Kamis, 17 September 2015

Teori Dominasi Sosial



TEORI DOMINASI SOSIAL
TUGAS MANDIRI
disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Psikologi Sosial II
oleh
ADITYA ARYO NK
1136000002
KELAS C


     





FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
TAHUN AKADEMIK 2014 – 2015

TEORI DOMINASI SOSIAL

Teori dominasi sosial, dikemukakan oleh Jim Sidanius dan Felicia Pratto. Pada teori ini dijelaskan bahwasannya manusia mempunyai kecenderungan khusus untuk membuat hierarki atau tingkatan dalam masyarakat. Setiap anggota masyarakat mempunyai kedudukan  yang berbeda dalam hierarki tersebut. Hierarki tersebut dapat berdasarkan kelompok sosial atau karakteristik individu. Teori Dominasi Sosial ini menjelaskan bahwa dalam kelompok sosial selalu terbentuk struktur hierarki atau tingkatan sosial. Hal ini menunjukkan terdapat sejumlah kelompok sosial yang mempunyai kedudukan berbeda, yaitu kelompok sosial atau individu yang berada  dibagian atas hierarki (dominan) dan juga kelompok sosial atau individu yang berada dibagian bawah hierarki (subordinat).
Kelompok sosial  atau individu dominan digambarkan dengan nilai-nilai positif yang mereka miliki atau berdasarkan hal-hal yang bersifat materi atau simbolik. Kelompok atau individu dominan biasanya memiliki kekuasaan politik atau otoritas, memiliki sumber daya yang baik dan banyak, memiliki kekayaan atau status sosial yang tinggi. Hal ini bertolak belakang dengan kelompok sosial atau individu subordinat adalah kelompok atau individu yang memiliki status sosial dan kekuasaan rendah
Teori dominasi sosial mengidentifikasi beberapa mekanisme hierarki telah dikembangkan dan dipertahankan. Orang dengan dominasi sosial yang tinggi adalah orang yang percaya bahwa kehidupan terbagi ke dalam struktur yaitu yang di atas dan yang di bawah. Mereka yang di atas adalah mereka yang menang, memiliki kekuasaan, atau memiliki seluruh nilai-nilai yang positif.
Kelompok atau individu dominan dan kelompok atau individu subordinat terbentuk melalui tiga sistem stratifikasi berdasarkan hal berikut ini :
a.       Umur (age system)
Anggota kelompok atau individu yang memiliki usia lebih tua dibandingkan dengan anggota kelompok atau individu lain memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dari yang lain (yang lebih muda).
b.      Jenis kelamin (gender system)
Laki-laki dilihat memiliki kekuasaan lebih apabila dibandingkan dengan perempuan.


c.       Arbitrary system
Terbentuknya konstruksi sosial yang membuat suatu kelompok atau individu menonjol dikarenakan suatu karakteristik tertentu, contohnya ras, suku, kelas sosial, agama, dan lain sebagainya.
Berdasarkan teori Sidanius dan Pratto, konsep terbesar dari kerangka berpikir orientasi dominasi sosial terdiri atas tiga asumsi. Asumsi pertama adalah bahwa manusia merupakan makhluk yang cenderung disusun berdasarkan kelompok-kelompok hierarki, dimana paling tidak terdapat satu kelompok atau individu yang berada di atas dan satu kelompok atau individu lain yang berada di bawahnya. Asumsi kedua, hierarki atau tingkatan dapat didasarkan pada usia, jenis kelamin, kelas sosial, ras, kebangsaan, agama, dan karakteristik lainnya yang mungkin dapat digunakan sebagai pembeda di antara kelompok atau individu yang berbeda. Asumsi terakhir, masyarakat secara individu harus menyeimbangkan kekuatan yang ada di dalam dirinya, yaitu diantara satu hierarki kelompok atau individu menuju kelompok hierarki atau individu lain yang memiliki keseimbangan.
Teori orientasi dominasi sosial yang dirumuskan oleh Sidanius dan Pratto pada tahun 1991, dirancang untuk menjelaskan sebab akibat dari hierarki sosial serta penindasan. Secara khusus teori dominasi sosial mencoba untuk menjelaskan mengapa masyarakat tampaknya didukung oleh suatu hierarki. Teori dominasi sosial menyebutkan bahwa faktor penting yang mempengaruhi ini adalah perbedaan individu yang dikatakan sebagai Orientasi Dominansi Sosial (ODS) atau sejauh mana individu berkeinginan untuk mendominasi dan menjadi unggul.

Menurut teori dominansi sosial, hierarki sosial merupakan hasil yang diperoleh dari diskriminasi di beberapa tingkatan seperti: lembaga, individu atau perorangan, dan proses kolaborasi antar kelompok.

1.       Legitimising myths
Teori dominansi sosial mengasumsikan bahwa ketidaksetaraan berbasis kelompok bukan hanya hasil dari penggunaan kekuatan, intimidasi, dan diskriminasi pada bagian yang dominan atau menonjol terhadap bawahan. Teori dominansi sosial menyatakan bahwa keputusan dan perilaku individu, pembentukan praktek-praktek sosial baru, dan lembaga dibentuk oleh legitiming myths (Johnson, 1994 dalam Prato, Sidanius, & Levin, 2006). Legitimising myths merupakan consensually dari nilai yang dipegang, sikap, kepercayaan, stereotip, dan ideologi budaya. Teori dominansi sosial membedakan antara dua jenis fungsional dari legitimizing myths yaitu legitimising myths yang meningkatkan hierarki  (Hierarchy-enhancing legitimising myths / HE-LMs) dan legitimizing myths yang melemahkan hierarki (Hierarchy-attenuating legitimizing myths / HA-LMs). HE-LMs memberikan kebenaran moral dan intelektual untuk penindasan dan ketidaksetaraan. Contohnya seperti berbagai bentuk rasisme, stereotip, nasionalisme atau kebangsaan, dan atribusi internal untuk kemiskinan. Mitos telah digunakan untuk menyatakan bahwa ketidaksetaraan adalah sesuatu yang adil, sah, dan alamiah (Pratto, Sidanius, & Levin, 2006). Sementara itu, HA-LMs adalah ideologi yang melawan dominansi. Contoh dari legitimising myths yang melemahkan hierarki diantaranya: doktrin politik seperti demokrasi sosial, sosialisme, dan komunisme, doktrin keagamaan, doktrin budayawan seperti hak-hak universal manusia, dan hak asasi manusia.

2.      Diskriminasi institusional (lembaga)
Pada diskriminasi institusional, terdapat dua macam klasifikasi hierarki yaitu meningkatkan hierarki (Hierarchy Enhancing / HE) dan melemahkan hierarki (Hierarchy Attenuating / HA). Lembaga yang meningkatkan hierarki (HE) mendukung dan mempertahankan ketidaksetaraan dengan mengalokasikan nilai sosial yang lebih positif kepada kelompok atau individu dominan. Lembaga yang meningkatkan hierarki (HE) memiliki kekuasaan atas keuntungan lembaga, perusahaan antar negara (perusahaan internasional), organisasi keamanan dalam negeri, dan sistem peradilan pidana (Sidanius, Pratto, & Levin, 2006). Sementara itu, lembaga yang melemahkan hierarki (HA) merupakan kelompok atau individu subordinat (kelompok bawah) seperti orang-orang tidak mampu, suku dan agama minoritas. Lembaga yang melemahkan hierarki (HA) meliputi hak asasi manusia, hak penduduk, organisasi kebebasan, organisasi keagamaan yang dikhususkan menjaga orang-orang lemah, rentan, dan tertindas (Pratto, Sidanius, Levin, 2006). Institusi sosial dapat melakukan systematic terror untuk tetap menjaga hierarki sosial. Systematic error merupakan suatu tindakan atau ancaman kekerasan yang lebih banyak ditujukan kepada kelompok atau individu subordinat (kelompok bawah). Systematic error ini berfungsi untuk menjaga hubungan yang bersifat penaklukan kelompok atau individu subordinat oleh kelompok dominan serta memelihara rasa hormat kelompok atau individu subordinat terhadap kelompok atau individu dominan.





3.      Diskriminasi Individu
Diskriminasi individu merupakan perbedaan perlakuan yang dilakukan oleh satu individu terhadap individu lain dikarenakan keanggotaan mereka dalam kelompok sosial tertentu. Diskriminasi individu sering terjadi di kehidupan sehari-hari dalam tindakan yang sederhana, namun terkadang merugikan. Diskriminasi atau perbedaan juga dilakukan oleh individu di dalam banyak bidang. Diskriminasi oleh individu terjadi ketika seorang atasan memutuskan untuk tidak memecat atau memberikan promosi kepada karyawan, agen perumahan memutuskan untuk tidak menjual atau menyewakan sebuah rumah kepada klien yang potensial, atau seorang jaksa yang memutuskan untuk memberikan pidana ringan kepada terdakwa, semua dikarenakan adanya perbedaan dalam etnis, kebangsaan, kelas sosial, orientasi seksual, atau gender. Individu yang berada pada hierarki yang memiliki kekuatan tinggi biasanya memiliki lebih banyak hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai positif dimana mereka dapat menyalurkan nilai-nilai tersebut kepada individu lain di dalam hierarkinya, dan kekuatan lain untuk memastikan bahwa nilai-nilai sosial yang negatif disalurkan ke individu lain di luar tingkatan hierarki mereka. Struktur hierarki menyiratkan bahwa kemudahan melakukan tindakan yang menjaga atau meningkatkan ketidaksetaraan lebih besar dari kemudahan melakukan tindakan yang0020melemahkan hierarki. Bukti empiris dari banyak negara dan mengenai berbagai konteks perbedaan individu telah menunjukan bahwa skala orientasi dominansi sosial merupakan indeks yang kuat dalam prasangka umum, preferensi kebijakan sosial politik, dan pilihan karir individu di masa depan.

Orientasi dominasi sosial mengacu pada sejauh mana seorang individu menerima suatu hierarki. Orientasi dominasi sosial adalah bagaimana individu menganut suatu mitos atau ideologi yang mempertahankan atau memperkuat hierarki di dalam suatu masyarakat. Pada awalnya, orientasi dominasi sosial dikonseptualisasikan dengan sejauh mana individu menginginkan kelompok atau diri mereka sendiri untuk menjadi dominan atas kelompok atau individu.
Sidanius dan Pratto memperkenalkan konsep orientasi dominasi sosial dalam sebuah studi pada tahun 1994, dimana dia menunjukan bahwa orientasi dominasi sosial berbeda-beda pada setiap individu. Beberapa individu memilih tetap berada di tingkatan hierarkinya untuk mendominasi orang lain dan menganggap orientasi superior-inferior hierarki dalam hubungan mereka dengan anggota kelompok atau individu lainnya. Individu lain tanpa suatu orientasi dominasi sosial lebih cenderung untuk memilih hubungan mereka dengan orang lain untuk berada di tingkatan yang sama. Sebuah sifat yang khas dari individu dengan orientasi dominasi sosial yang lebih rendah adalah bahwa mereka cenderung lebih empatik terhadap orang lain.
 Individu yang memiliki orientasi dominasi sosial tinggi cenderung lebih tertarik dalam mendapatkan dan menggunakan kekuatan, sedangnya individu dengan orientasi dominasi sosial rendah lebih cenderung untuk mencari cara-cara koperatif dalam menangani konflik. Selain itu, individu dengan orientasi dominasi sosial yang tinggi juga sangat termotivasi untuk memaksimalkan keuntungan mereka terhadap individu di kelompok lain.
Robert Altemeyer (2006) mengatakan bahwa orang dengan orientasi dominansi sosial tinggi menginginkan kekuasaan yang lebih (setuju pada item seperti “menang lebih penting daripada bagaimana kamu memainkan permainan”) dan lebih tidak jujur (manipulasi dan tidak sopan) setuju pada item seperti “tidak benar-benar ada hal seperti benar dan salah”. Orientasi dominansi sosial sering dikonseptualisasikan sebagai suatu fenomena yang berbasis kelompok, namun orientasi dominansi sosial tidak hanya merupakan dominansi berbasis kelompok tetapi juga merefleksikan dominansi antarpribadi. Hal ini didukung oleh Sidanius dan Pratto.
Individu dengan level orientasi dominansi sosial tidak hanya mendukung mereka dalam sosial, politik dan ideologi, tapi juga bagaimana mereka menjalani kehidupan (Ho, Sidanius, Pratto, Levin, Thomsen, Kteily, & Skeffington, 2011). Sebagai contoh, jenis pekerjaan yang mereka cari dan dapatkan atau bidang yang mereka pilih untuk dipelajari (Haley & Sidanius, 2005 dalam Ho, Sidanius, Pratto, Levin, Thomsen, Kteily, & Skeffington, 2011). Orientasi dominansi sosial juga telah menunjukan dapat memprediksi masa depan sikap antarkelompok masyarakat dan perilaku di waktu yang lama (Thomsen et al., 2010 dalam Ho, Sidanius, Pratto,
Levin, Thomsen, Kteily, & Skeffington, 2011).
Orientasi dominansi sosial merupakan preferensi untuk ketidaksetaraan hubungan antara kategori-kategori yang ada dari individu, secara konseptual dibedakan dari konsep kepribadian yang umum dari dominasi antar pribadi, dimana fokus pada individu (Pratto, Sidanius, Stallworth,& Malle, 1994). Orientasi dominansi sosial bukan sekedar untuk menunjukan keunikan masing-masing dari perbedaan individu, bukan juga untuk mengklasifikasikan individu ke dalam taksonomi. Sebaliknya, orientasi dominansi sosial merupakan suatu model penekanan yang dinamis dimana berbagai jenis individu memainkan peran yang berbeda dan memiliki efek yang berbeda satu sama lain (Pratto, Sidanius, Stallworth, Malle, 1994).


DAFTAR PUSTAKA

Rizkytha, Innes Zia. (2012). PERAN ORIENTASI DOMINANSI SOSIAL DAN PERSEPSI KELANGKAAN LAWAN JENIS DALAM MEMPREDIKSIKAN SIKAP TERHADAP RISIKO PADA TENAGA KERJA WANITA. Binus University: tidak diterbitkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tutorial Lengkap Agar disetujui Daftar Google Adsense

Sejak membuat BLOGOOBLOK, ratusan sudah postingan yang saya buat. Tidak sedikit diantaranya membahas  Google Adsense . Ini menandakan...