BAB I
PENDAHULUAN
Manusia
adalah makhluk yang eksploratif dan potensial. manusia juga
disebut makhluk yang memiliki prinsip tanpa daya, karena untuk tumbuh dan
berkembang secara normal manusia memerlukan bantuan dari luar dirinya. Bantuan
dimaksud antara lain dalam bentuk bimbingan dan pengarahan dari lingkungannya. Pengarahan yang tidak
searah dengan potensi yang dimiliki akan berdampak negative bagi perkembangan
manusia.
Perkembangan
yang negative tersebut akan terlihat dalam berbagai sikap dan tingkah laku yang
menyimpang. Bentuk dan tingkah laku menyimpang ini terihat dalam kaitannya
dengan kegagalannya manusia untuk memenuhi kebutuhan, baik bersifat fisik
maupun psikis. Sehubungan dengan hal itu, maka dalam mempelajari perkembangan
jiwa keagamaan perlu dilihat terlebih dahulu kebutuhan-kebutuhan manusia
secara menyeluruh. Sebab pemenuhan kebutuhan yang kurang seimbang antara
kebutuhan jasmani dan rohani akan menyebabkan timbulnya ketimpangan dalam
perkembangan.
Para ahli
psikologi perkembangan membagi-bagi perkembangan manusia berdasarkan usia
menjadi beberapa tahapan atau periode perkembangan. Secara garis besarnya
periode perkembangan itu dibagi menjadi: 1) masa prenatal; 2) masa bayi; 3)
masa kanak-kanak; 4) masa pra pubertas; 5) masa pubertas; 6) masa dewasa; 7)
masa usia lanjut, yang pada setiap tahap perkembangannya memiliki ciri-ciri
tersendiri termasuk perkembangan jiwa keagamaan.
Sehubungan
dengan kebutuhan manusia dari periode perkembangan tersebut, maka dalam
kaitanna dengan perkembangan jiwa keagamaan akan dilihat bagaimana pengaruh
timbal balik antara keduanya. Dengan demikian, perkembangan jiwa keagamaan akan
dilihat dari tingkat usia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Usia Lanjut
Periode
selama usia lanjut, ketika kemunduran fisik dan mental terjadi secara perlahan
dan bertahap dan dikenal sebagai “senescence” yaitu masa proses menjadi tua.
Usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu
periode dimana seseorang telah beranjak jauh dari pada periode terdahulu.[1]
Didalam
“gerontology” (ilmu yang mempelajari lanjut usia) lanjut usia dibagi menjadi
dua golongan, yaitu “young old”(65-74) dan “old-old” (diatas 75 tahun). Dari
kesehatan mereka dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok “well old” (mereka
yang sehat dan tidak sakit apa-apa) dan “sick old” (mereka yang menderita
penyakit dan memerlukan pertolongan medis dan psikiatris). Kebutuhan akan
kesehatan bagi kelompok “sick old” ini semakin besar, sehingga didunia
kedokteran berkembang spesialisasi yang dinamakan “geriatry” baik dari aspek
medis (fisik) maupun kejiwaan (psikiatris).[2]
Erik Erikson
menyatakan bahwa manusia lanjut usia (manula) berada pada tahapan terakhir dari
tahapan siklus. Menurut Ericson lanjut usia digambarkan sebagai konflik antara
integritas (yaitu rasa puas) yang tercermin selama hidup yang tidak berarti.
Lanjut
usia sebenarnya merupakan masa dimana seseorang merasakan kepuasan dari
hasil yang diperolehnya, dan menikmati hidup bersama anak dan cucu, merasa
bahagia karena telah memberi sesuatu bagi generasi berikutnya. Bagi para lanjut
usia hendaknya mampu mengatasi cidera “narcissism”(kecintaan pada diri
sendiri), terlebih-lebih manakala mereka kehilangan dukungan atau perhatian
dari orang-orang disekitarnya. Apabila pada manula tidak mampu memelihara dan
mempertahankan harga dirinya maka akan timbul rasa tegang, cemas, takut,
kecewa, sedih, marah, putus asa dan sebagainya.
Terjadi
konflik pada manula yaitu dengan pelepasan kedudukan dan otoritasnya, serta
penilaian terhadap kemampuan, keberhasilan, kepuasan yang diperoleh
sebelumnya.Hal ini berlaku bagi laki-laki dan perempuan.
B. Perkembangan
Agama Pada Usia Lanjut
Proses
perkembangan manusia setelah dilahirkan secara fisiologis semakin lama menjadi
lebih tua. Dengan bertambahnya usia, maka jaringan-jaringan dan sel-sel menjadi
tua, sebagian regenerasi dan sebagian yang lain akan mati. Usia lanjut ini
biasanya dimulai pada usia 65 tahun. Pada usia lanjut ini biasanya akan
menghadapi berbagai persoalan.
Persoalan
awal dapat digambarkan sebagai berikut:
Pada usia
lanjut terjadi penurunan kemampuan fisik à aktivitas
menurun à sering
mengalami gangguan kesehatan à mereka
cenderung kehilangan semangat.[3]
Kehidupan
keagamaan pada usia lanjut menurut hasil penelitian psikologi agama ternyata
meningkat. Dari sebuah penelitian dengan sample 1.200 orang berusia antara
60-100 tahun menunjukkan bahwa ada kecenderungan untuk menerima pendapat
keagamaan yang semakin meningkat. Sementara pengakuan terhadap realitas
tentang kehidupan akhirat baru muncul sampai 100% setelah usia 90 tahun.
Ada beberapa pandangan yang menyatakan hal-hal yang
menentukan sikap keagamaan pada manusia di usia lanjut, diantaranya sebagai
berikut:
1. Seringkali
kecenderungan meningkatnya kegairahan dalam bidang keagamaan ini dihubungkan
dengan penurunan kegairahan seksual. Menurut pendapat ini manusia usia lanjut
mengalami frustasi dalam bidang seksual sejalan dengan penurunan kemampuan
fisik. Frustasi semacam ini dinilai sebagai satu-satunya factor yang membentuk
sikap keagamaan. Pendapat ini disanggah oleh Thouless, yang beranggapan bahwa
pendapat tersebut terlalu dilebih-lebihkan
2. Menurut
William James, usia keagamaan yang luar biasa tampaknya justru terdapat pada
usia lanjut, ketika gejolak kehidupan seksual sudah berakhir. Pendapat tersebut
diatas sejalan dengan realitas yang ada dalam kehidupan manusia usia lanjut
yang semakin tekun beribadah. Mereka sudah mulai mempersiapkan diri untuk bekal
hidup di akhirat kelak.
3. Dalam
penelitian lain menyatakan bahwa yang menentukan sikap keagamaan di usia lanjut
diantaranya adalah depersonalisasi. Penelitian ini diantaranya dilakukan oleh
M. Argyle dan Elle A. Cohen.[4]
C. Ciri-ciri
Keagamaan Pada Usia Lanjut
Secara garis besar ciri-ciri
keberagamaan diusia lanjut adalah:
1. Kehidupan
keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan.
2. Meningkatnya
kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan.
3. Mulai muncul
pengakuan terhadap realistis tentang kehidupan akhirat secara lebih
sungguh-sungguh.
4. Sikap
keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antar sesama
manusia, serta sifat-sifat luhur.
5. Timbul rasa
takut kepada kematian yang meningkat sejalan dengan pertambahan usia lanjutnya.
6. Perasaan
takut kepada kematian ini berdampak pada peningkatan pembentukan sikap
keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan abadi (akhirat).[5]
D. Kematangan
Beragama Pada Usia Lanjut
Kematangan atau kedewasaan seseorang
dalam beragama biasanya ditunjukakan dengan kesadaran dan keyakinan yang teguh
karena menganggap benar akan beragama yang dianutnya dan ia memerlukan agama
dalam hidupnya.[6]
Seseorang yang matang dalam beragama
bukan hanya memegang teguh paham keagamaan yang dianutnya dan diwujudkan dalam kehidupan
sehari-hari dengan penuh tanggung jawab, melainkan kadang-kadang dibarengi
dengan pengetahuan keagamaan yang cukup mendalam. Jika kematangan beragama
telah ada pada diri seseorang, segala perbuatan dan tingkah laku keagamaannya
senantiasa dipertimbangkan betul-betul dan dibina atas rasa tanggung
jawab,bukan atas dasar peniruan dan sekedar ikut-ikutan saja.
Dalam rangka menuju kematangan
beragama terdapat beberapa hambatan. Karena tingkat kematangan beragama juga
merupakan suatu perkembangan individu, hal itu memerlukan waktu, sebab
perkembangan kepada kematangan beragam tidak terjadi secara tiba-tiba. Pada
dasarnya terdapat dua faktor yang menyebabkan adanya hambatan:[7]
1. Faktor diri
sendiri
Faktor dari dalam diri sendiri terbagi menjadi dua:
kapasitas diri dan pengalaman. Kapasitas ini merupakan ilmiah (rasio) dalam
menerima ajaran-ajaran itu terlihat perbedaannya antara seseorang yang
berkemampuan dan kurang berkemampuan. Bagi mereka yang mampu menerima dengan
rasionya, akan menghayati dan kemudian mengamalkan ajaran-ajaran agama tersebut
dengan baik, penuh keyakinan dan argumentative, walaupun apa yang harus
dilakukan itu berbeda dengan tradisi yang ada dalam kehidupan masyarakat
mereka.
Sedangkan faktor pengalaman, semakin luas pengalaman
seseorang dalam bidang keagamaan, maka akan semakin mantap dan stabil dalam
mengerjakan aktivitas keaagamaan. Namun, bagi mereka yang mempunyai
pengalamanan sedikit dan sempit, ia akan mengalami berbagai macam kesulitan dan
akan selalu dihadapkan pada hambatan-hambatan untuk dapat mengerjakan ajaran
agama secara mantap dan stabil.
2. Faktor luar
Yang dimaksud dengan faktor luar, yaitu beberapa
kondisi dan situasi lingkungan yang tidak banyak memberikan kesempatan untuk
berkembang, malah justru menganggap tidak perlu adanya perkembangan dari apa
yang telah ada. Faktor-faktor tersebut antara lain tradisi agama atau
pendidikan yang diterima. Kultur masyarakat yang dikuasai tradisi tertentu dan
berjalan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, kadang-kadang
terasa oleh sebagian orang sebagai suatu belenggu yang tidak pernah selesai.
Seringkali tradisi tersebut tidak diketahui dari mana asal-usul dan sebab
musababnya, mulai kapan ada dan bagaimana ceritanya.
Memang untuk tradisi-tradisi tertentu mungkin perlu
dikembangkan dan dilestarikan. Namun pada bagian lain, terdapat tradisi-tradisi
tertentu yang perlu penjelasan, sehingga tidak menimbulkan anggapan
kontradiktif pada sementara orang, antara ajaran agama di satu pihak dengan
kenyataan yang berlainan di pihak lain. Seseorang yang semenjak kecil
telah dicekam oleh tradisi yang kurang dimengerti oleh orang itu sendiri, maka
hal itu akan mempengaruhi terhadap perkembangan rasa keagamaannya pada masa
yang akan datang. Oleh sebab itu, pendidikan yang diterima seseorang dari
keluarga yang menghasilkan kebiasaan-kebiasaan tertentu dalam kehidupan
beragama seseorang, biasanya akan sulit sekali untuk diadakan perubahan ke arah
yang lebih sempurna. Namun, jika pendidikan yang diterima seseorang dari jenjang
lembaga berikutnya tidak terlalu banyak mengarahkan kearah yang lebih baik dan
sempurna, hal itu akan menjadi hambatan pada masa berikutnya.
Berkaitan dengan sikap keberagamaan, William Starbuck,
sebagaimana dipaparkan kembali oleh William james, mengemukakan dua buah faktor
yang mempengaruhi sikap keagamaan seseorang, yaitu :
1. Faktor
intern, terdiri dari :
a. Temperamen
Tingkah laku yang didasarkan pada temperamen tertentu
memegang peranan penting dalam sikap beragama seseorang. Seseorang yang
melankolis, misalnya, akan berbeda dengan orang yang berkepribadian dysplastis
dalam sikap dan pandangannya terhadap agama. Hal demikian juga akan
mempengaruhi seseorang dalam kematangan beragama.
b. Gangguan
Jiwa
Orang yang menderita gangguan jiwa
menunjukkan kelainan dalam sikap dan tingkah lakunya.Tindak-tanduk keagamaan
dan pengalaman keagamaan seseorang yang ditampilkan tergantung pada gangguan
jiwa yang mereka rasakan.
c. Konflik dan
Keraguan
Konflik dan keraguan ini dapat
mempengaruhi sikap seseoarng terhadap agama, seperti taat, fanatic, agnotis,
maupun ateis.
d. Jauh dari
Tuhan
Orang yang hidupnya jauh dari Tuhan
akan merasa dirinya lemah dan kehilangan pegangan hidup, terutama saat
menghadapi musibah.
Adapun ciri-ciri orang yang mengalami kelainan
kejiwaan dalam beragama sebagai berikut:
a. Pesimis
b. Introvert
c. Menyenangi paham yang ortodoks
d. Mengalami proses keagamaan secara graduasi
2. Faktor Ekstern yang mempengaruhi sikap
keagamaan secara mendadak adalah:
a. Musibah
Seringkali musibah yang sangat
serius dapat mengguncangkan seseorang,dan kegoncangan tersebut seringkali
memunculkan kesadaran, khususnya kesadaran keberagamaannya. Mereka merasa
mendapatkan peringatan dari Tuhan.
b. Kejahatan
Orang yang hidup dalam kejahatan
pada umumnya mengalami guncangan batin dan rasa berdosa.Perasaan tersebut
mereka tutupi dengan perbuatan kompensif, seperti meluapakan dengan
berfoya-foya dan sebagainya.Dapat pula orang tersebut melampiaskannya dengan
tindakan brutal.pemarah dan sebagainya. Sering pula perasaan yang fitri
menghantui dirinya,yang kemudian membuka kesadarannya untuk bertobat, yang pada
akhirnya akan menjadi penganut agama yang taat dan fanatik.
Adapun
ciri-ciri orang yang sehat jiwanya dalam menjalankan agama antara lain:
1. Optimisme dan gembira
2. Ekstrovert dan tidak
mendalam
3. Menyenangi ajaran
ketauhidan yang liberal
Pengaruh
kepribadian yang ekstrovert, maka mereka cenderung:
a. Menyenangi teologi yang luwes dan tidak kaku.
b. Menunjukkan tingkah laku keagamaan yang lebih
bebas.
c. Menekankan ajaran cinta kasih daripada kemurkaan
dan dosa.
d. Mempelopori
pembelaan terhadap kepentingan agama secara sosial.
e. Tidak
menyenangi implikasi penebusan dosa dan kehidupan kebiaraan.
f. Bersifat liberal dalammenafsirkan
pengertian ajaran agama.
g. Selalu
berpandangan positif.
h. Berkembang secara graduasi.
E. Perlakuan
terhadap Usia Lanjut Menurut Islam
Menurut Lita
L Atkison, sebagian besar orang-orang yang berusia lanjut (usia 70-79th)
menyatakan tidak merasa dalam keterasingan dan masih menunjukkan aktifitas yang
positif. Tetapi perasaan itu muncul setelah mereka memperoleh bimbingan semacam
terapi psikologi.
Kajian
psikologi berhasil mengungkapkan bahwa di usia melewati setengah baya, arah
perhatian mereka mengalami perubahan yang mendasar. Bila sebelumnya perhatian
diarahkan pada kenikmatan materi dan duniawi, maka pada peralihan ke usia ini,
perhatian mereka tertuju kepada upaya menemukan ketenangan bathin. Sejalan
dengan perubahan itu maka masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan
akhirat mulai menarik perhatian mereka.
Perubahan orientasi ini diantaranya
disebabakan oleh psikologis. Disatu pihak kemampuan fisik pada usia lanjut
sedang mengalami penurunan. Sebaliknya dipiahak lain memiliki khasanah
pengalaman yang kaya. Kejayaan mereka dimasa lalu yang pernah diperoleh sedang
tidak lagi memperoleh perhatian karena secara fisik mereka dinilai sudah lemah.
Kesenjangan ini menimbulkan gejolak dan kegelisahan-kegelisahan bathin.
Apabila gejolak-gejolak tidak dapat
dibendung lagi maka muncul gangguan kejiwaan, seperti stress, putus asa,
ataupun pengasingan diri dari pergaulan sebagai wujud rasa rendah diri. Dalam
kasus-kasus seperti ini umumnya dapat difungsikan dan diperankan sebagai
penyelamat. Sebab melalui ajaran pengalaman agama, manusia usia lanjut merasa
memperoleh tempat bergantung. Fenomena adanya para pejabat pensiunan seperti
ini sudah jamak terlihat diakhir-akhir ini. Sebagai dalam memberi perlakuan
yang baik pada kedua orang tua Allah menyatakan dalam surat (QS 17-23) yang artinya:
jika seorang diantara keduanya atau keduanya sampai berumur lanjut dalam
pemiliharaanmu, maka jangan sekali-sekali kamu mengatakan pada keduanya
perkataan ah dan jangan kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia.
F. Cara
Bersikap Pada Manusia Usia Lanjut
Dalam
lingkungan peradaban Barat, upaya untuk memberi perlakuan manusiawi kepada para
manusia usia lanjut dilakukan dengan menempatkan mereka dipanti jompo. Di panti
ini para manusia usia lanjut itu mendapat perawatan yang intensif. Sebaliknya,
di lingkungan keluarga, umumnya karena kesibukan, tak jarang anak-anak serta
sanak keluarga tak berkesempatan untuk memberikan perawatan yang sesuai dengan
kebutuhan para manusia usia lanjut tersebut.
Tradisi
keluarga Barat umumnya menilai penempatan orang tua mereka ke panti jompo
merupakan cerminan dari kasih saying anak kepada orang tua. Sebaliknya,
membiarkan orang tua yang berusia lanjut tetap berada di lingkungan keluarga
cenderung dianggap sebagai menelantarkannya.
Lain halnya
dengan konsep yang dianjurkan oleh islam. Perlakuan terhadap manusia usia
lanjut dianjurkan seteliti dan seteladan mungkin. Perlakuan terhadap
orang tua yang berusia lanjut, dibebankan pada keluarga mereka, bukan kepada
badan atau panti asuhan, termasuk panti jompo. Perlakuan terhadap orang tua
menurut tuntunan islam berawal dari rumah tangga. Allah menyebutkan
pemeliharaan secara khusus orang tua yang sudah lanjut usia dengan
memerintahkan kepada anak-anak mereka dengan kasih sayang.
Adapun dalil-dalil
Al-Qur’an dan Hadits berkenaan dengan perlakuan kepada orang tua diantaranya
sebagai berikut:
1. Sebagai
pedoman dalam memberi perlakuan yang baik kepada orang tua, Allah menyatakan:
“Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu megatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan jangan kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
“Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu megatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan jangan kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
2. Selanjutnya Al-Qur’an melukiskan
perlakuan terhadap kedua orang tua:
Dan rendahkan dirimu terhadap mereka berdua dengan
penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka berdua,
sebagaimana mereka berdua telah mengasihi dan mendidikku waktu kecil” (QS. 17:24).
3. Selain itu, kita juga dapat melihat bagaimana
seharusnya perilaku anak kepada orang tua, dalam pernyataan Aisyah r.a. yakni
dalam dialog rasulullah Saw. Kepada seorang laki-laki. Rasul bertanya: “Siapakah
yang bersamamu? Orang itu menjawab: “ayahku”. Beliau berkata: “jangan
berjalan di depannya dan jangan duduk sebelum dia, jangan memanggilnya dengan
namanya dan jangan berbuat sesuatu yang menyebabkan orang lain memakinya”. (Thoha
Abdullah Al-Afifi: 1987:51)
4. Perlakuan kepada kedua orang tua dengan baik
dikaitkan sebagai kewajiban agama. Menurut Ibnu Abbas, Rasulullah pernah
mengatakan:
“Barang
siapa membuat ridha kedua orang tuanya di waktu pagi dan sore, maka ia pun
mendapat dua pintu syurga yang terbuka, dan jika membuat ridha salah-satu
diantaranya maka akan terbuka satu pintu syurga. Barangsiapa di waktu sore dan
pagi membuat marah kedua orang tuanya, maka ia mendapat dua pintu neraka yang
terbuka. Jika membuat marah salah-satu diantaranya, maka terbuka untuknya satu
pintu neraka”. (Thoha Abdullah Al-Afifi, 1987:53).[8]
Bahkan
ketika mendengar seorang tua mengadukan kekikiran anaknya hingga sampai hati
mengadukan bahwa ayahnya mengambil harta miliknya, maka rasul pun bersabda: “engkau
dan hartamu adalah milik ayahmu”. (Thoha Abdullah Al-Afifi, 1987, 54-55).
Dari penjelasan di atas tergambar
bagaimana perlakuan terhadap manusia usia lanjut menurut Islam. Manusia usia
lanjut dipandang tak ubahnya seorang bayi yang memerlukan pemeliharaan dan
perawatan serta perhatian khusus dengan penuh kasih sayang. Perlakuan yang
demikian itu tidak dapat diwakilkan kepada siapa pun, melainkan menjadi
tanggung jawab anak-anak mereka. Perlakuan yang baik dan penuh
kesabaran serta kasih sayang dinilai sebagai kebaktian. Sebaliknya,
perlakuan yang tercela dinilai sebagai kedurhakaan.
Penjelasan
ini menunjukkan bahwa perlakuan terhadap manusia usia lanjut menurut islam
merupakan kewajiban agama, maka perbuatan menempatkan orang tua dipanti jompo
merupakan tindakan tercela yang dilakukan oleh seorang anak.
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
secara umum mengatakan
bahwa usia lanjut ini dimulai pada usia 65 tahun. Dalam perkembangan usia
lanjut ini akan terjadi penurunan kemampuan fisik yang menyebabkan
aktivitas menurun. Adapun ciri-ciri keagamaan pada usia lanjut diantaranya,
Kehidupan keagamaan pada usia lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan,
Meningkatnya kecenderungan untuk menerima pendapat keagamaan, Mulai muncul
pengakuan terhadap realistis tentang kehidupan akhirat secara lebih
sungguh-sungguh, Sikap keagamaan cenderung mengarah kepada kebutuhan saling
cinta antar sesama manusia, serta sifat-sifat luhur, Timbul rasa takut kepada
kematian yang meningkat sejalan dengan pertambahan usia lanjutnya, Perasaan
takut kepada kematian ini berdampak pada peningkatan pembentukan sikap
keagamaan dan kepercayaan terhadap adanya kehidupan abadi (akhirat).
Kematangan
atau kedewasaan seseorang dalam beragama biasanya ditunjukakan dengan kesadaran
dan keyakinan yang teguh karena menganggap benar akan beragama yang dianutnya
dan ia memerlukan agama dalam hidupnya. Pada dasarnya terdapat dua faktor yang
menyebabkan adanya hambatan dalam menuju rasa keagamaan usia lanjut yakni
factor intern (dalam diri), dan ekstern (dari lingkungan).
Di dalam
Islam Perlakuan terhadap manusia usia lanjut dianjurkan seteliti dan
seteladan mungkin. Perlakuan terhadap orang tua yang berusia lanjut, dibebankan
pada keluarga mereka, bukan kepada badan atau panti asuhan, termasuk panti
jompo. Sehingga merawat orang tua dalam usia lanjut merupakan kewajiban
bagi anak-anak maupun sanak keluarganya, yakni dengan cara-cara yang diajarkan
di dalam alQur’an dan Sunnah Rasul.
DAFTAR PUSTAKA
Heni,
Narendrany Hidayati. 2007. Psikologi Agama. Jakarta: UIN Jakarta Press
Sururin.
2004. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Anshari, Hafi. 1991.
Dasar-dasar Ilmu Jiwa Agama, Usaha Nasional, Surabaya,
Jalaluddin. 2010. PsikologI Agama. Jakarta: Rajawali
Pers.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar