
kontrol yang kuat terhadap ruang-ruang politik dalam masyarakat. Peran negara
pada tahap ini sangat dominan untuk membawa perubahan sosial dan pembangunan
ekonomi. Tahap III, terjadi pada periodisasi
tahun 1960-an sampai 1970-an, yang menggeser perhatian ke pemerintah di
negara-negara Dunia Ketiga. Periode tersebut merupakan perluasan proyek
developmentalisme (modernisasi) yang dilakukan oleh dunia Barat di Dunia Ketiga,
yang mulai melancarkan pendalaman kapitalisme. Pada periode tersebut, pendalaman kapitalisme itu diikuti oleh
kuatnya negara dan hadirnya rezim otoritarian di kawasan Asia, Amerika Latin
dan Afrika. Modernisasi mampu mendorong pembangunan ekonomi dan birokrasi yang
semakin rasional, partisipasi politik semakin meningkat, serta demokrasi
semakin tumbuh berkembang merupakan asumsi perspektif Barat yang
dimanifestasikan dalam tahapan tersebut. Perspektif ini kemudian gugur, karena
pembangunan ekonomi di kawasan Asia dan Amerika Latin diikuti oleh meluasnya
rezim otoritarian yang umumnya ditopang oleh aliansi antara militer, birokrasi
sipil dan masyarakat bisnis internasional (Bourgon, 2011). Tahap IV, ditandai
dengan krisis ekonomi dan finansial negara yang melanda dunia memasuki dekade
1980-an. Krisis ekonomi juga
dihadapi Indonesia yang ditandai dengan
anjloknya harga minyak tahun 1980-an. Krisis ekonomi pada periode 1980-an
mendorong munculnya cara pandang baru terhadap pemerintah. Pemerintah dimaknai
bukan sebagai solusi terhadap problem yang dihadapi, melainkan justru sebagai
akar masalah krisis. Karena itu pada masa ini berkembang pesat “penyesuaian
struktural”, yang lahir dalam bentuk deregulasi, debirokratisasi, privatisasi,
pelayanan publik berorientasi pasar. Berkembangnya isu-isu baru ini menandai
kemenangan pandangan neoliberal yang sejak lama menghendaki peran negara secara
minimal, dan sekaligus kemenangan pasar dan swasta. Tahap V, adalah era
1990-an, dimana proyek demokratisasi (yang sudah dimulai dekade 1980-an)
berkembang luas seantero jagad. Pada era ini muncul cara pandang baru terhadap
pemerintahan, yang ditandai munculnya governance dan good governance.
Perspektif yang berpusat pada government bergeser ke perspektif governance. Sejumlah
lembaga donor seperti IMF dan World Bank dan para praktisi pembangunan
internasional yang justru memulai mengembangkan gagasan governance dan juga
good governance.
Sebagai reaksi terhadap krisis pada tahun 1985,
Secretary of the Treasury Amerika Serikat, James Baker menginisiasi sebuah
kebijakan baru, yaitu Structural Adjustment Program (SAP). Kebijakan ini
berbasis pada Washington Consensus. Berdasarkan kebijkana baru ini,
Negara-negara yang ingin mendapatkan utang dari IMF dan Bank Dunia harus berkomitmen
untuk melakukan re-strukturisasi atau perubahan dalam kebijakan ekonomi makro
mereka, yang berarah pada ekonomi yang berorientasi ekspor (export-led growth),
mengurangi peranan Negara dalam ekonomi (good governance), dan privatisasi
sector-sektor publik (Gilpin, 2001 :314).
Bank Dunia sendiri
dalam mempromosikan good governance di Indonesia melalui tiga pintu yaitu CGI
(Consultative Group on Indonesia), Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan
(Partnership for Governance Reform)
dan Justice for the Poor. Dalam
forum tahunan CGI, Bank Dunia memimpin dan memiliki kekuasaan untuk mengarahkan
kebijakan ekonomi (termasuk desakan pembentukan peraturan perundang-undangan).
Ini bisa terjadi karena pemerintah masih menerima kucuran utang sehingga
prasyarat utang tersebut harus dipenuhi sebagai kompensasinya. Sedangkan Bank
Dunia pula bekerja secara dekat dengan UNDP dan ADB sebagai sponsor dana utama
untuk Partnership for Governance Reform. Melalui forum kelompok
multi-stakeholder di Kemitraan ini, Bank Dunia telah terlibat aktif dalam
membuat kerangka kerja hukum untuk pembangunan (legal framework for
development), seperti pembaruan peradilan, pembaruan hukum, dan pembentukan
lembaga pemerintahan baru. Pengaruh besar kemitraan ini adalah justru peran
hegemoninya sebagai lembaga dana untuk proyek-proyek governance yang dijalankan
oleh tidak saja lembaga negara, namun juga organisasi non-pemerintah. Sedangkan
Justice for the Poor adalah sebuah institusi yang baru-baru saja dikreasi Bank
Dunia dalam mempromosikan pengurangan kemiskinan di Indonesia, khususnya sebuah
strategi pemberdayaan untuk kaum miskin melalui bantuan hukum.
Bagi Bank Dunia,
program-program pemberdayaan hukum dan penyadaran hukum merupakan hal penting
dalam mewujudkan kaum miskin atas akses keadilan. Dalam urusan pemantauan
korupsi, Bank Dunia sendiri memilih menfokuskan lebih banyak pada proyek-proyek
yang didanainya sendiri, semacam Proyek Pengembangan Kecamatan (PPK). Proyek
pembaruan ketatapemerintahan melalui good governance cenderung untuk melayani
promosi konsensus pembaruan sosial dan ekonomi, khususnya dengan
mengaplikasikan pemberdayaan teknokratik dan bahasa liberal partisipasi. Di
titik ini, diskursus dan arah kecenderungan hak-hak asasi manusia lebih
menyesuaikan dengan liberalisasi pasar. Inilah yang disebut “market friendly
human rights paradigm‟ (paradigma hak-hak asasi manusia yang ramah pasar).
Muncul dan berperannya Justice for the Poor di Indonesia adalah tak terpisahkan
dengan program global dalam Poverty Reduction Strategy Papers (PRSPs) yang
disponsori Bank Dunia. PRSPs telah mengaplikasikan proyek dan mekanisme seragam
untuk berbagai persoalan kemiskinan di negara ketiga. PRSPs yang demikian harus
diimplementasikan sebagai kondisi untuk menerima pinjaman. Berdasarkan laporan
Focus on Global South yang bermarkas di Bangkok, PRSPs telah mempromosikan
kebijakan-kebijakan berorientasikan pasar, perdagangan terbuka, investasi,
rezim finansial, dan mendesakkan peran negara agar menghapus
perusahaan-perusahaan milik negara.(Wiratraman 2006: 67). Kritik Good
Governance Berdasarkan uraian diatas dalam perjalanan penerapan good governance
hampir banyak negara mengasumsikannya sebagai sebuah ideal type of governance,
padahal konsep itu sendiri sebenarnya dirumuskan oleh banyak praktisi untuk
kepentingan praktis-strategis dalam rangka membangun relasi
negara-masyarakat-pasar yang baik dan sejajar.
Prinsip Good Governance sebenarnya sudah ditanamkan
pada saat Undang – Undang Dasar (UUD) 1945 pertama kali lahir. Prinsip ini
dapat dilihat dalam pembukaan UUD 1945 alenia IV. Namun pada perkembangannya
Good Governance mulai urgent dibicarakan pasca tumbangnya
rezim orde baru.
Tumbangnya rezim orde baru (atau populer disebut
masa reformasi) membuat supremasi terhadap sistem demokrasi semakin santer.
Demokrasi menjadi menjadi kata kunci dalam Good Governance.
Prinsip dasar yang kami maksud adalah tentang
prinsip musyawarah mufakat, menjunjung moralitas, bersikap terbuka, tanggap, menjaga persatuan, berkeadilan social,
bergotong-royong, bertanggung jawab, dan berkeinginan luhur.
Hal ini sejalan dengan sembilan nilai prinsipil
dalam Good Governance. Misalnya, prinsip
transparansi yang sudah terkandung dalam prinsip musyawarah mufakat. Dimana pengambilan keputusan dalam musyawarah
mufakat lebih mengutamakan unsur maslahat dibanding politis. Pengambilan
keputusan dalam musyawarah mufakat pun dapat diakses oleh keseluruhan
stakeholder terkait.
Prinsip lain adalah akuntabilitas. Prinsip akuntabilitas sudah terkandung dalam
nilai bertanggung jawab.
Orientasi ideal Good Governance diarahkan pada pencapaian tujuan nasional danpemerintahan yang
berfungsi ideal apabila melakukan upaya mencapai tujuan nasional secara
efektif dan efisien.
Pada Pembukaan Alenia IV UUD 1945 dinyatakan Tujuan Nasional adalah sebagai berikut;
1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia,
2) Memajukan kesejahteraan umum;
3) Mencerdaskan kehidupan bangsa,
4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dengan demikian maka Good Governance di Indonesia, dapat didefinisikan
sebagai praktek penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis dengan kemampuan mengelola berbagai sumberdaya
sosial dan ekonomi dengan baik untuk kepentingan rakyat Indonesia berdasarkan asas musyawarah dan mufakat.
Sedangkan wujudnya di Indonesia berupa
Penyelenggaraan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa, efisien dan
efektif, tanggap dan bertanggungjawab, bertindak dan berpihak pada kepentingan
rakyat, serta mampu menjaga keselarasan hubungan kemitraan melalui proses
interaksi yang dinamis dan konstruktif antara pemerintah, rakyat, dan berbagai
kelompok kepentingan di dalam tata kehidupan masyarakat Indonesia berdasarkan
Pancasila.
Kemasan wujud good governance dalam paradigma dalam negeri,
terefleksi dari penekanan pokok-pokok kebijakan yang mencakup tiga bidang, yaitu :
1) Politik:
memposisikan pemerintah sebagai fasilitator, mendorong dialogis yang
interaktif, dan dorongan untuk berkembangnya lembaga politik dan tradisi;
2) Partisipasi
masyarakat: mendorong prakarsa lokal terus berkembang dan mendorong peranan
maksimal lembaga kemasyarakatan;
3) Pembangunan
Daerah : pengakuan kewenangan daerah (kecuali yang dipusatkan), pemisahaan
eksekutif dan legislatif daerah, serta mengawal berkembangnya dinamika Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Memberikan tekanan orientasi regional/local,
menjawab masalah kunci daerah/wilayah, dan memperkuat kerja sama wilayah/antar
daerah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
uraian–uraian dari bab–bab sebelumnya maka penulis mengambil kesimpulan yaitu:
1. Pemerintahan yang baik tidak di lihat dari
sistem yang berbuat atau rancanggan undang-undang yang di
rumuskan, melainkan suatu sikap yang pasti dalam menangani suatu
permasalahn tanpa memandang siapa serta mengapa hal tersebut harus di lakukan.
2. Good Governance merupakan pengertian dalam hal yang luas
sehingga untuk memberikan arti serta defenisi tidak semudah mengartikan kata
perkata melainkan perlunya aspek –aspek serta pemikiran yang luas menyangkut
bidang tersebut.
3. Perlunya pengertian menggenai aspek-aspek
dalam Good Governance sehingga tidak ada kesalahan dalam
aplikasinya.
4. Penerapan Good Governance dalam sistem kepemerintahan saat ini sangat di perlukan karena peranan
perintah dalam memajukan suatu negara sangatlah besar.
B. Saran
Atas kesimpulan
di atas, penulis mengemukakan beberapa saran untuk membenahi
kelemahan-kelemahan dalam penegakkan prinsip good governance di
Indonesia yaitu:
1. Integritas dan nilai etika perlu ditingkatkan
atau dikomunikasikan dengan perilaku yang terbaik dan melibatkan pihak terkait.
Karena sebaik apapun desain sebuah pengawasan tidak akan terlaksana dengan
efektif, efisien dan ekonomis jika dilaksanakan oleh orang-orang yang memiliki
integritas dan nilai etika yang rendah.
2. Kinerja Inspektorat atau pengendalian intern
perlu terus ditingkatkan meskipun penulis mengusulkan sektor publik, namun itu
bukan berarti mengabaikan sektor pengawasan intern.
DAFTAR PUSTAKA
·
Saepuloh Aep
dan Tarsono, Pendidikan
Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi Islam, Bandung:Batic Press, 2012.
·
Sofhian Subhan
dan Sahid Gatara Asep, Pendidikan
Kewarganegaraan (Civic Education), Bandung:Fokusmedia, 2012.
·
Sulaiman
Asep, Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (Civic Education), Bandung:Asman Press, 2012.
saya IBU KARMILA posisi sekarang di malaysia
BalasHapusbekerja sebagai ibu rumah tangga gaji tidak seberapa
setiap gajian selalu mengirimkan orang tua
sebenarnya pengen pulang tapi gak punya uang
sempat saya putus asah dan secara kebetulan
saya buka FB ada seseorng berkomentar
tentang AKI NAWE katanya perna di bantu
melalui jalan togel saya coba2 menghubungi
karna di malaysia ada pemasangan
jadi saya memberanikan diri karna sudah bingun
saya minta angka sama AKI NAWE
angka yang di berikan 6D TOTO tembus 100%
terima kasih banyak AKI
kemarin saya bingun syukur sekarang sudah senang
rencana bulan depan mau pulang untuk buka usaha
bagi penggemar togel ingin merasakan kemenangan
terutama yang punya masalah hutang lama belum lunas
jangan putus asah HUBUNGI AKI NAWE 085-218-379-259 tak ada salahnya anda coba
karna prediksi AKI tidak perna meleset
saya jamin AKI NAWE tidak akan mengecewakan