Nama : Dedi
Mulyana
NIM : 1136000028
Teori Frustasi-Agresi
Dollar, Doob, Miller, Mawrer, &
Sears, pada tahun 1939 menyatakankan bahwa agresi selalu berasal dari
frustrasi, dan frustrasi selalu menghasilkan agresi. Frustasi adalah sesuatu
yang menghambat suatu tercapainya suatu tujuan yang ingin dicapai. Frustasi ini
menstimulasi dorongan agresif dan dorongan agresif tersebut akan membangkitkan
perilaku agresi. Ada dua preposisi penting, yang pertama yaitu setiap frustasi
mengarahkan pada agresi dan keinginan untuk melukai orang lain, yang kedua,
setiap agresi bersumber dari frustasi.
Tampaknya sekarang bahwa dalam
asumsi ini selalu benar. Walaupun frustrasi biasanya membangkitkan kemarahan, peningkatan
kemarahan tidak selalu menimbulkan perilaku lebih agresif. faktor-faktor selain
frustrasi juga dapat menghasilkan perilaku agresif.
Dalam perkembangannya
kemudian terjadi beberapa modifikasi terhadap teori Frustasi – Agresi yang
klasik. Salah satu modifikasi adalah dari Burnstein & Worchel (1962) yang membedakan
antara frustasi dengan iritasi. Jika suatu hambatan terhadap pencapaian tujuan
dapat dimengerti alasannya, yang terjadi adalah iritasi (gelisah, sebal), bukan
frustasi (kecewa, putus asa).
Teori frustasi-agresi kemudian
dikembang kan dan dikoreksi oleh Berkowitz pada tahun 1988. Ia menyatakn pada
tahun 1993 bahwa seseorang bertintak agresif sebagai reaksi dari stimulus yang
menyakitkan. Baginya, tidak semua frustrasi dapat menyebabkan agresi, sebab
tidak semua frutrasi merupakan stimulus yang menyakitkan. Ketika dihadapkan
pada stimulus yang menyakitkan ada dua reaksi yang mungkin muncul: menyerang
sumber stimulus (fight), atau menghindar (flight). Fight dan flight ini
merupakan singdrom, suatu jaringan yang berhubungan dengan aspek fisiologis, motorik,
dan psikologis. Sindrom fight secara sadar dialami sebagai perasaan terganggu,
sedangkan sindrom flight secara sadar dialami sebagai perasaan takut
(Berkowitz, 1993).
Berkowitz (1978,1989)
mengatakan bahwa frustasi menimbulkan kemarahan dan emosi marah inilah yang
memicu agresi. Marah itu sendiri baru timbuljika sumber frustasi dinilai mempunyai
alternatif perilaku lain daripada perilaku yang menimbulkan frustasi itu.
Philipus marah karena ia beranggapan bahwa anak-anak keluarga Rohadi
sesungguhnya dapat bermain di tempat lain, tidak perlu menginjak-nginjak kebun singkongnya.
Anda marah karena ada orang menginjak kaki anda, padahal tempat di busmasih
luas. Anda juga marah karena mesin minuman macet, padahal sebetulnya dapat
diberi tanda bahwa mesin itu rusak agar orang tidak usah kehilangan uangnya.
Akan tetapi, kalau sumber frustasi dinilai tidak mempunyai pilihan lain (terpaksa
melakukan hal tersebut), frustasi itu tidak menimbulkan kemarahan sehingga juga
tidak memicu agresi. Jika Philipus beranggapan bahwa anak-anak Rohadi tidak
dapat bermain di tempat lain sehingga terpaksa menginjak-injak kebun singkongnya,
ia tidak akan marah apalagi sampai membunuh. Demikian pula jika kaki anda terinjak
di bus yang penuh sesak atau mesin minuman mencantumkan tanda “rusak”. Dengan
demikian, teori Frustrasiagresi hanya untuk menerangkan agresi dengan emosi
benci (hostile aggression), tidak dapat menerangkan gejala agresi instrumental.
Agresi
beremosi benci itu pun tidak terjadi begitu saja. Kemarahan memerlukan pancingan
(cue) tertentu untuk dapat menjadi perilaku agresi yang nyata (Berkowitz &
Le Page, 1967). Sebuah pistol, misalnya, yang ada di dekat seseorang, dapat
memancing kemarahan orang itu menjadi perilaku agresi yang sesungguhnya (menembak
sumber frustasi) yang tidak akan terjadi jika pistol itu tidak ada di situ.
Menurut penelitian, setengah dari pembunuhan di Amerika serikat dilakukan
dengan senjata api, sementara di Inggris hanya seperempat, karena Amerika
Serikat mengizinkan pemilikan senjata api dan Inggris tidak (Berkowitz,1968,1981,1995).
Penelitian lain juga menunjukkan bahwa pembunuhan dengan senjata api di Vancouver
(Canada) hanya seperlima dari Seatle (Amerika Serikat) walaupun kedua kota itu
mempunyai kepadatan penduduk, budaya, dan cuaca yang hampir sama. Alasannya adalah
karena adanya larangan pemilikan senjata api di kanada, sementara di Amerika
Serikat diizinkan (Sloan dkk, 1988). Hal lain yang perlu diketahui tentang
hubungan antara frustasi dan agresi ini adalah bahwa tidak selalu agresi berhenti
atau tercegah dengan sendirinya jika hambatan terhadap tujuan sudah teratasi.
Seorang istri, misalnya, marah kepada suaminya karena suaminya tidak membelikan
baju seperti yang dipakai istri tetangga. Setelah suami membelikan baju, istri
tetap saja marah karena ternyata istri tetangga itu dibelikan juga sepatu oleh
suaminya. Oleh karena itu, sang istri marah lagi dan agresif lagi untuk minta
sepatu. Dengan demikian, frustasi ternyata lebih disebabkan oleh keadaan subjektif daripada kondisi objektif. Oleh
Berkowitz (1972), keadaan subjektif ini disebut deprivasi (kekurangan), yaitu
adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan sehingga orang yang
bersangkutan merasa kekurangan.karena harapan itu pada umumnya tidak menetap,
tetapi meningkat sesuai dengan peningkatan kondisi objektif, deprivasi
ini juga berubah yang tadinya tidak menimbulkan frustasi pada saat
brikutnya dapat menimbulkan frustasi karena adanya perubahan deprivasi ini.
Dalam contoh tentang istri yang frustasi karena melikah istri tetangga
dibelikan sepatu oleh suaminya, deprivasi itu terjadi karena perbandingan
dengan orang lain. Akan tetapi, deprivasidapat juga terjadi karena perbandingan
terhadap harapan yang tumbuh di dalam diri orang yang bersangkutan sendiri
(Williams, 1975;Wood,1989).
Referensi
:
Taylor,
Dkk. Social Psychology, 1997, Upper Saddle River New Jersey 07458.
Rahman,
Agus Abdul. Psikologi Sosial, 2013.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Bagus artikelnya. Di saya ada artikel senada, yaitu https://www.anakadam.com/2016/08/teori-psikologi-agresi/ Terimakasih.
BalasHapus