BAB
I
PENDAHULUAN
I.
LATAR BELAKANG MASALAH
Belajar adalah inti dari
pembelajaran psiklogi pendidikan. Salah satu teori psikologi yang membahas
tentang belajar dalah para behavioris, walupun begitu terdapat perdebatan dalam
penerpan teori behaviorisme di kelas(Reynolds, Sinatra, & Jetton, 1996).
Karena bagaimanapun
teori-teori behaviorisme ini tidak mempertimbangkan kepercayaan dan ekspetasi,
yang kemudian lebih dibahas dalam teori sosial kognitif (cognitive social) yang memperluas teori dari behaviorisme dan kemudian
melibatkan kognisi seseorang dalam bertingkah laku. Dengan kata lain bisa
dikatakan bahwa teori kognitif sosial masih berakar dari teori behaviorisme.
Kedua teori ini membahas
tentang belajar dan perubahan tingkah laku seseorang. Seorang guru diharap
dapat mempelajri teori-teori tentang belajar dalam pandangannya terhadap
belajar. Karena setiap teori yang ada mempunyai kelebihan dan kekurangannya.
Terlebih apabila teori ini digunakan untuk strategi belajar mengajar di kelas.
Dalam makalah ini akan
membahas bagaimana teori behaviorisme dan kognitif sosial dapat di terapkan
dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Dan dalam upaya untuk meningkatkan
belajar siswa di kelas, dengan konsekuensi perilaku siswa yang berupa penguatan
dan hukuman yang akan diberikan pda tingkah lakunya.
II.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana pandangan behaviorisme terhadap
belajar?
2.
Bagaimana
pandangan teori kognitif sosial tentang belajar?
3.
Bagaimana
teori behaviorisme dan kognitif sosial dapat di aplikasikan di ruang kelas?
III.
TUJUAN PENULISAN
1.
Untuk
mengetahui pandangan behaviorisme terhadap belajar
2.
Untuk
mengetahuan teori sosial kognitif tentang belajar
3.
Untuk
Mengetahui teori behaviorisme dan kognitif sosial dapat diaplikasikan di ruangn
kelas
BAB
II
PEMBAHASAN
I.
PANDANGAN BEHAVIORISME TENTANG BELAJAR
Ada tiga pandangan dalam
behaviorisme dalam membahas belajar yaitu contiguitas
conditioning, classical conditioning yang dirumuskan oleh Pavlov dalam
penelitiannya mengenai air liur anjing, dan operant conditioning yang dirumuskan
oleh B.F. Skinner dari penelitiannya
mengenai burung beo.
1. CONTIGUITAS
CONDITIONING
Pasangan
stimulus dan respon sederhana, sehingga jika mereka terjadi bersama sama cukup
sering, akan mengalami satu hasil yang lain (Catania, 1998; Guthrie, 1952).
Stimulus merupakan semua yang berhubungan dengan penglihatan, suara, penciuman,
dan hal-hal yang indra terima dari lingkungan.
Istilah
teori belajar contiguous conditioning dibagi menjadi dua buah kata yaitu
contiguous dan conditioning. Contiguous yaitu asosiasi dekat, dan conditioning
yaitu kebiasaan atau yang dikondisikan. Jadi pengertian teori belajar
contiguous conditioning adalah teori belajar yang mengasumsikan bahwa
terjadinya peristiwa belajar itu berdasarkan kedekatan hubungan antara stimulus
dengan respon yang relevan.
Jadi
berkembangnya prilaku anak atau siswa dalam proses belajar mengajar menurut
teori ini, bukan karena adanya stimulus dan respon akan tetapi karena dekatnya
hubungan antara stimulus dengan respon sebagaimana yang telah disebutkan
sebelumnya.
Teori belajar contiguous
conditioning ini lebih sering dikenal dengan teori belajar istimewa
dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya, dalam arti teori ini
dekategorikan dengan teori yang sederhana dan efisien, karena dalam teori ini
terdapat satu prinsip yaitu contiguitas (contiguity) yaitu kedekatan asosiasi
antara stimulus dengan respon. Atau dengan kata lain teori belajar contiguous
conditioning ini mengaplikasikan tentang pentingnya mengkondisikan kedekatan
antara stimulus dan respon, beda dengan teori-teori yang mengkondisikan bahwa
terjadinya peristiwa belajar mengajar itu berdasarkan adanya stimulus sehingga
mengakibatkan timbulnya respon. Kontigitas merupakan komponen dasar dari
klasikal kondisioning
2. CLASSICAL
CONDITIONING
Classical
conditioning atau kondisioning klasikal digambarkan pertama kali oleh Ivan
Pavlov, seorang psikolog rusia yang mendapatkan penghargaan nobel pada tahun
1904 untuk penelitiannya dalam sistem pencernaan. Sebagai bagian dari
penelitiannya ia dan assistant nya menempatkan bubuk
daging di mulut anjing, seketika anjing
itu produksi air liur. Pavlov mengamati bahwa hanya dengan melihat asisten lab
nya membawa makanan menyebabkan peningkatan produksi air liur. Yang lebih menarik
lagi, produksi air liur meningkat hanya dengan melihat asisten lab (pembawa
makanan). Bahkan suara langkah kaki asisten lab (pembawa makanan anjing) telah
meningkatkan produksi air liur meskipun pembawa makanan tidak membawa makanan.
Fenomena mengagetkan ini yang menjadi dasar dari teciptanya teori kondisioning
klasik.
Untuk memehami bagai mana kerja
kondisioning klasik, pertama harus mengeti terlebih dahulu empat konsep. Yaitu (Baldwin & Baldwin, 1998)
§ Stimulus tidak terkondisi (an
unconditioned stimulus UCS)
§ Respon tidak terkondisi (an
unconditioned response UCR)
§ Stimulus terkondisi (an
conditioned stimulus CS)
§ Respon terkondisi (an
conditioned response CR)
Membuat sebuah asosiasi adalah kunci
untuk pembelajaran kondisioning klasik. Ajing Pavlov terbiasa untuk belajar
mengeluarkan air liur pada saat melihat asisten lab karena anjing
mengasosiasikan asisten lab dengan bubuk daging. Air liur anjing dalam respon
kepada daging tidak dipelajari, sedang respon kepada asisten lab, merupakan
respon dipelajari. Seseorang yang menjadi subjek belajar selalu membuat
asosiasi ketika datangnya stimulus tidak terkondisi dan stimulus terkondisi
mempunyai hubungan kontiguitas, yaitu ketika terjadi secara bersamaan.
2.1. Kondisioning klasik di ruang kelas
Contoh:
-
Tim gagal dalam
kuis aljabar, ia sangat hancur dan cemas. Dia cemas kembali saat ia akan
menghadapi tes berikutnya
-
Andaikata Diana
sedang di atas danau dalam sebuah perahu, Kemudian Diana terjatuh keluar kapal.
Pada lain waktu saat Diana dekat dengan kolam yang luas, Diana merasakan rasa
takut yang sama seperti saat Diana mendapat kecelakaan yang sama saat di dalam
kapal.
-
Sharon van horn
adalah guru dari Damon, Sharon selalu menyapa dan memberi salam kepada Damon
dengan ramah, perilaku yang sopan setiap hari ketika damon datang ke ruangan
Sharon dan salam yang diberikan Sharon gurunya membuatnya merasa nyaman.
Kemudian pengalaman Damon adalah rasa nyaman ketika memasuki ruangan Mrs. Van
Horns. Walaupun saat gurunya tidak ada disana.
Secara tidak sengaja kita berpikir
bahwa belajar sebagai akibat atau keterlibatan dari pengetahuan atau kemampuan.
Klasikal kondisioning membantu menjelaskan
bagaimana emosi dapat dipelajari seperti pada contoh diatas Tim telah belajar
untuk menjadi saat kuis aljabar, Diana telah belajar untuk takut air, dan Damon
telah belajar untuk merasa nyaman ketika dia datang ke ruangan Mrs. Van Horn.
Dalam setiap kasus, respon terkondisi tanpa sengaja yaitu, Tim, Diana dan Damon
tidak dapat mengontrol emosi yang telah
dipelajari (Baldwin & Baldwin, 19988).
2.2. Generalization dan Discrimination
(generalisasi dan diskriminasi)
Klasikal
kondisioning melibatkan hubungan prediksi belajar. Pembelajaran kita akan
terbatas memang jika kita tidak pernah menggeneralisasi di luar stimulus
terkondisi yang sama persis yang pada awalnya disajikan. sebagai gantinya,
generalisasi memungkinkan kita untuk memprediksi apa yang mungkin terjadi dalam
situasi baru. Seperti pada contoh kasus Tim di atas, ketika Tim merasakan gugup pada tes algebra karena kegagalannya
ia akan merasa gugup untuk tes algebra yang kedua, Tim akan mulai merasa gugup
atau gelisah ketika ia menggambil tes kimia, meskipun Tim mengerjakan tes kimia
dengan baik. Ketakuatan Tim telah menggeneralisasi kepada tes kimia. Generalisasi terjadi ketika stimulus yang mirip tetapi
tidak sama persis dihadapkan pada stimulus terkondisi akan mendatangkanrespon
terkondisi. Tes kimia Tim merupakan stimulus yang mirip kepada kuis aljabar
nya, dan keduanya mendatangkan respon terkondisi, yaitu “gugup” dengan
sendirinya.
Proses generalisasi pun dapat
bekerja dalam cara yang positif. Contohnya saat seorang murid
mengasosiasikansebuah ruang kelas dengan kepedulian dan keramahan gurunya,
melalui generalisasi, dia akan mempunyai reaksi yang sama pada kelas yang
lainnya atau klub aktifitas dan ruangan lain disekolah.
Lawan dari deneralisasi adalah diskriminasi yaitu kemampuan memberikan respon berbeda untuk
berhubungan tetapi bukan pada stimulus yang sama. Sebagai contoh Tim
gelisah pada tes kimia tetapi tidak gelisah dalam Sejarah dan bahasa inggris,
ia mendiskriminasikan bahasa inggris dari algebra sebaik ia mendiskriminasi
sejarah dari algebra.
2.3. Extinction
Extinction
atau kepunahan, terjadi ketika
stimulus terkondisi terjadi berulangkali dalam ketidakadaan stimulus tidak
terkondisi, dan tidak lagi mendatangkan respon tidak terkondisi (Baldwin &
Baldwin, 1998). Seperti dalam contoh kasus di atas ketika tim merasakan gugup,
kemudaian Tim mencoba belajar lebih giat dan merubah kebiasaan belajarnya
bersama susan, Tim merasa berkurang kegelisahannya ketika akan menghadapi kuis.
Dan lebih lanjut lagi apabila Tim sukses dalam
kuis, maka rasa gelisah tim akan hilang. Dan respon terkondisi akan
menadi hilang. Dalam kasus Tim mengambil kuis kembali (stimulus terkondisi)
tanpa kegagalan (stimulus tidak terkondisi) akhirnya akan mengakibatkan dia
tidak lagi merasa gugup.
3. OPERANT
CONDITIONING
Kondisioning
klasik tidak menjelaskan bagaimana konsekwensi setelah respon terjadi dapat
mepengaruhi perilaku seseorang. Kondisioning operant menjelaskan tentang belajar
yang dihasilkan respon karena ia akan menghasilkan efek reward (balasan) atau
konsekwensi setelah respon terjadi. Dalam pengkondisian operant, hubungan yang penting
adalah hubungan antara respon dan apapun yang terjadi sesudahnya
(Rescorla,1987).
Teori ini
merupakan perumusan dari B.F Skinner (1904-1990) yaitu seorang psikolog
behaviorisme yang sangat berpengaruh, kepala department psikologi pada sekitar
tahun 1960 mengindentifikasikanya sebagai psikolog paling berpengaruh pada abad
ke 20 (Myers, 1970). Skinner menyatakan bahwa tingkahlaku seseorang lebih
terkendali dengan konsekwensi perilaku dibandingkan sebagai perilaku
terprediksi. Sebuah konsekwensi merupakan sebuah hasil (stimulus) yang terjadi
setelah tingkah laku dan pengaruh tingkah laku yang akan datang.
Sebagai contoh
seorang guru memuji murid nya setelah sang murid menjawab pertanyaan, pujian
gurunya merupakan konsekwensi. Atau hasil tes dan tingkatan niali dikelas
merupakan konsekwensi dari ujian.
Kondisioning operan merupakan bentuk dari belajar yang
merupakan respon yang tampak berubah dalam frekunsi dan durasi sebagai hasil
dari konsekwensi.
3.1. Reinforcement
Reinforcement adalah sebuah proses
dalam pengaplikasian penguat untukmeningkatkan tingkah laku yang terbagi ke
dalam dua bagian yaitu; positif dan negatif.
Positive
reinforcement adalah proses
dalam peningkatan frekuensi atau durasi dari sebuah tingkah laku sebagai hasil
dari presentasi penguatan. Dalam sebuah kelas biasanya kita beranggapan bahwa
positive reinforcement sebagai sesuatu yang diinginkan dan dihargai. Setiap
kenaikan perilaku sebagai hasil dari yang disajikan dengan konsekuensinya yang
merupakan penguatan positif. Guru kadang-kadang tidak sengaja memperkuat
perilaku dengan teguran mereka. Sebagai contoh, misalkan seorang siswa terlibat
dalam beberapa permainan kasar ringan, guru menegur dia, dan kelakuan buruk
secara aktual meningkat. Teguran adalah positive reinforcement kareana hal itu
telah dipresentasikan kepada murid dan tingkah laku murid pun meningkat. Guru
yang memuji murid nya karena ia mendapatkan skor tertinggi merupakan positive
reinforcement yang umum.
Guru juga menggunakan positive
reinforcement ketika mereka mengambil keuntungan dari prinsip Premack (prinsip
yang dirumuskan oleh David Premack pada tahun 1969) Fenomena di mana aktivitas
yang lebih diinginkan berfungsi sebagai penguat positif untuk kegiatan yang
kurang diinginkan. Contohnya dalam pelajaran geografi seorang guru berkata pada
murid-muridnya “setelah kalian menyelesaikan rangkuman pelajaran, kalian akan
melanjutkan kepada pekerjaan di peta”. Guru mengetahui bahwa pekerjaan di peta
(kesukaan murid) merupakan positive reinforcement atau penguatan positif untuk
muridnya akan membuat mereka menyelesaikan rangkuman mereka. Demikian juga
perhatian penuh dari murid, pertanyaan dari murid, skor tinggi murid, dan
sapaan dari murid atau wali murid merupakan positive reinforcement untuk
seorang guru.
Negative
reinforcement adalah proses
meninggalkan dan menghindarkan stimulus untuk meningkatkan perilaku. Menghilangkan suatu stimulus yang
tidak disukai dari suatu situasi dapat meningkatkan kemungkinan bahwa perilaku
sebelumnya akan terjadi. Menghilangkan hal tersebut dapat berakibat pada
penguatan negatif. (B.F skinner 1953).
Efek dari penguatan negative sama
seperti penguatan negatif identik dengan penguatan positif yaitu menguatkan
perilaku. Sebagai contoh Damon baru saja menyelesaikankan pekerajaan yang berat
dan badan nya mengalami pegal-pegal, lalu ia memutuskan untuk mengambil aspirin
dan ibuprofen untuk membantunya tidur dengan keadaan lebih baik. Kemudian di
hari selanjutnya Damon menggunakan nya sebelum bekerja untuk menghindarkannya
dari pegal-pegal dan rasa sakit.
3.1.1.
Pembentukan (Shaping)
Pembentukan (shaping) adalah satu prosedur ketika peneliti atau lingkungan
memberi suatu pengarahan atas perkiraan kasar dari perilaku tersebut, lalu
perkiraan yang lebih dekat, dan terakhir, perilaku yang diinginkan tersebut.
Melalui proses penguatan perkiraan berkala, peneliti atau lingkungan secara
bertahap membentuk suatu kumpulan yang kompleks dan final dari perilaku
(Skinner, 1953).
Dalam hal apapun kita dapat
memperkuat perkiraan perilaku yang diinginkan melalui proses yang disebut pembentukan (shaping). Guru,
orang tua, dan orang orang yang ingin mendorong tingkah laku tertentu cenderung
menggunakan pembentukan (shaping). Pembentukan (shaping) adalah
penguatan sistematis perbaikan bertahap dalam perilaku yang diinginkan.
Pembentukan (shaping)
dapat digunakan dalam kegitan pembelajaran contohnya ketika siswa yang awalnya
berjuang dengan ide-ide yang sulit, seorang guru dapat memperkuat upaya mereka
dengan merespon sebagian ide mereka benar.
Contoh lain nya, ketika seorang guru memiliki murid
yang sangat pemalu dan enggan berinteraksi dengan teman-teman sebayanya, dan
guru mengetahui bahwa memiliki kemampuan sosial atau kemampuan dalam
berinteraksi sosial merupakan bagian yang penting dalam perkembangan seluruh
muridnya, kemudaian guru mendorong murid nya untuk mencoba lebih ramah dan
berencana untuk memperkuat nya (dengan memberikan nya penghargaan) untuk
melakukannya. Penguatan memang tidak akan lengsung mengubahnya menjadi seorang
yang dapat dengan cepat mengubah tingkahlakunya dan langsung berinteraksi
dengan teman-temannya. Lalu utuk membentuk nya dapat berinteraksi dengan
teman-teman lainnya, guru memberinya penguatan dengan mengkodisikannya untuk
tersenyum kepada teman-temannya sebagai interaksi awal. Kemudian guru
menguatkannya dan mengkondisikannya untuk membrikan sapaan atau salam kepada teman-temannya
ketika dia pertama kali datang ke kelas di pagi hari. Dan pada akhirnya guru
hanya memberikan pengutan kepadanya hanya untuk interaksi yang lebih kompleks
dengan temannya.
3.1.2.
Jadwal
pengutan (reinforcement schedule).
Jadwal
penguatan adalah deskripsi pola frekuensi dan prediksi dari penguatan (Baldwin
& Baldwin,1998).
Setiap
perilaku yang dilanjutkan secara langsung dengan pemberian penguatan positif
atau menghilangkan stimulus yang tidak menyenangkan cenderung untuk lebih
sering terjadi setelah itu. Akan tetapi, frekuensi perilaku tersebut,
tergantung pada kondisi ketika pelatihan terjadi, atau lebih spesifiknya pada
beragam jadwal penguatan (Ferster & Skinner, 1957) Penguatan dapat
mengikuti suatu perilaku dalam jadwal yang berkelanjutan atau dalam jadwal yang
acak dan tidak teratur.
Dengan jadwal
yang berkelanjutan organism diberikan penguatan untuk setiap respon. Jadwal
ini meningkatkan frekuensi munculnya respon, namun merupakan penggunaan
penguatan yang tidak efesien. Dan jadwal yang acak cara ini lebih efesien
dalam penggunaan penguatan dan juga menghasilkan respon yang lebih resisten
terhadap kemusnahan (extinction). Kadang-kadang
pola dari penguatan lebih berhungan dengan waktu dari pada dengan banyak nya
respon.
3.1.3.
Kepunahan
(extinction)
Setelah dipelajari respon dapat menghilang setidaknya
karena empat alasan. Pertama, respon terlupakan seiring berjalannya waktu.
Kedua, dan lebih mungkin terjadi, respon dapat menghilang karena adanya
gangguan dari pembelajaran sebelum atau sesudahnya. Ketiga, respon dapat
menghilang karena adanya hukuman dan ke empat adalah kepunahan (extinction) kecenderungan
dari respon yang sebelumnya telah dipelajari untuk secara bertahap mulai
melemah setelah tidak adanya penguatan.
3.1.4.
Kejenuhan
(Satiation)
Tingkah laku dapat mengalami penurunan ketika
penguatan tidak memadai, tetapi juga dapat menurun ketika penguatan yang di
berikan terlalu banyak. Contohnya ketika seorang guru terlalu banyak memuji
muridnya, pujian itu secara tidak sengaja dapat menghentikan para murid
menunjukan tingkahlaku yang diinginkan. Mereka juga lebih diperkuat pada
tujuan, untuk menurunkan tingkah laku yang tidak diinginkan.
3.2. Hukuman (Punishment)
Penguatan positif
dan negatif merupakan konsekwensi yang dapat meningkatkan tingkah laku.
Konsekwensi lain di sebut dengan hukuman
(punishment), melemahkan perilaku
atau mengurangi frekuensi tingkahlaku. Proses yang menggunakan penghukum untuk
mengurangi perilaku disebut hukuman (punishment).
Ada dua macam
hukuman yaitu, presentation punishment yang terjadi ketika tingkah laku peserta didik menurun sebagai akibat dari hukuman
yang diberikan oleh penghukum. Sebagai contoh ketika guru menyimpan jari
telunjuknya di bibirnya menandakan “Shhh” dan para murid mulai berhenti
berbisik-bisik. Para murid mendapatkan peliraku dari gurunya yang berupa tanda
“Shh” kemudian tingkah laku mereka “berbisik-bisik” menjadi berkurang.
Dan yang kedua adalah removal punishment
terjadi ketika tingkah laku menurun sebagai dari hasil dari penghapusan
stimulus atau sebagai hasil dari ketidakmampuan untuk mendapatkan penguatan
positif. Sebagia contoh misalkan para siswa di sebuah sekolah adalah siswa yang nakal kemudian gurunya menugaskan mereka
untuk tinggal di sebuah ruangan setelah jam pelajaran selesai, sedangkan pada
konsisi normal atau kondisi saat para siswa tidak nakal, maka mereka bebas
menggunakan waktu setelah sekolah mereka seperti apa yang ingin mereka
inginkan. Dan pada saat waktu penahanan
ini, adalah waktu kebebasan dan kesempatan para murid untuk saling berinteraksi
dengan teman sekelas. Jika presentation
punishment dan removal punishment tidak dilakukan secara berlebihan maka hal
itu akan berpengaruh pada tehnik menejemen (Skiba & Raison 1990; A. White
& Bailey, 1990)
4.
PENGARUH
ANTESEDEN PERILAKU
Di atas kita telah
membahas pengaruh dari konsekwensi perilaku yaitu penguatan dan hukuman dalam
perilaku. Akan tetapi perilaku juga dipengaruhi oleh anteseden, yaitu stimulus
yang diprediksikan tingkah laku. Tingkah
laku Anteseden diperkuat pada masa lampau meningkatkan perilaku yang mungkin
terjadi di masa yang akan datang. Dan anteseden tingkah laku yang dihukum pada
masa lalu menurunkan tingkah laku yang mungkin terjadi di masa lalu (Baldwin
& Baldwin, 1998).
Ada tiga macan anteseden yaitu, kondisi lingkungan;
dorongan dan isyarat; dan pengutan di masa lalu (hal ini berhubugan dengan
generelasi dan diskriminasi stimulus)
4.1. Kondisi lingkungan
Ketika kita berjalan di ruangan yang gelap, hal yang
pertama kita pikirkan adalah kembali pada tempat yang terang. Kegelapan ada
pada lingkungan anteseden yang menyebabkan kita kembali pada cahaya, dengan
kata lain kita telah diberi penguatan karena kita tahu bahwa kita akan akan
dapat melihat di tempatyang terang. Kita telah diberi penguatan untuk kembali
pada cahaya pada masa lalu, lalu kita kembali mengulangi perilaku tersebut.
4.2. Dorongan dan isyarat
Dorong dan isyarat
adalah stimulus anteseden spesifik yang dimaksudkan untuk menghasilkan tingkah
laku yang ingin guru perkuat. Adapun yang dimaksudkan dengan dorongan adalah
bantuan yang berupa stimulus dari guru untuk mendapatkan respon yang
diinginkan.
Dan isyarat dapat
berupa gerakan guru di dalam kelas. Contohnya ketika guru berkeliling di dalam
kelas saat jam pelajaran berlangsung, atau menyalakan lampu dan berdiri tepat
di depan kelas, ini mengisyaratkan bahwa guru ingin diperhatikan oleh para
murid atau murid diharapkan untuk tenang, diam dan tidak berisik.
Seorang guru yang
ahli biasanya mengguanakan isyarat verbal dan nonverbal untuk mengembangakan
rutinitas yang secara perlahan terjadi di ruang kelas (Cazden, 1986; Doyle
1986).
4.3.Generalisasi dan
diskriminasi
Penguatan di masa lalu juga mnyediakan antesenden
untuk respon pada stimulus yang mirip terpi tidak sama. Generalisasi adalah
memberikan respon yang sama terhadap stimulus yang mirip tetepi tidak identik.
Dan diskriminasi adalah memberikan respon yang berbeda kepada stimulus yang
mirip tetapi tidak identik.
5.
Menciptakan
lingkungan belajar yang produktif
Sebuah lingkungan
yang produktif salah satu nya adalah belajr yang tertib dan dan fokus.
Kebutuhan untuk lingkungan kelas yaitu aman dan tertib adalah salah satu
penemuan yang paling konsisten dalam penelitian pendidikan (Dayle 1986; Emmer
et al., 2003; Evertson et al.,2003). Walaupun behaviorisme tidak menyediakan
semua jawaban untuk menciptakan lingkunagnn yang tertib, behaviorisme
mengkontribusikan prosesnya. Beberapa prinsip di bawah ini dapat memandu guru
untuk upaya menciptakan lingkungan produktif:
§ Perilakukan
para siswa dengan hormat dan sopan sehingga kelas dan sekolah mu akan
mendatangkan emosi positif.
§ Ciptakanlah
lingkungan anteseden yang menghasilakan tingkah laku yang diinginkan.
§ Perkuat
usaha siswa-siswa dan tingkatkan kompetensi
§ Bentuklah
standar tingkah laku yang diperbolehkan dengan jelas.
§ Tegaskan
konsekuensi positif (penguatan) untuk menjumpai standar tingkah laku, dan
gunakan hukuman hanya jika reinforcement (pengutan) tidak efektif.
Analisis perilaku terapan
Selain mmabantu guru menciptakan
lingkungan belajar yang produktif, prinsip-prinsip perilaku juga dapat membantu
guru ketika guru berhadapan dengan seorang siswa yang menderita gangguan yang
kronis.
Proses yang disebut dengan analisis perilkau
terapan adalah seseorang secara
sistematik menerapkan prisip-prinsip perilaku dalam upaya mengubah perilaku
individu (Baldwin & Baldwin 1998) (proses ini juga disebut sebagai
modifikasi perilaku akan tetapi istilah ini mempunyai konotasi negatif untuk
beberapa orang sehingga banyak para ahli yang lebih menggunakan istilah
analisis perilaku terapan. Analisis perilaku terapan telah berhasil
memungkinkan orang untuk meningkatkan kemampuan fisik, mengatasi gangguan ketakutan dan gangguan panik,
mempelajari kemampuan sosial, dan berhenti merokok (Gold & Clum 1995; Green
& Reed, 1996). Analisis perilaku terapan ini banyak digunakan kepada siswa
luar biasa.
Analisis perilaku terapan adalah penerapan
prinsip-prinsip dasar dari operan kondisioning, beberapa tingkah lau yang tidak
mendapakan penguatan dan hukuman akan menurun intensitas kemunculannya dan
tingkah laku yang diperkuat akan mengalami kenaiakan. Menerapkan
prinsip-prinsip ini khususnya akan melibatkan beberapa langkah dibawah ini:
§ Mengenali
target tingkahlaku
§ Bentuk
garis besar untuk tingkah laku target
§ Pilih
penguatan (reinforcement) dan hukuman
(punidhment) (jika perlu)
§ Ukur
perubahan tingkah laku
§ Secara
bertahap kurangi frekuensi penguatan sebagai tingkatan dari perilaku.
II.
TOERI
KOGNITIF SOSIAL (SOCIAL COGNITIVE THEORY)
Teori behaviorisme fokus terhadap perubahan perilaku
yang secara langsung. Penelitian yang melihat bagaimana orang belajar dari
mengamati orang lain telah dirumuskan oleh Albert Bandura (1925). Teori sosial
kognitif yang memeriksa proses yang melibatkan pengamatan terhadap orang lain
dan secara umum dapat mengngontrol
perilakunya (Bandura, 1986,1997)
1.
Pandangan
terhadap belajar.
Ketika para behavioristik melihat perilaku sebagai
sesuatu yang dapat diamati, teori kognitif sosial memandang belajar sebagai
perubahan struktur mental yang menciptakan kemampuan untuk
menunjukkan perilaku yang berbeda. Proses internal ini mungkin atau tidak
mungkin mengakibatkan perubahan perilaku dengan segera.
1.1. Interaksi antara perilaku, lingkungan, dan faktor-faktor pribadi
Behaviorisme menunjukkan "satu cara" dalam hubungan antara lingkungan dan
perilaku yaitu, lingkungan yang langsung menyebabkan perilaku. Penejelasan Teori kognitif sosial lebih kompleks, menyatakan bahwa perilaku, lingkungan, dan faktor-faktor pribadi, seperti keyakinan
dan harapan, keseluruhannya itu mempengaruhi
satu sama lain. Misalnya, skor Tim dalam kuis aljabar (faktor lingkungan) dipengaruhi keyakinannya (faktor pribadi) tentang
kemampuannya pada tes aljabar. Keyakinannya,
memengaruhi perilaku (dia mengadaptasi kebiasaannya dalam belajar), dan
perilakunya mempengaruhi lingkungan
(dia pergi ke rumah Susan untuk belajar) teori kognitif sosial menyebut ini sebagai
pengaruh timbal balik atau penyebab timbal balik.
1.2. Interpretasi penguatan (rinforcemenet) dan hukuman (punishment)
Tokoh dan teori kognitif sosial
setuju bahwa penguatan dan hukuman adalah konsep yang penting, tetapi mereka menginterprestasi
pengaruh dari konsep-konsep ini berbeda. Seperti telah dibahas di atas, pandangan
tokoh behavioristik terhadap penguatan (reinforcers)
dan hukuman (reinforcement) sebagai
penyebab langsung dari perilaku. Sedangkan dalam teori kognitif sosial,
penguatan (reinforcement) dan hukuman
(punishment) menyebabkan harapan sebagai
gantinya. Misalnya, jika Anda belajar keras dan melakukan ujian dengan baik,
Anda mengharapkan untuk melakukannya dengan baik pada tes kedua dengan belajar
dengan cara yang sama. Ketika Anda melihat seseorang yang diperkuat atau
dihukum karena perilaku tertentu, Anda mengharapkan akan diperkuat atau dihukum
untuk perilaku serupa. Seperti kepercayaan harapan adalah proses dari mental.
Fakta bahwa harapan seseorang dapat
menunjukan bahwa mereka menyadari perilaku mana yang akan diperkuat. Hal ini
penting karena, menurut teori kognitif sosial, penguataan dapat merubah perilaku
hanya ketika peserta didik tahu perilaku apa yang sedang diperkuat (Bandura,
1986). Tim percaya bahwa perubahan kebiasaan belajarnya adalah penyebab Skor nya
yang meningkat, sehingga ia mempertahankan kebiasaan nya dalam belajar. Jika dia
percaya bahwa strategi lain lebih efektif, ia akan menggunakan strategi itu. Tim
tidak hanya menaggapi penguatan yang diberikan, selain itu ia aktif menilai
efektivitas srtategi yang akan dilakukannya.
Pentingnya kognisi siswa memiliki
dua implikasi untuk guru. Pertama, guru harus menjelaskan tingkah laku apa yang
akan diperkuat, sehingga siswa dapat menyesuaikan perilaku mereka dengan
sesuai. Kedua, mereka harus memberikan umpan balik sehingga peserta didik tahu perilaku
apa yang telah diperkuat. Sebagai contoh, jika seorang siswa mendapat
penghargaan penuh pada nilai esainya, tetapi siswa tidak tahu kenapa ia
mendapatkan penghargaan tersebut, mukin saja di lain waktu dia tidak akan tahu
bagai mana merespon yang benar di waktu berikutnya.
1.3. Tidak terjadinya konsekuensi yang
diharapkan
Teori kognitif sosial juga membantu
menjelaskan perilaku ketika harapan tidak ditemukan. Misalnya, instruktur Anda
memberi Anda tugas, Anda bekerja keras pada tugas tersebut, tetapi Beliau tidak
meminta utuk mengumpulkan tugas tersebut. Tidak terjadinya penguatan yang
diharapkan: (niali/penghargaan untuk tugas) dapat bertindak sebagai hukuman,
Anda mungkin akan kurang bekerja keras
untuk tugas berikutnya.
Sama seperti tidak terjadinya penguatan yang diharapkan dapat bertindak
sebagai hukuman, tidak terjadinya hukuman yang diharapkan dapat bertindak
sebagai penguatan (Bandura, 1986).
2.
Modeling
Modeling,
kecenderungan individu untuk meniru tingkah
laku yang mereka amati dari orang lain, adalah konsep utama dari teori kognitif
sosial. Misalnya Tim, mengemati bahwa Susan telah berhasil dalam persiapan
belajar untuk menghadapi ujian. Kemudain Tim meniru tingkah laku Susan; imitasi
perilaku langsung adalah salah satu bentuk modeling. Istilah modeling kadang-kadang keliru digunakan dalam
istilah imitasi. Misalnya, seseorang mungkin berkata, "Tim mencontoh (modeled) kebiasaan belajar susan "
Ini adalah istilah yang salah. Model atau modeling adalah perilakunya dan
pengamat perilaku sedangkan imitasi atau meniru (imitate) adalah perilaku orang yang diamati (Pintrich & Schunk,
2002).
Kepentingan dari modeling dari kehidupan sehari-hari
kita merupakan hal yang sulit untuk melebih-lebihkan. Modeling membantu
menjelaskan pengaruh yang kuat pada budaya belajar siswa.
2.1. Modeling kognitif (cognitive modeling)
Aplikasi modeling yang menekanankan
instruksi disebut pemodelan kognitif, yang melibatkan model yang
ditampilkan(didemonstrasikan), bersama dengan gambaran verbal pada pikiran dan
tindakan model (Pintrich & Schunk,
2002).
Medeling kognitif memungkinkan peserta didik untuk memperoleh manfaat dari
pemikiran dari para ahli.
3.
Vicarious
learning
Meskipun hanya mengamati tindakan dari orang lain yang
dapat mempengaruhi subjek belajar, seseorang juga belajar mengamati konsekuensi
dari perilaku orang yang diamati. Vicarious
learning terjadi ketika orang mengamati konsekuensi dari
perilaku orang lain mereka akan menyesuaikan perilkau mereka dengan perilaku
yang sesuai (Schunk, 2000). Contohnya dalam kasus Tim, Tim melihat bagaimana
susan telah bekerja dengan baik dalam kuis aljabar, sehingga tim mendapatkan penguatan atas
konsekuensi yang telah susan lakukan dalam kuis.Tim mengaharapkan diperkuat
untuk mengimitasi perilaku susan. Modeling dan vicarious learning bekerja bersamaan untuk
mempengaruhi perilaku dalam beberapa cara.
4.
Efek
modeling terhadap perilaku
Modeling dapat mempengaruhi perilaku setidaknya dengan
empat cara yaitu: belajar perilaku yang baru; memfasilitasi perilaku yang ada
(yang akan dimunculkan); Mengubah inhibisi; membangkitkan emosi;
4.1. Belajar Perilaku yang
baru
Dengan mencoba untuk meniru perilaku, mereka mengamati
orang lain, orang dapat memperoleh kemampuan, mereka tidak dapat menunjukan
perilaku mereka sebelum mereka mengamati model. Ketika siswa mengamati guru yang
menunjukkan bagaimana untuk memecahkan persamaan aljabar untuk pertama kalinya,
dengan berbagai cara seperti membuat potongan yang tepat dengan kayu, membuat
perumpamaaan untuk memecahkan persoalan aljabar menggunakan manik-manik, atau mendemostrasikan
kemampuan berkomunikasi, guru berusaha untuk memanfaatkan aspek penting modeling.
4.2. Menfasilitasi perilaku yang ada
Anda menghadiri konser, dan pada akhir acara, seseorang berdiri dan mulai
bertepuk tangan. Dalam hal lain, setelah aga ragu-ragu, Anda bergabung untuk bertepuk
tangan. Jelas, orang-orang sudah tahu cara berdiri dan bertepuk tangan. Orang
"memfasilitasi" perilaku Anda dan penonton konser yang lain melalui modeling.
4.3. Merubah inhibisi
Inhibisi (keinginan yang tertahan)
adalah pemaksaan diri pembatasan pada perilaku seseorang dan modeling dapat
memperkuat atau melemahkan inhibisi. Tidak seperti fasilitas perilaku yang ada,
modeling merubah inhibisi melibatkan perilaku sosial yang tidak dapat diterima,
seperti melanggar peraturan ruang kelas (Pintrich & Schunk, 2002).
Sebagai contoh siswa lebih kecil kemungkinannya untuk melanggar aturan
kelas jika salah satu dari teman mereka ditegur ketika melanggar peraturan
kelas. Inhibisi mereka untuk melangga peraturan diperkuat.
4.4. Membangkitkan emosi
Akhirnya, reaksi emosional seseorang
dapat diubah dengan mengamati sebuah tampilan emosi model yang diamati. Sebagai
contoh, pengamatan kegelisahan seorang penyelam di tempat terjun yang tinggi
dapat menyebabkan pengamat untuk menjadi lebih takut. Apabila kita melihat
sepasang kekasih yang bertengkar dalam sebuah pesta, kita mungkin menemukan
diri kita merasa canggung dan malu. Perhatikan disini bahwa emosi yang
dimodelkan belum tentu orang-orang yang sama akan terstimulasi. Kemarahan yang
dicontohkan tidak menstimulasi kita untuk marah, tetapi emosi kita lebih
cenderung pada rasa malu atau ketidaknyamanan.
Dari contoh di atas kita dapat melihat modeling dapat menghasilkan
perilaku, kognisi, dan bahkan hasil afeksi (terkait emosi). Hasil perilaku
terjadi ketika perilaku dipelajari atau difasilitasi, hasil kognisi terjadi
akibat dari pengamatan konsekuensi perilaku orang lain, dan hasil afeksi adalah
akibat dari modeling emosi.
5. Teknologi Dan Belajar: Dampak
Simbolis modeling Perilaku
Kita cenderung melupakan bawa komputer
bukanlah satu-satunya tehnologi yang dapat mempengaruhi belajar. Televisi dan
bentuk-bentuk lain dari video secara signifikan merupakan studi dari teori
kognitif sosial karena dampak simbolis modeling perilaku dan hampir universal dipaparkan
di televisi.
Ratusan studi yang dilakukan selama hampir empat dekade terakhir telah
menghasilkan sejumlah penemuan-penemuan yang menghawatirkan tentang efek
menonton televisi (Berk, 2001). Sebagai contoh, menonton televisi berlebihan
adalah berhubungan dengan masalah penyesuaian, termasuk kesulitan dengan
hubungan keluarga dan rekan (Liebert, 1986). Pengaruh ini sering dirasakan anak-anak yang memiliki
ukuran kecerdasan yang rendah dan orang-orang yang datang dari keluarga
berpenghasilan rendah, yang cenderung untuk menonton televisi lebih sering
dibandingkan berinteraksi dan mengambil keuntungan dari teman-temanya (Huton,
Watkins dan Kunkel, 1989).
5.1. Modeling simbolik dan menonton
televisi
Ribuan studi
harus benar-benar secara konsisten menegaskan bahwa model simbolik mempengaruhi
perilaku. Penelitian ini dimulai dengan penelitian klasik bandura di tahun
1960-an menunjukan bahwa anak-anak yang menonton model agresif dalam film atau perilaku
agresif yang digambarkan sebagai karakter kartun, akan berperilaku lebih
agresif ketika bermain dengan teman-temannya daripada mereka yang tidak melihat
model apa pun (Bandura, Ross, & Ross, 1963).
Sejak
itu penelitian lebih hati-hati dalam mengontrol faktor-faktor yang mungkin
mempengaruhi seperti kecerdasan, status sosial ekonomi, penerimaan
sekolah, dan pola asuh orang tua, secara konsisten telah menunjukan bahwa kekerasan
dalam televisi telah meningkatkan semangat tingkah laku bermusuhan pada
anak-anak muda (Donnerstein, Slaby,
& Eron, 1994) hal ini telah menggambarkan seperti khursus agresif secara
luas dan bebas (Slaby, Roedeil, Arezzo, & Hendrix, 1995, mukasurat 163).
Dan hal ini cenderung “mengeraskan” anak-anak untuk menjadi agresif, membuat
mereka lebih mentoleransikan perilaku agresif kepada anak-anak lain (Drabman
& Thomas. 1976).
Kekerasan televisi juga memiliki efek gairah emosional. Pada pemirsa televisi
yang berat dan banyak menonton kekersan dalam TV akan cenderung melihat dunia
sebagai tempat yang menakutkan dimana agresi dan kekerasan tersebar luas dan
permusuhan adalah cara yang diterima untuk mengatasi masalah (Donnerstein et
al., 1994). Dan penelitian terakhir menunjukkan bahwa televisi cenderung memperkuat
stereotip.
6. Proses yang melibatkan belajar dari
modeling
Modeling dapat mengakibatkan
belajar, memfasilitasi perilaku, merubah inhibisi, dan menimbulkan emosi. Adapun Ada empat macam proses yang dapat
terlibat dalam belajar dari modeling yaitu perhatian (attention), ingatan (retention),
reproduksi (reproduction), dan
motivasi (motivation) (Bandura,
1986).
·
Perhatian (attention) : Perhatian pelajar diambil sebagi aspek penting yang
ditunjukan oleh tingkah laku yang dicontohkan atau dimodelkan.
·
Ingatan (retention): tingkah
laku modeling ditransfer kepada memori dengan mental verbal atau visual yang
menggambatkan tingkah laku modeling
·
Reproduksi(reproduction): Peserta didik mereproduksi perilaku yang telah
disimpan dalam memori.
·
Motivasi (motivation): peserta didik termotivasi oleh harapan terhadap penguatan
untuk mereproduksi perilaku modeling.
Beberapa aspek dari proses ini merupakan hal yang penting untuk guru. Untuk
belajar dari seorang model (yang diamati) perhatian pengamat harus digambarkan
pada aspek penting pada tingkah laku yang dimodelkan (Bandura, 1986)
7. Efektivitas modeling
Ketika membicarakan “kefektivan”
sebuah model perilaku, tergambarkan kemungkinan bahwa seorang pengamat akan
menimitasi model perilaku. Seorang pengamat akan lebih mengimitasi model
perilaku yang efektif dibandingkan model perilaku yang tidak efektif. Efektivitas
perilkau modeling bergantung pada tiga factor:
§
Rasa kesamaan
§
Rasa kompeten
§
Status rasa.
Ketika kita mengamati tingkah laku
dari yang diamati kita akan lebih mengimitasi perilakunya merasakan perilaku
yang diamati sama seperti kita (Shunk,1987). Beberapa model akan lebih efektif
dibandingkan satu model, karena kemungkinan menemukan perilaku yang diamati
dengan perasaan yang sama dapat meningkatakan jumlah yang sama seperti
meningkatnya perilaku model.
Persepsi dari kompetensi model,
adalah factor kedua yang meningkatkan efektivitas model, berinteraksi dengan
kesamaan persepsi. Orang akan lebih
mungkin untuk mengimitasi model yang dianggap kompeten dibanding model yang
tidak kompeten, yang terlepas dari kesamaan.
Factor ketiga adalah status, status diperoleh
ketika individu membedakan diri dari orang lain di bidang mereka. Orang akan
cenderung untuk meniru individu dengan status yang tinggi seperti atlet
propesional, bintang rock popular, dan para pemimpin dunia.
Seorang guru pun merupakan model yang berpengaruh meskipun perhatian
diungkap oleh pembaharu pendidikan dan guru sendiri.
8. Regulasi diri
Kita telah melihat bagaimana kepercayaan dan harapan seseorang mempengaruhi
perilaku da lingkungan. Hal ini dicapai melalui regulasi diri, yaitu proses
penerimaan tanggung jawab dan kontrol untuk belajar sendiri. Regulasi diri
peserta didik menggunakan pikiran dan tindakan sendiri untuk mencapai tujuan
belajar akademik. Mereka mengenali tujuan, mengambil dan mempertahankan
strategi untuk mencapai tujuan ini.
Modifikasi perilaku kognitif
Tren dalam
pendidikan telah meningkatkan tanggung jawab peserta didik dalam proses belajar
(Stipek, 1996; Zimmerman & Schunk,1989) dan sejumlah program telah
dikembangkan untuk mengajarkan regulasi diri. Program ini biasanya
dikombinasikan dengan strategi manejemen diri kognitif dengan menargetkan
tingkah laku spesifik (Alberto dan Troumant,1999). Salah satu nya seperti
modifikasi perilaku kognitif, yang telah didefinisikan sebagai modifikasi
perilaku secara terang terangan melalui manipulasi pikiran secara tersembunyi
(Hallahan & Sapona, 1983) hal ini termasuk aspek-aspek behaviorisme yang
mengasumsikan bahwa prinsi dasar penguatan adalah pelaksanaan, tetapi
perbedaannya dengan behaviorisme adalah dalam hal ini menegaskan oprasi kognisi
seseorang untuk mendapatkan perubahan dalam perilaku (Stipek, 1996).
Modifikasi
perilaku kognitif mengharuskan siswa bertanggung jawab lebih untuk perilaku
belajar mereka sendiri dengan melakukan hal dibawah ini:
§
Pengaturan tujuan (goal setting)
§
Pengamatan diri (self-observation)
§
Penilaian diri (self-assessment)
§
Penguatan diri (self-reinforcement)
9. Teori kognitif sosial di ruang kelas
Teori
kognitif sosial mempunyai cakupan yang luas dalam penerapan nya baik dalam
ruang kelas kususnya dan di kehidupan sehari-hari umumnya.
Dalam ruang
kelas prinsip-prinsip di bawah ini dapat membantu guru menggunakan penerapan
teori kognitif sosial di kelas :
§
Bertingkah laku seperti tingkah laku
yang diinginkan untuk siswa tiru
§
Buatlah aturan dan prosedur di kelas
dengan tulus dan konsisten.
§
Garis bawahi pengaruh modeling dan
proses memajukan belajar.
§
Jadikan siswa beada pada peran
modeling
§
Garis bawahi tamu sebagai peran
model ketika memungkinkan.
10. Menempatkan teori kognitif sosial ke
dalam perspektif
Seperti gambaran belajar dan tingkah
laku, teori kognitif sosial memiliki kelebihan dan kekurangan. Sperti contoh
telah ditekankan bahwa pentingnya modeling sebagai alat untuk memajukan belajar
dan perubahan tingkah laku. Dan teori kogntif sosial membantu mengatasi beberpa
batasn behaviorisme dengan membantu memahami pentingnya kognisi seseorang dalam
bentuk kepercayaan dan harapan pada tindakan mereka.
Bagaimanapun seperti teori-teori
lain teori kognitif sosial memiliki beberapa batasan yaitu:
§ Teori ini
tidak dapat menjelaskan kenapa seseorang cenderung mengikuti dan mengimitasi
beberapa tingkah laku yang dimodelkan dan tidak mengikuti atau mengikuti yang
lain.
§ Teori ini
tidak memberikan alasan untuk belajar tugas yang kompleks, seperti belajar
menulis
§ Teori ini
tidak menjelaskan peran keadaan dan interaksi sosial dalam lingkungan belajar
yang kompleks.
Kita menindentifikasi batasan ini
bahwa setiap teori belajar tidak lengkap dan saling melengkapi satu sama lain,
mampu menjelaskan beberpa aspek dan tidak menjelaskan aspek lainnya. Hal ini
menunjukan kenapa seorang guru harus memahami perbedaan pandangan belajar
beserta kelebihan dan kekurangannya.
III.
PERBEDAAN
PANDANGAN TEORI BEHAVIORISME DAN TEORI KOGNITIF SOSIAL TERHADAP BELAJAR
Teori behaviorisme focus pada perilaku yang dapat
diamati (hal ini bertolak belakang dengan berfikir atau proses lain yang
terdapat pada kepala peserta didik atau subjek belajar) dan istilah dalam
kognitif berimplikasi pada memory, berpikir, dan pengetahuan.
Seperti telah kita tulis sebelumnya bahwa teori
kognitif sosial berakar atau berawal dari teori behaviorisme. Contohnya banyak
penulis buku tentang teori kognitif sosial memasukan aspek teori kognitif
sosial yang focus dalam bukunya membahas
prinsip tingkahlaku (behavioral
principle) (Baldwin & Baldwin, 1998) dan beberapa orang masih
menggunakan istilah obselvasioanal learning atau teori sosial learning untuk
mengistilahkan teori kognitif sosial.
Adapun yang membedakan teori kognitif sosial denagn
teori behaviorisme setidak-tidaknya ada tiga hal yaitu:
a. Cara
belajar yang dilihat
b. Cara
interaksi antara tingkahlaku lingkungan dan factor-faktor pribadi digambarkan.
c. Dan
cara penguatan (reinforcement) dan
hukuman (punishment) di
interprestasikan
Ketika guru memperalkukan siswa dengan sopan dan
hormat, siswa dapat mengasosiasikan lingkungan ruang kelas dengan cara peduli
guru mereka melalui kondisioning klasik, belajar merespon sekolah dengan emosi
positif. Guru juga dapat meningkatkan rasa kompetensi siswa dengan upaya
modeling, ketekunan dan penguatan
pencapaian tujuan yang tulus.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ada
tiga pandangan dalam behaviorisme dalam membahas belajar yaitu contiguitas
conditioning, classical conditioning, dan operant conditioning.
Adapun kontigutas memandang belajar merupakan hasil
dari asosiasi stimulus dan respon yang dekat. Kondisioning klasik memandang
belajar sebagai adanya stimulus yang tidak tidak terkondisi yang menghasilkan
respon terkondisi. Kemudian apabila stimulus tidak terkondisi terus menerus
dimunculkan dan menjadi stimulus maka akan menghasilkan respon yang terkondisi.
Kodisionig operan menkankan pada konsekuensi perilaku yang merupakan respon
terhadap stimulus.
Teori behaviorisme tidak memikirkan tentang istilah
memory, berpikir, dan pengetahuan, yang di bahas oleh teori kognitif sosial.
Teori konitif sosial menekankan pada proses dan factor-faktor pribadi
seseorang. Yang dapat berupa kepercayaan dan harapan dari dalam diri seseorang.
DAFTAR PUSTAKA
Feist,
Jess dan Gregory J Feist.Teori Kepribadian. Salemba Humanika.Jakarta:2010
Matlin,
w. Margareth. 1992. psychology.
Harcourt Brace Jovanovich colledge
publisher. United
Tidak ada komentar:
Posting Komentar