Kamis, 05 Maret 2015

perkembangan jiwa keagamaan pada masa usia lanjut



BAB I
PENDAHULUAN

Manusia adalah makhluk yang eksploratif dan potensial. manusia juga disebut makhluk yang memiliki prinsip tanpa daya, karena untuk tumbuh dan berkembang secara normal manusia memerlukan bantuan dari luar dirinya. Bantuan dimaksud antara lain dalam bentuk bimbingan dan pengarahan dari lingkungannya. Pengarahan yang tidak searah dengan potensi yang dimiliki akan berdampak negative bagi perkembangan manusia.
Perkembangan yang negative tersebut akan terlihat dalam berbagai sikap dan tingkah laku yang menyimpang. Bentuk dan tingkah laku menyimpang ini terihat dalam kaitannya dengan kegagalannya manusia untuk memenuhi kebutuhan, baik bersifat fisik maupun psikis. Sehubungan dengan hal itu, maka dalam mempelajari perkembangan jiwa keagamaan perlu dilihat terlebih dahulu  kebutuhan-kebutuhan manusia secara menyeluruh. Sebab pemenuhan kebutuhan yang kurang seimbang  antara kebutuhan jasmani dan rohani akan menyebabkan timbulnya ketimpangan dalam perkembangan.
Para ahli psikologi perkembangan membagi-bagi perkembangan manusia berdasarkan usia menjadi beberapa tahapan atau periode perkembangan. Secara garis besarnya periode perkembangan itu dibagi menjadi: 1) masa prenatal; 2) masa bayi; 3) masa kanak-kanak; 4) masa pra pubertas; 5) masa pubertas; 6) masa dewasa; 7) masa usia lanjut, yang pada setiap tahap perkembangannya memiliki ciri-ciri tersendiri termasuk perkembangan jiwa keagamaan.
Sehubungan dengan kebutuhan manusia dari periode perkembangan tersebut, maka dalam kaitanna dengan perkembangan jiwa keagamaan akan dilihat bagaimana pengaruh timbal balik antara keduanya. Dengan demikian, perkembangan jiwa keagamaan akan dilihat dari tingkat usia.



BAB II
PEMBAHASAN

A.       Pengertian Usia Lanjut
Periode selama usia lanjut, ketika kemunduran fisik dan mental terjadi secara perlahan dan bertahap dan dikenal sebagai “senescence” yaitu masa proses menjadi tua. Usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode dimana seseorang telah beranjak jauh dari pada periode terdahulu.[1]
Didalam “gerontology” (ilmu yang mempelajari lanjut usia) lanjut usia dibagi menjadi dua golongan, yaitu “young old”(65-74) dan “old-old” (diatas 75 tahun). Dari kesehatan mereka dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok “well old” (mereka yang sehat dan tidak sakit apa-apa) dan “sick old” (mereka yang menderita penyakit dan memerlukan pertolongan medis dan psikiatris). Kebutuhan akan kesehatan bagi kelompok “sick old” ini semakin besar, sehingga didunia kedokteran berkembang spesialisasi yang dinamakan “geriatry” baik dari aspek medis (fisik) maupun kejiwaan (psikiatris).[2]
Erik Erikson menyatakan bahwa manusia lanjut usia (manula) berada pada tahapan terakhir dari tahapan siklus. Menurut Ericson lanjut usia digambarkan sebagai konflik antara integritas (yaitu rasa puas) yang tercermin selama hidup yang tidak berarti.
Lanjut  usia sebenarnya merupakan masa dimana seseorang merasakan kepuasan dari hasil yang diperolehnya, dan menikmati hidup bersama anak dan cucu, merasa bahagia karena telah memberi sesuatu bagi generasi berikutnya. Bagi para lanjut usia hendaknya mampu mengatasi cidera “narcissism”(kecintaan pada diri sendiri), terlebih-lebih manakala mereka kehilangan dukungan atau perhatian dari orang-orang disekitarnya. Apabila pada manula tidak mampu memelihara dan mempertahankan harga dirinya maka akan timbul rasa tegang, cemas, takut, kecewa, sedih, marah, putus asa dan sebagainya.
Terjadi konflik pada manula yaitu dengan pelepasan kedudukan dan otoritasnya, serta penilaian terhadap kemampuan, keberhasilan, kepuasan yang diperoleh sebelumnya.Hal ini berlaku bagi laki-laki dan perempuan. 

B.    Perkembangan Agama Pada Usia Lanjut
Proses perkembangan manusia setelah dilahirkan secara fisiologis semakin lama menjadi lebih tua. Dengan bertambahnya usia, maka jaringan-jaringan dan sel-sel menjadi tua, sebagian regenerasi dan sebagian yang lain akan mati. Usia lanjut ini biasanya dimulai pada usia 65 tahun. Pada usia lanjut ini biasanya akan menghadapi berbagai persoalan.
Persoalan awal dapat digambarkan sebagai berikut:
Pada usia lanjut terjadi penurunan kemampuan fisik à aktivitas menurun à sering mengalami gangguan kesehatan à mereka cenderung kehilangan semangat.[3]
Kehidupan keagamaan pada usia lanjut menurut hasil penelitian psikologi agama ternyata meningkat. Dari sebuah penelitian dengan sample 1.200 orang berusia antara 60-100 tahun menunjukkan bahwa ada kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan yang semakin meningkat.  Sementara pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat baru muncul sampai 100% setelah usia 90 tahun.
Ada beberapa pandangan yang menyatakan hal-hal yang menentukan sikap keagamaan pada manusia di usia lanjut, diantaranya sebagai berikut:
1.      Seringkali kecenderungan meningkatnya kegairahan dalam bidang keagamaan ini dihubungkan dengan penurunan kegairahan seksual. Menurut pendapat ini manusia usia lanjut mengalami frustasi dalam bidang seksual sejalan dengan penurunan kemampuan fisik. Frustasi semacam ini dinilai sebagai satu-satunya factor yang membentuk sikap keagamaan. Pendapat ini disanggah oleh Thouless, yang beranggapan bahwa pendapat tersebut terlalu dilebih-lebihkan
2.      Menurut William James, usia keagamaan yang luar biasa tampaknya justru terdapat pada usia lanjut, ketika gejolak kehidupan seksual sudah berakhir. Pendapat tersebut diatas sejalan dengan realitas yang ada dalam kehidupan manusia usia lanjut yang semakin tekun beribadah. Mereka sudah mulai mempersiapkan diri untuk bekal hidup di akhirat kelak.
3.      Dalam penelitian lain menyatakan bahwa yang menentukan sikap keagamaan di usia lanjut diantaranya adalah depersonalisasi. Penelitian ini diantaranya dilakukan oleh M. Argyle dan Elle A. Cohen.[4]

C.  Ciri-ciri Keagamaan Pada Usia Lanjut
Secara garis besar ciri-ciri keberagamaan diusia lanjut adalah:
1.      Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan.
2.      Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan.
3.      Mulai muncul pengakuan terhadap realistis tentang kehidupan akhirat secara lebih sungguh-sungguh.
4.      Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antar sesama manusia, serta sifat-sifat luhur.
5.      Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan pertambahan usia lanjutnya.
6.      Perasaan takut kepada kematian ini berdampak pada peningkatan pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan abadi (akhirat).[5]

D.  Kematangan Beragama Pada Usia Lanjut
Kematangan atau kedewasaan seseorang dalam beragama biasanya ditunjukakan dengan kesadaran dan keyakinan yang teguh karena menganggap benar akan beragama yang dianutnya dan ia memerlukan agama dalam hidupnya.[6]
Seseorang yang matang dalam beragama bukan hanya memegang teguh paham keagamaan yang dianutnya dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dengan penuh tanggung jawab, melainkan kadang-kadang dibarengi dengan pengetahuan keagamaan yang cukup mendalam. Jika kematangan beragama telah ada pada diri seseorang, segala perbuatan dan tingkah laku keagamaannya senantiasa dipertimbangkan betul-betul dan dibina atas rasa tanggung jawab,bukan atas dasar peniruan dan sekedar ikut-ikutan saja.
Dalam rangka menuju kematangan beragama terdapat beberapa hambatan. Karena tingkat kematangan beragama juga merupakan suatu perkembangan individu, hal itu memerlukan waktu, sebab perkembangan kepada kematangan beragam tidak terjadi secara tiba-tiba. Pada dasarnya terdapat dua faktor yang menyebabkan adanya hambatan:[7]
1.      Faktor diri sendiri
Faktor dari dalam diri sendiri terbagi menjadi dua: kapasitas diri dan pengalaman. Kapasitas ini merupakan ilmiah (rasio) dalam menerima ajaran-ajaran itu terlihat perbedaannya antara seseorang yang berkemampuan dan kurang berkemampuan. Bagi mereka yang mampu menerima dengan rasionya, akan menghayati dan kemudian mengamalkan ajaran-ajaran agama tersebut dengan baik, penuh keyakinan dan argumentative, walaupun apa yang harus dilakukan itu berbeda dengan tradisi yang ada dalam kehidupan masyarakat mereka.
Sedangkan faktor pengalaman, semakin luas pengalaman seseorang dalam bidang keagamaan, maka akan semakin mantap dan stabil dalam mengerjakan aktivitas keaagamaan. Namun, bagi mereka yang mempunyai pengalamanan sedikit dan sempit, ia akan mengalami berbagai macam kesulitan dan akan selalu dihadapkan pada hambatan-hambatan untuk dapat mengerjakan ajaran agama secara mantap dan stabil.
2.      Faktor luar
Yang dimaksud dengan faktor luar, yaitu beberapa kondisi dan situasi lingkungan yang tidak banyak memberikan kesempatan untuk berkembang, malah justru menganggap tidak perlu adanya perkembangan dari apa yang telah ada. Faktor-faktor tersebut antara lain tradisi agama atau pendidikan yang diterima. Kultur masyarakat yang dikuasai tradisi tertentu dan berjalan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, kadang-kadang terasa oleh sebagian orang sebagai suatu belenggu yang tidak pernah selesai. Seringkali tradisi tersebut tidak diketahui dari mana asal-usul dan sebab musababnya, mulai kapan ada dan bagaimana ceritanya.
Memang untuk tradisi-tradisi tertentu mungkin perlu dikembangkan dan dilestarikan. Namun pada bagian lain, terdapat tradisi-tradisi tertentu yang perlu  penjelasan, sehingga tidak menimbulkan anggapan kontradiktif pada sementara orang, antara ajaran agama di satu pihak dengan kenyataan yang berlainan di pihak lain. Seseorang yang semenjak kecil  telah dicekam oleh tradisi yang kurang dimengerti oleh orang itu sendiri, maka hal itu akan mempengaruhi terhadap perkembangan rasa keagamaannya pada masa yang akan datang. Oleh sebab itu, pendidikan yang diterima seseorang dari keluarga yang menghasilkan kebiasaan-kebiasaan tertentu  dalam kehidupan beragama seseorang, biasanya akan sulit sekali untuk diadakan perubahan ke arah yang lebih sempurna. Namun, jika pendidikan yang diterima seseorang dari jenjang lembaga berikutnya tidak terlalu banyak mengarahkan kearah yang lebih baik dan sempurna, hal itu akan menjadi hambatan pada masa berikutnya.
Berkaitan dengan sikap keberagamaan, William Starbuck, sebagaimana dipaparkan kembali oleh William james, mengemukakan dua buah faktor yang mempengaruhi sikap keagamaan seseorang, yaitu :
1.      Faktor intern, terdiri dari :
a.       Temperamen
Tingkah laku yang didasarkan pada temperamen tertentu memegang peranan penting dalam sikap beragama seseorang. Seseorang yang melankolis, misalnya, akan berbeda dengan orang yang berkepribadian dysplastis dalam sikap dan pandangannya terhadap agama. Hal demikian juga akan mempengaruhi seseorang dalam kematangan beragama.
b.      Gangguan Jiwa
Orang yang menderita gangguan jiwa menunjukkan kelainan dalam sikap dan tingkah lakunya.Tindak-tanduk keagamaan dan pengalaman keagamaan seseorang yang ditampilkan tergantung pada gangguan jiwa yang mereka rasakan.
c.       Konflik dan Keraguan
Konflik dan keraguan ini dapat mempengaruhi sikap seseoarng terhadap agama, seperti taat, fanatic, agnotis, maupun ateis.
d.      Jauh dari Tuhan
Orang yang hidupnya jauh dari Tuhan akan merasa dirinya lemah dan kehilangan pegangan hidup, terutama saat menghadapi musibah.

Adapun ciri-ciri orang yang mengalami kelainan kejiwaan dalam beragama sebagai berikut:
a. Pesimis
b. Introvert
c. Menyenangi paham yang ortodoks
d. Mengalami proses keagamaan secara graduasi
2.  Faktor Ekstern yang mempengaruhi sikap keagamaan secara mendadak adalah:
a. Musibah
Seringkali musibah yang sangat serius dapat mengguncangkan seseorang,dan kegoncangan tersebut seringkali memunculkan kesadaran, khususnya kesadaran keberagamaannya. Mereka merasa mendapatkan peringatan dari Tuhan.
b. Kejahatan
Orang yang hidup dalam kejahatan pada umumnya mengalami guncangan batin dan rasa berdosa.Perasaan tersebut mereka tutupi dengan perbuatan kompensif, seperti meluapakan dengan berfoya-foya dan sebagainya.Dapat pula orang tersebut melampiaskannya dengan tindakan brutal.pemarah dan sebagainya. Sering pula perasaan yang fitri menghantui dirinya,yang kemudian membuka kesadarannya untuk bertobat, yang pada akhirnya akan menjadi penganut agama yang taat dan fanatik.
Adapun ciri-ciri orang yang sehat jiwanya dalam menjalankan agama antara lain:
1.      Optimisme dan gembira
2.      Ekstrovert dan tidak mendalam
3.      Menyenangi ajaran ketauhidan yang liberal
Pengaruh kepribadian yang ekstrovert, maka mereka cenderung:
a. Menyenangi teologi yang luwes dan tidak kaku.
b. Menunjukkan tingkah laku keagamaan yang lebih bebas.
c. Menekankan ajaran cinta kasih daripada kemurkaan dan dosa.
d. Mempelopori pembelaan terhadap kepentingan agama secara sosial.
e. Tidak menyenangi implikasi penebusan dosa dan kehidupan kebiaraan.
f.  Bersifat liberal dalammenafsirkan pengertian ajaran agama.
g. Selalu berpandangan positif.
h. Berkembang secara graduasi.

E.   Perlakuan terhadap Usia Lanjut Menurut Islam
Menurut Lita L Atkison, sebagian besar orang-orang yang berusia lanjut (usia 70-79th) menyatakan tidak merasa dalam keterasingan dan masih menunjukkan aktifitas yang positif. Tetapi perasaan itu muncul setelah mereka memperoleh bimbingan semacam terapi psikologi.
Kajian psikologi berhasil mengungkapkan bahwa di usia melewati setengah baya, arah perhatian mereka mengalami perubahan yang mendasar. Bila sebelumnya perhatian diarahkan pada kenikmatan materi dan duniawi, maka pada peralihan ke usia ini, perhatian mereka tertuju kepada upaya menemukan ketenangan bathin. Sejalan dengan perubahan itu maka masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan akhirat mulai menarik perhatian mereka.
Perubahan orientasi ini diantaranya disebabakan oleh psikologis. Disatu pihak kemampuan fisik pada usia lanjut sedang mengalami penurunan. Sebaliknya dipiahak lain memiliki khasanah pengalaman yang kaya. Kejayaan mereka dimasa lalu yang pernah diperoleh sedang tidak lagi memperoleh perhatian karena secara fisik mereka dinilai sudah lemah. Kesenjangan ini menimbulkan gejolak dan kegelisahan-kegelisahan bathin.
Apabila gejolak-gejolak tidak dapat dibendung lagi maka muncul gangguan kejiwaan, seperti stress, putus asa, ataupun pengasingan diri dari pergaulan sebagai wujud rasa rendah diri. Dalam kasus-kasus seperti ini umumnya dapat difungsikan dan diperankan sebagai penyelamat. Sebab melalui ajaran pengalaman agama, manusia usia lanjut merasa memperoleh tempat bergantung. Fenomena adanya para pejabat pensiunan seperti ini sudah jamak terlihat diakhir-akhir ini. Sebagai dalam memberi perlakuan yang baik pada kedua orang tua Allah menyatakan dalam surat (QS 17-23) yang artinya: jika seorang diantara keduanya atau keduanya sampai berumur lanjut dalam pemiliharaanmu, maka jangan sekali-sekali kamu mengatakan pada keduanya perkataan ah dan jangan kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.

F.   Cara Bersikap Pada Manusia Usia Lanjut
Dalam lingkungan peradaban Barat, upaya untuk memberi perlakuan manusiawi kepada para manusia usia lanjut dilakukan dengan menempatkan mereka dipanti jompo. Di panti ini para manusia usia lanjut itu mendapat perawatan yang intensif. Sebaliknya, di lingkungan keluarga, umumnya karena kesibukan, tak jarang anak-anak serta sanak keluarga tak berkesempatan untuk memberikan perawatan yang sesuai dengan kebutuhan para manusia usia lanjut tersebut.
Tradisi keluarga Barat umumnya menilai penempatan  orang tua mereka ke panti jompo merupakan cerminan dari kasih saying anak kepada orang tua. Sebaliknya, membiarkan orang tua yang berusia lanjut tetap berada di lingkungan keluarga cenderung dianggap sebagai menelantarkannya.
Lain halnya dengan konsep  yang dianjurkan oleh islam. Perlakuan terhadap manusia usia lanjut dianjurkan  seteliti dan seteladan mungkin. Perlakuan terhadap orang tua yang berusia lanjut, dibebankan pada keluarga mereka, bukan kepada badan atau panti asuhan, termasuk panti jompo. Perlakuan terhadap orang tua menurut tuntunan islam berawal dari rumah tangga. Allah menyebutkan  pemeliharaan secara  khusus orang tua yang sudah lanjut usia dengan memerintahkan kepada anak-anak mereka dengan kasih sayang.
Adapun dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadits berkenaan dengan perlakuan kepada orang tua diantaranya sebagai berikut:
1. Sebagai pedoman dalam memberi perlakuan yang baik kepada orang tua, Allah menyatakan:
“Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu megatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan jangan kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
2. Selanjutnya Al-Qur’an melukiskan perlakuan terhadap kedua orang tua:
Dan rendahkan dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah mengasihi dan mendidikku waktu kecil” (QS. 17:24).
3. Selain itu, kita juga dapat melihat bagaimana seharusnya perilaku anak kepada orang tua, dalam pernyataan Aisyah r.a. yakni dalam dialog rasulullah Saw. Kepada seorang laki-laki. Rasul bertanya: “Siapakah yang bersamamu? Orang itu menjawab: “ayahku”. Beliau berkata: “jangan berjalan di depannya dan jangan duduk sebelum dia, jangan memanggilnya dengan namanya dan jangan berbuat sesuatu yang menyebabkan orang lain memakinya”. (Thoha Abdullah Al-Afifi: 1987:51)
4. Perlakuan kepada kedua orang tua dengan baik dikaitkan sebagai kewajiban agama. Menurut Ibnu Abbas, Rasulullah pernah mengatakan:
Barang siapa membuat ridha kedua orang tuanya di waktu pagi dan sore, maka ia pun mendapat dua pintu syurga yang terbuka, dan jika membuat ridha salah-satu diantaranya maka akan terbuka satu pintu syurga. Barangsiapa di waktu sore dan pagi membuat marah kedua orang tuanya, maka ia mendapat dua pintu neraka yang terbuka. Jika membuat marah salah-satu diantaranya, maka terbuka untuknya satu pintu neraka”. (Thoha Abdullah Al-Afifi, 1987:53).[8]
Bahkan ketika mendengar seorang tua mengadukan kekikiran anaknya hingga sampai hati mengadukan bahwa ayahnya mengambil harta miliknya, maka rasul pun bersabda: “engkau dan hartamu adalah milik ayahmu”. (Thoha Abdullah Al-Afifi, 1987, 54-55).
Dari penjelasan di atas tergambar bagaimana perlakuan terhadap manusia usia lanjut menurut Islam. Manusia usia lanjut dipandang tak ubahnya seorang bayi yang memerlukan pemeliharaan dan perawatan serta perhatian khusus dengan penuh kasih sayang. Perlakuan yang demikian itu tidak dapat diwakilkan kepada siapa pun, melainkan menjadi tanggung jawab anak-anak mereka. Perlakuan yang baik dan penuh kesabaran   serta kasih sayang dinilai sebagai kebaktian. Sebaliknya, perlakuan yang tercela dinilai sebagai kedurhakaan.
Penjelasan ini menunjukkan bahwa perlakuan terhadap manusia usia lanjut menurut islam merupakan kewajiban agama, maka perbuatan menempatkan orang tua dipanti jompo merupakan tindakan tercela yang dilakukan oleh seorang anak.











BAB III
PENUTUP

A. SIMPULAN

secara umum mengatakan bahwa usia lanjut ini dimulai pada usia 65 tahun. Dalam perkembangan usia lanjut ini akan  terjadi penurunan kemampuan fisik yang menyebabkan aktivitas menurun. Adapun ciri-ciri keagamaan pada usia lanjut diantaranya, Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan, Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan, Mulai muncul pengakuan terhadap realistis tentang kehidupan akhirat secara lebih sungguh-sungguh, Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antar sesama manusia, serta sifat-sifat luhur, Timbul rasa takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan pertambahan usia lanjutnya, Perasaan takut kepada kematian ini berdampak pada peningkatan pembentukan sikap keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan abadi (akhirat).
Kematangan atau kedewasaan seseorang dalam beragama biasanya ditunjukakan dengan kesadaran dan keyakinan yang teguh karena menganggap benar akan beragama yang dianutnya dan ia memerlukan agama dalam hidupnya. Pada dasarnya terdapat dua faktor yang menyebabkan adanya hambatan dalam menuju rasa keagamaan usia lanjut yakni factor intern (dalam diri), dan ekstern (dari lingkungan).
Di dalam Islam Perlakuan terhadap manusia usia lanjut dianjurkan  seteliti dan seteladan mungkin. Perlakuan terhadap orang tua yang berusia lanjut, dibebankan pada keluarga mereka, bukan kepada badan atau panti asuhan, termasuk panti jompo. Sehingga merawat orang tua  dalam usia lanjut merupakan kewajiban bagi anak-anak maupun sanak keluarganya, yakni dengan cara-cara yang diajarkan di dalam alQur’an dan Sunnah Rasul.

DAFTAR PUSTAKA

Heni, Narendrany Hidayati. 2007. Psikologi Agama. Jakarta: UIN Jakarta Press

Sururin. 2004. Ilmu Jiwa Agama.  Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

Anshari, Hafi. 1991. Dasar-dasar Ilmu Jiwa Agama, Usaha Nasional, Surabaya,

Jalaluddin. 2010. PsikologI Agama. Jakarta: Rajawali Pers.


[1] Heni, Narendrany Hidayati, Psikologi Agama, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), hlm. 133
[2] Ibid, hlm 134.
[3] Sururin, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004) hlm. 88
[4] Sururin, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004)  hlm 89-90
[5] Ibid, hlm. 90
[6] Hafi Anshari, Dasar-dasar Ilmu Jiwa Agama, Usaha Nasional, Surabaya, 1991, hlm 94.
[7] Sururin, Op.Cit. hlm. 92-97
[8] Jalaluddin,  PsikologI Agama, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2010)hlm. 117-121

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tutorial Lengkap Agar disetujui Daftar Google Adsense

Sejak membuat BLOGOOBLOK, ratusan sudah postingan yang saya buat. Tidak sedikit diantaranya membahas  Google Adsense . Ini menandakan...