TEORI
DOMINASI SOSIAL
TUGAS MANDIRI
disusun
untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Psikologi Sosial II
oleh
ADITYA ARYO NK
1136000002
KELAS
C
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
TAHUN AKADEMIK 2014 – 2015
TEORI DOMINASI SOSIAL
Teori dominasi sosial,
dikemukakan oleh Jim Sidanius dan Felicia Pratto. Pada teori ini dijelaskan
bahwasannya manusia mempunyai kecenderungan khusus untuk membuat hierarki atau
tingkatan dalam masyarakat. Setiap
anggota masyarakat mempunyai kedudukan
yang berbeda dalam hierarki tersebut. Hierarki tersebut dapat
berdasarkan kelompok sosial atau karakteristik individu. Teori Dominasi Sosial
ini menjelaskan bahwa dalam kelompok sosial selalu terbentuk struktur hierarki
atau tingkatan sosial. Hal ini menunjukkan terdapat sejumlah kelompok sosial
yang mempunyai kedudukan berbeda, yaitu kelompok sosial atau individu yang
berada dibagian atas hierarki (dominan)
dan juga kelompok sosial atau individu yang berada dibagian bawah hierarki
(subordinat).
Kelompok sosial atau individu dominan digambarkan dengan
nilai-nilai positif yang
mereka miliki atau berdasarkan hal-hal yang bersifat materi atau simbolik. Kelompok
atau individu dominan biasanya memiliki kekuasaan politik atau otoritas,
memiliki sumber daya yang baik dan banyak, memiliki kekayaan atau status sosial
yang tinggi. Hal ini bertolak belakang dengan kelompok sosial atau individu
subordinat adalah kelompok atau individu yang memiliki status sosial dan kekuasaan
rendah
Teori
dominasi sosial mengidentifikasi beberapa mekanisme hierarki telah dikembangkan
dan dipertahankan. Orang dengan dominasi sosial yang tinggi adalah orang yang
percaya bahwa kehidupan terbagi ke dalam struktur yaitu yang di atas dan yang di
bawah. Mereka yang di atas adalah mereka yang menang, memiliki kekuasaan, atau
memiliki seluruh nilai-nilai yang positif.
Kelompok
atau individu dominan dan kelompok atau individu subordinat terbentuk
melalui tiga sistem stratifikasi berdasarkan hal berikut ini :
a. Umur
(age system)
Anggota kelompok atau
individu yang memiliki usia lebih tua dibandingkan dengan anggota kelompok atau
individu lain memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dari yang lain (yang lebih
muda).
b. Jenis
kelamin (gender system)
Laki-laki dilihat
memiliki kekuasaan lebih apabila dibandingkan dengan perempuan.
c. Arbitrary
system
Terbentuknya konstruksi sosial yang
membuat suatu kelompok atau individu menonjol dikarenakan suatu karakteristik
tertentu, contohnya ras, suku, kelas sosial, agama, dan lain sebagainya.
Berdasarkan teori Sidanius dan Pratto, konsep terbesar
dari kerangka berpikir orientasi dominasi sosial terdiri atas tiga asumsi.
Asumsi pertama adalah bahwa manusia merupakan makhluk yang cenderung disusun
berdasarkan kelompok-kelompok hierarki, dimana paling tidak terdapat satu
kelompok atau individu yang berada di atas dan satu kelompok atau individu lain
yang berada di bawahnya. Asumsi kedua, hierarki atau tingkatan dapat didasarkan
pada usia, jenis kelamin, kelas sosial, ras, kebangsaan, agama, dan
karakteristik lainnya yang mungkin dapat digunakan sebagai pembeda di antara
kelompok atau individu yang berbeda. Asumsi terakhir, masyarakat secara
individu harus menyeimbangkan kekuatan yang ada di dalam dirinya, yaitu
diantara satu hierarki kelompok atau individu menuju kelompok hierarki atau
individu lain yang memiliki keseimbangan.
Teori orientasi dominasi sosial yang dirumuskan oleh
Sidanius dan Pratto pada tahun 1991, dirancang untuk menjelaskan sebab akibat
dari hierarki sosial serta penindasan. Secara khusus teori dominasi sosial
mencoba untuk menjelaskan mengapa masyarakat tampaknya didukung oleh suatu hierarki.
Teori dominasi sosial menyebutkan bahwa faktor penting yang mempengaruhi ini
adalah perbedaan individu yang dikatakan sebagai Orientasi Dominansi Sosial
(ODS) atau sejauh mana individu berkeinginan untuk mendominasi dan menjadi
unggul.
Menurut teori dominansi sosial, hierarki sosial merupakan hasil yang
diperoleh dari diskriminasi di beberapa tingkatan seperti: lembaga, individu
atau perorangan, dan proses kolaborasi antar kelompok.
1.
Legitimising myths
Teori dominansi sosial mengasumsikan bahwa
ketidaksetaraan berbasis kelompok bukan hanya hasil dari penggunaan kekuatan,
intimidasi, dan diskriminasi pada bagian yang dominan atau menonjol terhadap
bawahan. Teori dominansi sosial menyatakan bahwa keputusan dan perilaku
individu, pembentukan praktek-praktek sosial baru, dan lembaga dibentuk oleh legitiming
myths (Johnson, 1994 dalam Prato, Sidanius, & Levin, 2006). Legitimising
myths merupakan consensually dari nilai yang dipegang, sikap, kepercayaan,
stereotip, dan ideologi budaya. Teori dominansi sosial membedakan antara dua
jenis fungsional dari legitimizing myths yaitu legitimising myths yang
meningkatkan hierarki (Hierarchy-enhancing
legitimising myths / HE-LMs) dan legitimizing myths yang melemahkan hierarki
(Hierarchy-attenuating legitimizing myths / HA-LMs). HE-LMs memberikan
kebenaran moral dan intelektual untuk penindasan dan ketidaksetaraan. Contohnya
seperti berbagai bentuk rasisme, stereotip, nasionalisme atau kebangsaan, dan
atribusi internal untuk kemiskinan. Mitos telah digunakan untuk menyatakan
bahwa ketidaksetaraan adalah sesuatu yang adil, sah, dan alamiah (Pratto,
Sidanius, & Levin, 2006). Sementara itu, HA-LMs adalah ideologi yang
melawan dominansi. Contoh dari legitimising myths yang melemahkan hierarki
diantaranya: doktrin politik seperti demokrasi sosial, sosialisme, dan
komunisme, doktrin keagamaan, doktrin budayawan seperti hak-hak universal
manusia, dan hak asasi manusia.
2.
Diskriminasi institusional (lembaga)
Pada diskriminasi institusional, terdapat dua
macam klasifikasi hierarki yaitu meningkatkan hierarki (Hierarchy Enhancing /
HE) dan melemahkan hierarki (Hierarchy Attenuating / HA). Lembaga yang
meningkatkan hierarki (HE) mendukung dan mempertahankan ketidaksetaraan dengan
mengalokasikan nilai sosial yang lebih positif kepada kelompok atau individu
dominan. Lembaga yang meningkatkan hierarki (HE) memiliki kekuasaan atas
keuntungan lembaga, perusahaan antar negara (perusahaan internasional),
organisasi keamanan dalam negeri, dan sistem peradilan pidana (Sidanius,
Pratto, & Levin, 2006). Sementara itu, lembaga yang melemahkan hierarki
(HA) merupakan kelompok atau individu subordinat (kelompok bawah) seperti
orang-orang tidak mampu, suku dan agama minoritas. Lembaga yang melemahkan hierarki
(HA) meliputi hak asasi manusia, hak penduduk, organisasi kebebasan, organisasi
keagamaan yang dikhususkan menjaga orang-orang lemah, rentan, dan tertindas
(Pratto, Sidanius, Levin, 2006). Institusi sosial dapat melakukan systematic
terror untuk tetap menjaga hierarki sosial. Systematic error merupakan
suatu tindakan atau ancaman kekerasan yang lebih banyak ditujukan kepada
kelompok atau individu subordinat (kelompok bawah). Systematic error ini
berfungsi untuk menjaga hubungan yang bersifat penaklukan kelompok atau
individu subordinat oleh kelompok dominan serta memelihara rasa hormat kelompok
atau individu subordinat terhadap kelompok atau individu dominan.
3.
Diskriminasi Individu
Diskriminasi individu merupakan perbedaan
perlakuan yang dilakukan oleh satu individu terhadap individu lain dikarenakan
keanggotaan mereka dalam kelompok sosial tertentu. Diskriminasi individu sering
terjadi di kehidupan sehari-hari dalam tindakan yang sederhana, namun terkadang
merugikan. Diskriminasi atau perbedaan juga dilakukan oleh individu di dalam
banyak bidang. Diskriminasi oleh individu terjadi ketika seorang atasan
memutuskan untuk tidak memecat atau memberikan promosi kepada karyawan, agen
perumahan memutuskan untuk tidak menjual atau menyewakan sebuah rumah kepada
klien yang potensial, atau seorang jaksa yang memutuskan untuk memberikan
pidana ringan kepada terdakwa, semua dikarenakan adanya perbedaan dalam etnis,
kebangsaan, kelas sosial, orientasi seksual, atau gender. Individu yang berada
pada hierarki yang memiliki kekuatan tinggi biasanya memiliki lebih banyak
hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai positif dimana mereka dapat
menyalurkan nilai-nilai tersebut kepada individu lain di dalam hierarkinya, dan
kekuatan lain untuk memastikan bahwa nilai-nilai sosial yang negatif disalurkan
ke individu lain di luar tingkatan hierarki mereka. Struktur hierarki
menyiratkan bahwa kemudahan melakukan tindakan yang menjaga atau meningkatkan
ketidaksetaraan lebih besar dari kemudahan melakukan tindakan yang0020melemahkan
hierarki. Bukti empiris dari banyak negara dan mengenai berbagai konteks
perbedaan individu telah menunjukan bahwa skala orientasi dominansi sosial
merupakan indeks yang kuat dalam prasangka umum, preferensi kebijakan sosial
politik, dan pilihan karir individu di masa depan.
Orientasi dominasi sosial mengacu pada sejauh mana seorang individu
menerima suatu hierarki. Orientasi dominasi sosial adalah bagaimana individu
menganut suatu mitos atau ideologi yang mempertahankan atau memperkuat hierarki
di dalam suatu masyarakat. Pada awalnya, orientasi dominasi sosial
dikonseptualisasikan dengan sejauh mana individu menginginkan kelompok atau diri
mereka sendiri untuk menjadi dominan atas kelompok atau individu.
Sidanius dan Pratto memperkenalkan konsep orientasi dominasi sosial
dalam sebuah studi pada tahun 1994, dimana dia menunjukan bahwa orientasi
dominasi sosial berbeda-beda pada setiap individu. Beberapa individu memilih
tetap berada di tingkatan hierarkinya untuk mendominasi orang lain dan
menganggap orientasi superior-inferior hierarki dalam hubungan mereka dengan
anggota kelompok atau individu lainnya. Individu lain tanpa suatu orientasi
dominasi sosial lebih cenderung untuk memilih hubungan mereka dengan orang lain
untuk berada di tingkatan yang sama. Sebuah sifat yang khas dari individu
dengan orientasi dominasi sosial yang lebih rendah adalah bahwa mereka
cenderung lebih empatik terhadap orang lain.
Individu yang memiliki orientasi
dominasi sosial tinggi cenderung lebih tertarik dalam mendapatkan dan
menggunakan kekuatan, sedangnya individu dengan orientasi dominasi sosial
rendah lebih cenderung untuk mencari cara-cara koperatif dalam menangani
konflik. Selain itu, individu dengan orientasi dominasi sosial yang tinggi juga
sangat termotivasi untuk memaksimalkan keuntungan mereka terhadap individu di
kelompok lain.
Robert Altemeyer (2006) mengatakan bahwa orang dengan orientasi dominansi
sosial tinggi menginginkan kekuasaan yang lebih (setuju pada item seperti “menang
lebih penting daripada bagaimana kamu memainkan permainan”) dan lebih tidak
jujur (manipulasi dan tidak sopan) setuju pada item seperti “tidak benar-benar ada
hal seperti benar dan salah”. Orientasi dominansi sosial sering dikonseptualisasikan
sebagai suatu fenomena yang berbasis kelompok, namun orientasi dominansi sosial
tidak hanya merupakan dominansi berbasis kelompok tetapi juga merefleksikan
dominansi antarpribadi. Hal ini didukung oleh Sidanius dan Pratto.
Individu dengan level orientasi dominansi sosial tidak hanya mendukung mereka
dalam sosial, politik dan ideologi, tapi juga bagaimana mereka menjalani kehidupan
(Ho, Sidanius, Pratto, Levin, Thomsen, Kteily, & Skeffington, 2011). Sebagai
contoh, jenis pekerjaan yang mereka cari dan dapatkan atau bidang yang mereka
pilih untuk dipelajari (Haley & Sidanius, 2005 dalam Ho, Sidanius, Pratto, Levin,
Thomsen, Kteily, & Skeffington, 2011). Orientasi dominansi sosial juga telah
menunjukan dapat memprediksi masa depan sikap antarkelompok masyarakat dan perilaku
di waktu yang lama (Thomsen et al., 2010 dalam Ho, Sidanius, Pratto,
Levin, Thomsen, Kteily, & Skeffington,
2011).
Orientasi dominansi sosial merupakan preferensi untuk ketidaksetaraan hubungan
antara kategori-kategori yang ada dari individu, secara konseptual dibedakan
dari konsep kepribadian yang umum dari dominasi antar pribadi, dimana fokus
pada individu (Pratto, Sidanius, Stallworth,& Malle, 1994). Orientasi dominansi
sosial bukan sekedar untuk menunjukan keunikan masing-masing dari perbedaan
individu, bukan juga untuk mengklasifikasikan individu ke dalam taksonomi.
Sebaliknya, orientasi dominansi sosial merupakan suatu model penekanan yang
dinamis dimana berbagai jenis individu memainkan peran yang berbeda dan
memiliki efek yang berbeda satu sama lain (Pratto, Sidanius, Stallworth, Malle,
1994).
DAFTAR PUSTAKA
Rizkytha,
Innes Zia. (2012). PERAN ORIENTASI
DOMINANSI SOSIAL DAN PERSEPSI KELANGKAAN LAWAN JENIS DALAM MEMPREDIKSIKAN SIKAP
TERHADAP RISIKO PADA TENAGA KERJA WANITA. Binus University: tidak
diterbitkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar