Kamis, 17 September 2015

Pandangan Behaviorisme dan Kognitif Sosial Terhadap Belajar



BAB I
PENDAHULUAN
I.                   LATAR BELAKANG MASALAH
Belajar adalah inti dari pembelajaran psiklogi pendidikan. Salah satu teori psikologi yang membahas tentang belajar dalah para behavioris, walupun begitu terdapat perdebatan dalam penerpan teori behaviorisme di kelas(Reynolds, Sinatra, & Jetton, 1996).
Karena bagaimanapun teori-teori behaviorisme ini tidak mempertimbangkan kepercayaan dan ekspetasi, yang kemudian lebih dibahas dalam teori sosial kognitif (cognitive social) yang memperluas teori dari behaviorisme dan kemudian melibatkan kognisi seseorang dalam bertingkah laku. Dengan kata lain bisa dikatakan bahwa teori kognitif sosial masih berakar dari teori behaviorisme.
Kedua teori ini membahas tentang belajar dan perubahan tingkah laku seseorang. Seorang guru diharap dapat mempelajri teori-teori tentang belajar dalam pandangannya terhadap belajar. Karena setiap teori yang ada mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Terlebih apabila teori ini digunakan untuk strategi belajar mengajar di kelas.
Dalam makalah ini akan membahas bagaimana teori behaviorisme dan kognitif sosial dapat di terapkan dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Dan dalam upaya untuk meningkatkan belajar siswa di kelas, dengan konsekuensi perilaku siswa yang berupa penguatan dan hukuman yang akan diberikan pda tingkah lakunya.
II.                RUMUSAN MASALAH
1.       Bagaimana pandangan behaviorisme terhadap belajar?
2.      Bagaimana pandangan teori kognitif sosial tentang belajar?
3.      Bagaimana teori behaviorisme dan kognitif sosial dapat di aplikasikan di ruang kelas?
III.             TUJUAN PENULISAN
1.      Untuk mengetahui pandangan behaviorisme terhadap belajar
2.      Untuk mengetahuan teori sosial kognitif tentang belajar
3.      Untuk Mengetahui teori behaviorisme dan kognitif sosial dapat diaplikasikan di ruangn kelas
BAB II
PEMBAHASAN
I.                   PANDANGAN BEHAVIORISME TENTANG BELAJAR
Ada tiga pandangan dalam behaviorisme dalam membahas belajar yaitu contiguitas conditioning, classical conditioning yang dirumuskan oleh Pavlov dalam penelitiannya mengenai air liur anjing,  dan operant conditioning yang dirumuskan oleh B.F. Skinner dari penelitiannya mengenai burung beo.
1.      CONTIGUITAS CONDITIONING
Pasangan stimulus dan respon sederhana, sehingga jika mereka terjadi bersama sama cukup sering, akan mengalami satu hasil yang lain (Catania, 1998; Guthrie, 1952). Stimulus merupakan semua yang berhubungan dengan penglihatan, suara, penciuman, dan hal-hal yang indra terima dari lingkungan.
Istilah teori belajar contiguous conditioning dibagi menjadi dua buah kata yaitu contiguous dan conditioning. Contiguous yaitu asosiasi dekat, dan conditioning yaitu kebiasaan atau yang dikondisikan. Jadi pengertian teori belajar contiguous conditioning adalah teori belajar yang mengasumsikan bahwa terjadinya peristiwa belajar itu berdasarkan kedekatan hubungan antara stimulus dengan respon yang relevan.
Jadi berkembangnya prilaku anak atau siswa dalam proses belajar mengajar menurut teori ini, bukan karena adanya stimulus dan respon akan tetapi karena dekatnya hubungan antara stimulus dengan respon sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya.
Teori belajar contiguous conditioning ini lebih sering dikenal dengan teori belajar istimewa dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya, dalam arti teori ini dekategorikan dengan teori yang sederhana dan efisien, karena dalam teori ini terdapat satu prinsip yaitu contiguitas (contiguity) yaitu kedekatan asosiasi antara stimulus dengan respon. Atau dengan kata lain teori belajar contiguous conditioning ini mengaplikasikan tentang pentingnya mengkondisikan kedekatan antara stimulus dan respon, beda dengan teori-teori yang mengkondisikan bahwa terjadinya peristiwa belajar mengajar itu berdasarkan adanya stimulus sehingga mengakibatkan timbulnya respon. Kontigitas merupakan komponen dasar dari klasikal kondisioning
2.      CLASSICAL CONDITIONING
Classical conditioning atau kondisioning klasikal digambarkan pertama kali oleh Ivan Pavlov, seorang psikolog rusia yang mendapatkan penghargaan nobel pada tahun 1904 untuk penelitiannya dalam sistem pencernaan. Sebagai bagian dari penelitiannya ia dan assistant nya menempatkan bubuk daging  di mulut anjing, seketika anjing itu produksi air liur. Pavlov mengamati bahwa hanya dengan melihat asisten lab nya membawa makanan menyebabkan peningkatan produksi air liur. Yang lebih menarik lagi, produksi air liur meningkat hanya dengan melihat asisten lab (pembawa makanan). Bahkan suara langkah kaki asisten lab (pembawa makanan anjing) telah meningkatkan produksi air liur meskipun pembawa makanan tidak membawa makanan. Fenomena mengagetkan ini yang menjadi dasar dari teciptanya teori kondisioning klasik.
Untuk memehami bagai mana kerja kondisioning klasik, pertama harus mengeti terlebih dahulu empat konsep.  Yaitu (Baldwin & Baldwin, 1998)
§  Stimulus tidak terkondisi (an unconditioned stimulus UCS)
§  Respon tidak terkondisi (an unconditioned response UCR)
§  Stimulus terkondisi (an conditioned stimulus CS)
§  Respon terkondisi (an conditioned response CR)
Membuat sebuah asosiasi adalah kunci untuk pembelajaran kondisioning klasik. Ajing Pavlov terbiasa untuk belajar mengeluarkan air liur pada saat melihat asisten lab karena anjing mengasosiasikan asisten lab dengan bubuk daging. Air liur anjing dalam respon kepada daging tidak dipelajari, sedang respon kepada asisten lab, merupakan respon dipelajari. Seseorang yang menjadi subjek belajar selalu membuat asosiasi ketika datangnya stimulus tidak terkondisi dan stimulus terkondisi mempunyai hubungan kontiguitas, yaitu ketika terjadi secara bersamaan.
2.1. Kondisioning klasik di ruang kelas
Contoh:
-          Tim gagal dalam kuis aljabar, ia sangat hancur dan cemas. Dia cemas kembali saat ia akan menghadapi tes berikutnya
-          Andaikata Diana sedang di atas danau dalam sebuah perahu, Kemudian Diana terjatuh keluar kapal. Pada lain waktu saat Diana dekat dengan kolam yang luas, Diana merasakan rasa takut yang sama seperti saat Diana mendapat kecelakaan yang sama saat di dalam kapal.
-          Sharon van horn adalah guru dari Damon, Sharon selalu menyapa dan memberi salam kepada Damon dengan ramah, perilaku yang sopan setiap hari ketika damon datang ke ruangan Sharon dan salam yang diberikan Sharon gurunya membuatnya merasa nyaman. Kemudian pengalaman Damon adalah rasa nyaman ketika memasuki ruangan Mrs. Van Horns. Walaupun saat gurunya tidak ada disana.
Secara tidak sengaja kita berpikir bahwa belajar sebagai akibat atau keterlibatan dari pengetahuan atau kemampuan.  Klasikal kondisioning membantu menjelaskan bagaimana emosi dapat dipelajari seperti pada contoh diatas Tim telah belajar untuk menjadi saat kuis aljabar, Diana telah belajar untuk takut air, dan Damon telah belajar untuk merasa nyaman ketika dia datang ke ruangan Mrs. Van Horn. Dalam setiap kasus, respon terkondisi tanpa sengaja yaitu, Tim, Diana dan Damon tidak dapat mengontrol emosi  yang telah dipelajari (Baldwin & Baldwin, 19988).
2.2. Generalization dan Discrimination (generalisasi dan diskriminasi)
Klasikal kondisioning melibatkan hubungan prediksi belajar. Pembelajaran kita akan terbatas memang jika kita tidak pernah menggeneralisasi di luar stimulus terkondisi yang sama persis yang pada awalnya disajikan. sebagai gantinya, generalisasi memungkinkan kita untuk memprediksi apa yang mungkin terjadi dalam situasi baru. Seperti pada contoh kasus Tim di atas, ketika Tim merasakan gugup pada tes algebra karena kegagalannya ia akan merasa gugup untuk tes algebra yang kedua, Tim akan mulai merasa gugup atau gelisah ketika ia menggambil tes kimia, meskipun Tim mengerjakan tes kimia dengan baik. Ketakuatan Tim telah menggeneralisasi kepada tes kimia. Generalisasi terjadi ketika stimulus yang mirip tetapi tidak sama persis dihadapkan pada stimulus terkondisi akan mendatangkanrespon terkondisi. Tes kimia Tim merupakan stimulus yang mirip kepada kuis aljabar nya, dan keduanya mendatangkan respon terkondisi, yaitu “gugup” dengan sendirinya.
Proses generalisasi pun dapat bekerja dalam cara yang positif. Contohnya saat seorang murid mengasosiasikansebuah ruang kelas dengan kepedulian dan keramahan gurunya, melalui generalisasi, dia akan mempunyai reaksi yang sama pada kelas yang lainnya atau klub aktifitas dan ruangan lain disekolah.
Lawan dari deneralisasi adalah diskriminasi yaitu kemampuan memberikan respon berbeda untuk berhubungan tetapi bukan pada stimulus yang sama. Sebagai contoh Tim gelisah pada tes kimia tetapi tidak gelisah dalam Sejarah dan bahasa inggris, ia mendiskriminasikan bahasa inggris dari algebra sebaik ia mendiskriminasi sejarah dari algebra.
2.3. Extinction
Extinction atau kepunahan, terjadi ketika stimulus terkondisi terjadi berulangkali dalam ketidakadaan stimulus tidak terkondisi, dan tidak lagi mendatangkan respon tidak terkondisi (Baldwin & Baldwin, 1998). Seperti dalam contoh kasus di atas ketika tim merasakan gugup, kemudaian Tim mencoba belajar lebih giat dan merubah kebiasaan belajarnya bersama susan, Tim merasa berkurang kegelisahannya ketika akan menghadapi kuis. Dan lebih lanjut lagi apabila Tim sukses dalam  kuis, maka rasa gelisah tim akan hilang. Dan respon terkondisi akan menadi hilang. Dalam kasus Tim mengambil kuis kembali (stimulus terkondisi) tanpa kegagalan (stimulus tidak terkondisi) akhirnya akan mengakibatkan dia tidak lagi merasa gugup.
3.      OPERANT CONDITIONING
Kondisioning klasik tidak menjelaskan bagaimana konsekwensi setelah respon terjadi dapat mepengaruhi perilaku seseorang. Kondisioning operant menjelaskan tentang belajar yang dihasilkan respon karena ia akan menghasilkan efek reward (balasan) atau konsekwensi setelah respon terjadi. Dalam pengkondisian operant, hubungan yang penting adalah hubungan antara respon dan apapun yang terjadi sesudahnya (Rescorla,1987).
Teori ini merupakan perumusan dari B.F Skinner (1904-1990) yaitu seorang psikolog behaviorisme yang sangat berpengaruh, kepala department psikologi pada sekitar tahun 1960 mengindentifikasikanya sebagai psikolog paling berpengaruh pada abad ke 20 (Myers, 1970). Skinner menyatakan bahwa tingkahlaku seseorang lebih terkendali dengan konsekwensi perilaku dibandingkan sebagai perilaku terprediksi. Sebuah konsekwensi merupakan sebuah hasil (stimulus) yang terjadi setelah tingkah laku dan pengaruh tingkah laku yang akan datang.
Sebagai contoh seorang guru memuji murid nya setelah sang murid menjawab pertanyaan, pujian gurunya merupakan konsekwensi. Atau hasil tes dan tingkatan niali dikelas merupakan konsekwensi dari ujian.
Kondisioning operan merupakan bentuk dari belajar yang merupakan respon yang tampak berubah dalam frekunsi dan durasi sebagai hasil dari konsekwensi. 
3.1. Reinforcement
Reinforcement adalah sebuah proses dalam pengaplikasian penguat untukmeningkatkan tingkah laku yang terbagi ke dalam dua bagian yaitu; positif dan negatif.
Positive reinforcement adalah proses dalam peningkatan frekuensi atau durasi dari sebuah tingkah laku sebagai hasil dari presentasi penguatan. Dalam sebuah kelas biasanya kita beranggapan bahwa positive reinforcement sebagai sesuatu yang diinginkan dan dihargai. Setiap kenaikan perilaku sebagai hasil dari yang disajikan dengan konsekuensinya yang merupakan penguatan positif. Guru kadang-kadang tidak sengaja memperkuat perilaku dengan teguran mereka. Sebagai contoh, misalkan seorang siswa terlibat dalam beberapa permainan kasar ringan, guru menegur dia, dan kelakuan buruk secara aktual meningkat. Teguran adalah positive reinforcement kareana hal itu telah dipresentasikan kepada murid dan tingkah laku murid pun meningkat. Guru yang memuji murid nya karena ia mendapatkan skor tertinggi merupakan positive reinforcement yang umum.
Guru juga menggunakan positive reinforcement ketika mereka mengambil keuntungan dari prinsip Premack (prinsip yang dirumuskan oleh David Premack pada tahun 1969) Fenomena di mana aktivitas yang lebih diinginkan berfungsi sebagai penguat positif untuk kegiatan yang kurang diinginkan. Contohnya dalam pelajaran geografi seorang guru berkata pada murid-muridnya “setelah kalian menyelesaikan rangkuman pelajaran, kalian akan melanjutkan kepada pekerjaan di peta”. Guru mengetahui bahwa pekerjaan di peta (kesukaan murid) merupakan positive reinforcement atau penguatan positif untuk muridnya akan membuat mereka menyelesaikan rangkuman mereka. Demikian juga perhatian penuh dari murid, pertanyaan dari murid, skor tinggi murid, dan sapaan dari murid atau wali murid merupakan positive reinforcement untuk seorang guru.
Negative reinforcement adalah proses meninggalkan dan menghindarkan stimulus untuk meningkatkan perilaku. Menghilangkan suatu stimulus yang tidak disukai dari suatu situasi dapat meningkatkan kemungkinan bahwa perilaku sebelumnya akan terjadi. Menghilangkan hal tersebut dapat berakibat pada penguatan negatif. (B.F skinner 1953).
Efek dari penguatan negative sama seperti penguatan negatif identik dengan penguatan positif yaitu menguatkan perilaku. Sebagai contoh Damon baru saja menyelesaikankan pekerajaan yang berat dan badan nya mengalami pegal-pegal, lalu ia memutuskan untuk mengambil aspirin dan ibuprofen untuk membantunya tidur dengan keadaan lebih baik. Kemudian di hari selanjutnya Damon menggunakan nya sebelum bekerja untuk menghindarkannya dari pegal-pegal dan rasa sakit.
3.1.1.      Pembentukan (Shaping)
Pembentukan (shaping) adalah satu prosedur ketika peneliti atau lingkungan memberi suatu pengarahan atas perkiraan kasar dari perilaku tersebut, lalu perkiraan yang lebih dekat, dan terakhir, perilaku yang diinginkan tersebut. Melalui proses penguatan perkiraan berkala, peneliti atau lingkungan secara bertahap membentuk suatu kumpulan yang kompleks dan final dari perilaku (Skinner, 1953).
Dalam hal apapun kita dapat memperkuat perkiraan perilaku yang diinginkan melalui proses yang disebut pembentukan (shaping).  Guru, orang tua, dan orang orang yang ingin mendorong tingkah laku tertentu cenderung menggunakan pembentukan (shaping). Pembentukan (shaping) adalah penguatan sistematis perbaikan bertahap dalam perilaku yang diinginkan.
Pembentukan (shaping) dapat digunakan dalam kegitan pembelajaran contohnya ketika siswa yang awalnya berjuang dengan ide-ide yang sulit, seorang guru dapat memperkuat upaya mereka dengan merespon sebagian ide mereka benar.
Contoh lain nya, ketika seorang guru memiliki murid yang sangat pemalu dan enggan berinteraksi dengan teman-teman sebayanya, dan guru mengetahui bahwa memiliki kemampuan sosial atau kemampuan dalam berinteraksi sosial merupakan bagian yang penting dalam perkembangan seluruh muridnya, kemudaian guru mendorong murid nya untuk mencoba lebih ramah dan berencana untuk memperkuat nya (dengan memberikan nya penghargaan) untuk melakukannya. Penguatan memang tidak akan lengsung mengubahnya menjadi seorang yang dapat dengan cepat mengubah tingkahlakunya dan langsung berinteraksi dengan teman-temannya. Lalu utuk membentuk nya dapat berinteraksi dengan teman-teman lainnya, guru memberinya penguatan dengan mengkodisikannya untuk tersenyum kepada teman-temannya sebagai interaksi awal. Kemudian guru menguatkannya dan mengkondisikannya untuk membrikan sapaan atau salam kepada teman-temannya ketika dia pertama kali datang ke kelas di pagi hari. Dan pada akhirnya guru hanya memberikan pengutan kepadanya hanya untuk interaksi yang lebih kompleks dengan temannya.
3.1.2.      Jadwal pengutan (reinforcement schedule).
Jadwal penguatan adalah deskripsi pola frekuensi dan prediksi dari penguatan (Baldwin & Baldwin,1998).
Setiap perilaku yang dilanjutkan secara langsung dengan pemberian penguatan positif atau menghilangkan stimulus yang tidak menyenangkan cenderung untuk lebih sering terjadi setelah itu. Akan tetapi, frekuensi perilaku tersebut, tergantung pada kondisi ketika pelatihan terjadi, atau lebih spesifiknya pada beragam jadwal penguatan (Ferster & Skinner, 1957) Penguatan dapat mengikuti suatu perilaku dalam jadwal yang berkelanjutan atau dalam jadwal yang acak dan tidak teratur.
Dengan jadwal yang berkelanjutan organism diberikan penguatan untuk setiap respon. Jadwal ini meningkatkan frekuensi munculnya respon, namun merupakan penggunaan penguatan yang tidak efesien.  Dan jadwal yang acak cara ini lebih efesien dalam penggunaan penguatan dan juga menghasilkan respon yang lebih resisten terhadap kemusnahan (extinction). Kadang-kadang pola dari penguatan lebih berhungan dengan waktu dari pada dengan banyak nya respon. 
3.1.3.      Kepunahan (extinction)
Setelah dipelajari respon dapat menghilang setidaknya karena empat alasan. Pertama, respon terlupakan seiring berjalannya waktu. Kedua, dan lebih mungkin terjadi, respon dapat menghilang karena adanya gangguan dari pembelajaran sebelum atau sesudahnya. Ketiga, respon dapat menghilang karena adanya hukuman dan ke empat adalah kepunahan (extinction) kecenderungan dari respon yang sebelumnya telah dipelajari untuk secara bertahap mulai melemah setelah tidak adanya penguatan.
3.1.4.      Kejenuhan (Satiation)
Tingkah laku dapat mengalami penurunan ketika penguatan tidak memadai, tetapi juga dapat menurun ketika penguatan yang di berikan terlalu banyak. Contohnya ketika seorang guru terlalu banyak memuji muridnya, pujian itu secara tidak sengaja dapat menghentikan para murid menunjukan tingkahlaku yang diinginkan. Mereka juga lebih diperkuat pada tujuan, untuk menurunkan tingkah laku yang tidak diinginkan.
3.2. Hukuman (Punishment)
Penguatan positif dan negatif merupakan konsekwensi yang dapat meningkatkan tingkah laku. Konsekwensi lain di sebut dengan hukuman (punishment), melemahkan perilaku atau mengurangi frekuensi tingkahlaku. Proses yang menggunakan penghukum untuk mengurangi perilaku disebut hukuman (punishment).
Ada dua macam hukuman yaitu, presentation punishment yang terjadi ketika tingkah laku  peserta didik menurun sebagai akibat dari hukuman yang diberikan oleh penghukum. Sebagai contoh ketika guru menyimpan jari telunjuknya di bibirnya menandakan “Shhh” dan para murid mulai berhenti berbisik-bisik. Para murid mendapatkan peliraku dari gurunya yang berupa tanda “Shh” kemudian tingkah laku mereka “berbisik-bisik” menjadi berkurang.
Dan yang kedua adalah removal punishment terjadi ketika tingkah laku menurun sebagai dari hasil dari penghapusan stimulus atau sebagai hasil dari ketidakmampuan untuk mendapatkan penguatan positif. Sebagia contoh misalkan para siswa di sebuah sekolah adalah siswa  yang nakal kemudian gurunya menugaskan mereka untuk tinggal di sebuah ruangan setelah jam pelajaran selesai, sedangkan pada konsisi normal atau kondisi saat para siswa tidak nakal, maka mereka bebas menggunakan waktu setelah sekolah mereka seperti apa yang ingin mereka inginkan.  Dan pada saat waktu penahanan ini, adalah waktu kebebasan dan kesempatan para murid untuk saling berinteraksi dengan teman sekelas.  Jika presentation punishment dan removal punishment tidak dilakukan secara berlebihan maka hal itu akan berpengaruh pada tehnik menejemen (Skiba & Raison 1990; A. White & Bailey, 1990)
4.      PENGARUH ANTESEDEN PERILAKU
Di atas kita telah membahas pengaruh dari konsekwensi perilaku yaitu penguatan dan hukuman dalam perilaku. Akan tetapi perilaku juga dipengaruhi oleh anteseden, yaitu stimulus yang  diprediksikan tingkah laku. Tingkah laku Anteseden diperkuat pada masa lampau meningkatkan perilaku yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. Dan anteseden tingkah laku yang dihukum pada masa lalu menurunkan tingkah laku yang mungkin terjadi di masa lalu (Baldwin & Baldwin, 1998).
Ada tiga macan anteseden yaitu, kondisi lingkungan; dorongan dan isyarat; dan pengutan di masa lalu (hal ini berhubugan dengan generelasi dan diskriminasi stimulus)
4.1. Kondisi lingkungan
Ketika kita berjalan di ruangan yang gelap, hal yang pertama kita pikirkan adalah kembali pada tempat yang terang. Kegelapan ada pada lingkungan anteseden yang menyebabkan kita kembali pada cahaya, dengan kata lain kita telah diberi penguatan karena kita tahu bahwa kita akan akan dapat melihat di tempatyang terang. Kita telah diberi penguatan untuk kembali pada cahaya pada masa lalu, lalu kita kembali mengulangi perilaku tersebut.
4.2. Dorongan dan isyarat
Dorong dan isyarat adalah stimulus anteseden spesifik yang dimaksudkan untuk menghasilkan tingkah laku yang ingin guru perkuat. Adapun yang dimaksudkan dengan dorongan adalah bantuan yang berupa stimulus dari guru untuk mendapatkan respon yang diinginkan.
Dan isyarat dapat berupa gerakan guru di dalam kelas. Contohnya ketika guru berkeliling di dalam kelas saat jam pelajaran berlangsung, atau menyalakan lampu dan berdiri tepat di depan kelas, ini mengisyaratkan bahwa guru ingin diperhatikan oleh para murid atau murid diharapkan untuk tenang, diam dan tidak berisik.
Seorang guru yang ahli biasanya mengguanakan isyarat verbal dan nonverbal untuk mengembangakan rutinitas yang secara perlahan terjadi di ruang kelas (Cazden, 1986; Doyle 1986).
4.3.Generalisasi dan diskriminasi
Penguatan di masa lalu juga mnyediakan antesenden untuk respon pada stimulus yang mirip terpi tidak sama. Generalisasi adalah memberikan respon yang sama terhadap stimulus yang mirip tetepi tidak identik. Dan diskriminasi adalah memberikan respon yang berbeda kepada stimulus yang mirip tetapi tidak identik.
5.      Menciptakan lingkungan belajar yang produktif
Sebuah lingkungan yang produktif salah satu nya adalah belajr yang tertib dan dan fokus. Kebutuhan untuk lingkungan kelas yaitu aman dan tertib adalah salah satu penemuan yang paling konsisten dalam penelitian pendidikan (Dayle 1986; Emmer et al., 2003; Evertson et al.,2003). Walaupun behaviorisme tidak menyediakan semua jawaban untuk menciptakan lingkunagnn yang tertib, behaviorisme mengkontribusikan prosesnya. Beberapa prinsip di bawah ini dapat memandu guru untuk upaya menciptakan lingkungan produktif:
§  Perilakukan para siswa dengan hormat dan sopan sehingga kelas dan sekolah mu akan mendatangkan emosi positif.
§  Ciptakanlah lingkungan anteseden yang menghasilakan tingkah laku yang diinginkan.
§  Perkuat usaha siswa-siswa dan tingkatkan kompetensi
§  Bentuklah standar tingkah laku yang diperbolehkan dengan jelas.
§  Tegaskan konsekuensi positif (penguatan) untuk menjumpai standar tingkah laku, dan gunakan hukuman hanya jika reinforcement (pengutan) tidak efektif.
Analisis perilaku terapan
            Selain mmabantu guru menciptakan lingkungan belajar yang produktif, prinsip-prinsip perilaku juga dapat membantu guru ketika guru berhadapan dengan seorang siswa yang menderita gangguan yang kronis.
Proses yang disebut dengan analisis perilkau terapan  adalah seseorang secara sistematik menerapkan prisip-prinsip perilaku dalam upaya mengubah perilaku individu (Baldwin & Baldwin 1998) (proses ini juga disebut sebagai modifikasi perilaku akan tetapi istilah ini mempunyai konotasi negatif untuk beberapa orang sehingga banyak para ahli yang lebih menggunakan istilah analisis perilaku terapan. Analisis perilaku terapan telah berhasil memungkinkan orang untuk meningkatkan kemampuan fisik, mengatasi  gangguan ketakutan dan gangguan panik, mempelajari kemampuan sosial, dan berhenti merokok (Gold & Clum 1995; Green & Reed, 1996). Analisis perilaku terapan ini banyak digunakan kepada siswa luar biasa.
Analisis perilaku terapan adalah penerapan prinsip-prinsip dasar dari operan kondisioning, beberapa tingkah lau yang tidak mendapakan penguatan dan hukuman akan menurun intensitas kemunculannya dan tingkah laku yang diperkuat akan mengalami kenaiakan. Menerapkan prinsip-prinsip ini khususnya akan melibatkan beberapa langkah dibawah ini:
§  Mengenali target tingkahlaku
§  Bentuk garis besar untuk tingkah laku target
§  Pilih penguatan (reinforcement) dan hukuman (punidhment) (jika perlu)
§  Ukur perubahan tingkah laku
§  Secara bertahap kurangi frekuensi penguatan sebagai tingkatan dari perilaku.
II.                TOERI KOGNITIF SOSIAL (SOCIAL COGNITIVE THEORY)
Teori behaviorisme fokus terhadap perubahan perilaku yang secara langsung. Penelitian yang melihat bagaimana orang belajar dari mengamati orang lain telah dirumuskan oleh Albert Bandura (1925). Teori sosial kognitif yang memeriksa proses yang melibatkan pengamatan terhadap orang lain dan secara umum dapat mengngontrol  perilakunya (Bandura, 1986,1997)
1.      Pandangan terhadap belajar.
Ketika para behavioristik melihat perilaku sebagai sesuatu yang dapat diamati, teori kognitif sosial memandang belajar sebagai perubahan struktur mental yang menciptakan kemampuan untuk menunjukkan perilaku yang berbeda. Proses internal ini mungkin atau tidak mungkin mengakibatkan perubahan perilaku dengan segera.
1.1. Interaksi antara perilaku, lingkungan, dan faktor-faktor pribadi
Behaviorisme menunjukkan "satu cara" dalam hubungan antara lingkungan dan perilaku yaitu, lingkungan yang langsung menyebabkan perilaku. Penejelasan Teori kognitif sosial lebih kompleks, menyatakan bahwa perilaku, lingkungan, dan faktor-faktor pribadi, seperti keyakinan dan harapan, keseluruhannya itu mempengaruhi satu sama lain. Misalnya, skor Tim  dalam kuis aljabar (faktor lingkungan) dipengaruhi keyakinannya (faktor pribadi) tentang kemampuannya pada tes aljabar. Keyakinannya, memengaruhi perilaku (dia mengadaptasi kebiasaannya dalam belajar), dan perilakunya mempengaruhi lingkungan (dia pergi ke rumah Susan untuk belajar) teori kognitif sosial menyebut ini sebagai pengaruh timbal balik atau penyebab timbal balik.
1.2. Interpretasi penguatan (rinforcemenet) dan hukuman (punishment)
Tokoh dan teori kognitif sosial setuju bahwa penguatan dan hukuman adalah konsep yang penting, tetapi mereka menginterprestasi pengaruh dari konsep-konsep ini berbeda. Seperti telah dibahas di atas, pandangan tokoh behavioristik terhadap penguatan (reinforcers) dan hukuman (reinforcement) sebagai penyebab langsung dari perilaku. Sedangkan dalam teori kognitif sosial, penguatan (reinforcement) dan hukuman (punishment) menyebabkan harapan sebagai gantinya. Misalnya, jika Anda belajar keras dan melakukan ujian dengan baik, Anda mengharapkan untuk melakukannya dengan baik pada tes kedua dengan belajar dengan cara yang sama. Ketika Anda melihat seseorang yang diperkuat atau dihukum karena perilaku tertentu, Anda mengharapkan akan diperkuat atau dihukum untuk perilaku serupa. Seperti kepercayaan harapan adalah proses dari mental.
Fakta bahwa harapan seseorang dapat menunjukan bahwa mereka menyadari perilaku mana yang akan diperkuat. Hal ini penting karena, menurut teori kognitif sosial, penguataan dapat merubah perilaku hanya ketika peserta didik tahu perilaku apa yang sedang diperkuat (Bandura, 1986). Tim percaya bahwa perubahan kebiasaan belajarnya adalah penyebab Skor nya yang meningkat, sehingga ia mempertahankan kebiasaan nya dalam belajar. Jika dia percaya bahwa strategi lain lebih efektif, ia akan menggunakan strategi itu. Tim tidak hanya menaggapi penguatan yang diberikan, selain itu ia aktif menilai efektivitas srtategi yang akan dilakukannya.
Pentingnya kognisi siswa memiliki dua implikasi untuk guru. Pertama, guru harus menjelaskan tingkah laku apa yang akan diperkuat, sehingga siswa dapat menyesuaikan perilaku mereka dengan sesuai. Kedua, mereka harus memberikan umpan balik sehingga peserta didik tahu perilaku apa yang telah diperkuat. Sebagai contoh, jika seorang siswa mendapat penghargaan penuh pada nilai esainya, tetapi siswa tidak tahu kenapa ia mendapatkan penghargaan tersebut, mukin saja di lain waktu dia tidak akan tahu bagai mana merespon yang benar di waktu berikutnya.
1.3. Tidak terjadinya konsekuensi yang diharapkan
Teori kognitif sosial juga membantu menjelaskan perilaku ketika harapan tidak ditemukan. Misalnya, instruktur Anda memberi Anda tugas, Anda bekerja keras pada tugas tersebut, tetapi Beliau tidak meminta utuk mengumpulkan tugas tersebut. Tidak terjadinya penguatan yang diharapkan: (niali/penghargaan untuk tugas) dapat bertindak sebagai hukuman, Anda mungkin akan kurang  bekerja keras untuk tugas berikutnya.
Sama seperti tidak terjadinya penguatan yang diharapkan dapat bertindak sebagai hukuman, tidak terjadinya hukuman yang diharapkan dapat bertindak sebagai penguatan (Bandura, 1986).
2.      Modeling
Modeling, kecenderungan individu untuk meniru tingkah laku yang mereka amati dari orang lain, adalah konsep utama dari teori kognitif sosial. Misalnya Tim, mengemati bahwa Susan telah berhasil dalam persiapan belajar untuk menghadapi ujian. Kemudain Tim meniru tingkah laku Susan; imitasi perilaku langsung adalah salah satu bentuk modeling. Istilah  modeling kadang-kadang keliru digunakan dalam istilah imitasi. Misalnya, seseorang mungkin berkata, "Tim mencontoh (modeled) kebiasaan belajar susan " Ini adalah istilah yang salah. Model atau modeling adalah perilakunya dan pengamat perilaku sedangkan imitasi atau meniru (imitate) adalah perilaku orang yang diamati (Pintrich & Schunk, 2002).
Kepentingan dari modeling dari kehidupan sehari-hari kita merupakan hal yang sulit untuk melebih-lebihkan. Modeling membantu menjelaskan pengaruh yang kuat pada budaya belajar siswa.
2.1. Modeling kognitif (cognitive modeling)
Aplikasi modeling yang menekanankan instruksi disebut pemodelan kognitif, yang melibatkan model yang ditampilkan(didemonstrasikan), bersama dengan gambaran verbal pada pikiran dan tindakan model  (Pintrich & Schunk, 2002).
Medeling kognitif memungkinkan peserta didik untuk memperoleh manfaat dari pemikiran dari para ahli.
3.      Vicarious learning
Meskipun hanya mengamati tindakan dari orang lain yang dapat mempengaruhi subjek belajar, seseorang juga belajar mengamati konsekuensi dari perilaku orang yang diamati. Vicarious learning terjadi ketika orang mengamati konsekuensi dari perilaku orang lain mereka akan menyesuaikan perilkau mereka dengan perilaku yang sesuai (Schunk, 2000). Contohnya dalam kasus Tim, Tim melihat bagaimana susan telah bekerja dengan baik dalam kuis aljabar,  sehingga tim mendapatkan penguatan atas konsekuensi yang telah susan lakukan dalam kuis.Tim mengaharapkan diperkuat untuk mengimitasi perilaku susan. Modeling dan vicarious learning bekerja bersamaan untuk mempengaruhi perilaku dalam beberapa cara.
4.      Efek modeling terhadap perilaku
Modeling dapat mempengaruhi perilaku setidaknya dengan empat cara yaitu: belajar perilaku yang baru; memfasilitasi perilaku yang ada (yang akan dimunculkan); Mengubah inhibisi; membangkitkan emosi;
4.1. Belajar Perilaku yang baru
Dengan mencoba untuk meniru perilaku, mereka mengamati orang lain, orang dapat memperoleh kemampuan, mereka tidak dapat menunjukan perilaku mereka sebelum mereka mengamati model. Ketika siswa mengamati guru yang menunjukkan bagaimana untuk memecahkan persamaan aljabar untuk pertama kalinya, dengan berbagai cara seperti membuat potongan yang tepat dengan kayu, membuat perumpamaaan untuk memecahkan persoalan aljabar menggunakan manik-manik, atau mendemostrasikan kemampuan berkomunikasi, guru berusaha untuk memanfaatkan aspek penting modeling.
4.2. Menfasilitasi perilaku yang ada
Anda menghadiri konser, dan pada akhir acara, seseorang berdiri dan mulai bertepuk tangan. Dalam hal lain, setelah aga ragu-ragu, Anda bergabung untuk bertepuk tangan. Jelas, orang-orang sudah tahu cara berdiri dan bertepuk tangan. Orang "memfasilitasi" perilaku Anda dan penonton konser yang  lain melalui modeling.
4.3. Merubah inhibisi
Inhibisi (keinginan yang tertahan) adalah pemaksaan diri pembatasan pada perilaku seseorang dan modeling dapat memperkuat atau melemahkan inhibisi. Tidak seperti fasilitas perilaku yang ada, modeling merubah inhibisi melibatkan perilaku sosial yang tidak dapat diterima, seperti melanggar peraturan ruang kelas (Pintrich & Schunk, 2002).
Sebagai contoh siswa lebih kecil kemungkinannya untuk melanggar aturan kelas jika salah satu dari teman mereka ditegur ketika melanggar peraturan kelas. Inhibisi mereka untuk melangga peraturan diperkuat.
4.4. Membangkitkan emosi
Akhirnya, reaksi emosional seseorang dapat diubah dengan mengamati sebuah tampilan emosi model yang diamati. Sebagai contoh, pengamatan kegelisahan seorang penyelam di tempat terjun yang tinggi dapat menyebabkan pengamat untuk menjadi lebih takut. Apabila kita melihat sepasang kekasih yang bertengkar dalam sebuah pesta, kita mungkin menemukan diri kita merasa canggung dan malu. Perhatikan disini bahwa emosi yang dimodelkan belum tentu orang-orang yang sama akan terstimulasi. Kemarahan yang dicontohkan tidak menstimulasi kita untuk marah, tetapi emosi kita lebih cenderung pada rasa malu atau ketidaknyamanan.
Dari contoh di atas kita dapat melihat modeling dapat menghasilkan perilaku, kognisi, dan bahkan hasil afeksi (terkait emosi). Hasil perilaku terjadi ketika perilaku dipelajari atau difasilitasi, hasil kognisi terjadi akibat dari pengamatan konsekuensi perilaku orang lain, dan hasil afeksi adalah akibat dari modeling emosi.
5.      Teknologi Dan Belajar: Dampak Simbolis modeling Perilaku
Kita cenderung melupakan bawa komputer bukanlah satu-satunya tehnologi yang dapat mempengaruhi belajar. Televisi dan bentuk-bentuk lain dari video secara signifikan merupakan studi dari teori kognitif sosial karena dampak simbolis modeling perilaku dan hampir universal dipaparkan di televisi.
Ratusan studi yang dilakukan selama hampir empat dekade terakhir telah menghasilkan sejumlah penemuan-penemuan yang menghawatirkan tentang efek menonton televisi (Berk, 2001). Sebagai contoh, menonton televisi berlebihan adalah berhubungan dengan masalah penyesuaian, termasuk kesulitan dengan hubungan keluarga dan rekan (Liebert, 1986). Pengaruh  ini sering dirasakan anak-anak yang memiliki ukuran kecerdasan yang rendah dan orang-orang yang datang dari keluarga berpenghasilan rendah, yang cenderung untuk menonton televisi lebih sering dibandingkan berinteraksi dan mengambil keuntungan dari teman-temanya (Huton, Watkins dan Kunkel, 1989).
5.1. Modeling simbolik dan menonton televisi
Ribuan studi harus benar-benar secara konsisten menegaskan bahwa model simbolik mempengaruhi perilaku. Penelitian ini dimulai dengan penelitian klasik bandura di tahun 1960-an menunjukan bahwa anak-anak yang menonton model agresif dalam film atau perilaku agresif yang digambarkan sebagai karakter kartun, akan berperilaku lebih agresif ketika bermain dengan teman-temannya daripada mereka yang tidak melihat model apa pun (Bandura, Ross, & Ross, 1963).
Sejak itu penelitian lebih hati-hati dalam mengontrol faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi seperti kecerdasan, status sosial ekonomi, penerimaan sekolah, dan pola asuh orang tua, secara konsisten telah menunjukan bahwa kekerasan dalam televisi telah meningkatkan semangat tingkah laku bermusuhan pada anak-anak muda  (Donnerstein, Slaby, & Eron, 1994) hal ini telah menggambarkan seperti khursus agresif secara luas dan bebas (Slaby, Roedeil, Arezzo, & Hendrix, 1995, mukasurat 163). Dan hal ini cenderung “mengeraskan” anak-anak untuk menjadi agresif, membuat mereka lebih mentoleransikan perilaku agresif kepada anak-anak lain (Drabman & Thomas. 1976).
Kekerasan televisi juga memiliki efek gairah emosional. Pada pemirsa televisi yang berat dan banyak menonton kekersan dalam TV akan cenderung melihat dunia sebagai tempat yang menakutkan dimana agresi dan kekerasan tersebar luas dan permusuhan adalah cara yang diterima untuk mengatasi masalah (Donnerstein et al., 1994). Dan penelitian terakhir menunjukkan bahwa televisi cenderung memperkuat stereotip.


6.      Proses yang melibatkan belajar dari modeling
Modeling dapat mengakibatkan belajar, memfasilitasi perilaku, merubah inhibisi, dan menimbulkan emosi.  Adapun Ada empat macam proses yang dapat terlibat dalam belajar dari modeling yaitu perhatian (attention), ingatan (retention), reproduksi (reproduction), dan motivasi (motivation) (Bandura, 1986).
·         Perhatian (attention) : Perhatian pelajar diambil sebagi aspek penting yang ditunjukan oleh tingkah laku yang dicontohkan atau dimodelkan.
·         Ingatan            (retention): tingkah laku modeling ditransfer kepada memori dengan mental verbal atau visual yang menggambatkan tingkah laku modeling
·         Reproduksi(reproduction): Peserta didik mereproduksi perilaku yang telah disimpan dalam memori.
·         Motivasi (motivation): peserta didik termotivasi oleh harapan terhadap penguatan untuk mereproduksi perilaku modeling.
Beberapa aspek dari proses ini merupakan hal yang penting untuk guru. Untuk belajar dari seorang model (yang diamati) perhatian pengamat harus digambarkan pada aspek penting pada tingkah laku yang dimodelkan (Bandura, 1986)
7.      Efektivitas modeling
Ketika membicarakan “kefektivan” sebuah model perilaku, tergambarkan kemungkinan bahwa seorang pengamat akan menimitasi model perilaku. Seorang pengamat akan lebih mengimitasi model perilaku yang efektif dibandingkan model perilaku yang tidak efektif. Efektivitas perilkau modeling bergantung pada tiga factor:
§  Rasa kesamaan
§  Rasa kompeten
§  Status rasa.
Ketika kita mengamati tingkah laku dari yang diamati kita akan lebih mengimitasi perilakunya merasakan perilaku yang diamati sama seperti kita (Shunk,1987). Beberapa model akan lebih efektif dibandingkan satu model, karena kemungkinan menemukan perilaku yang diamati dengan perasaan yang sama dapat meningkatakan jumlah yang sama seperti meningkatnya perilaku model.
Persepsi dari kompetensi model, adalah factor kedua yang meningkatkan efektivitas model, berinteraksi dengan kesamaan persepsi.  Orang akan lebih mungkin untuk mengimitasi model yang dianggap kompeten dibanding model yang tidak kompeten, yang terlepas dari kesamaan.
Factor ketiga adalah status, status diperoleh ketika individu membedakan diri dari orang lain di bidang mereka. Orang akan cenderung untuk meniru individu dengan status yang tinggi seperti atlet propesional, bintang rock popular, dan para pemimpin dunia.
Seorang guru pun merupakan model yang berpengaruh meskipun perhatian diungkap oleh pembaharu pendidikan dan guru sendiri.
8.      Regulasi diri
Kita telah melihat bagaimana kepercayaan dan harapan seseorang mempengaruhi perilaku da lingkungan. Hal ini dicapai melalui regulasi diri, yaitu proses penerimaan tanggung jawab dan kontrol untuk belajar sendiri. Regulasi diri peserta didik menggunakan pikiran dan tindakan sendiri untuk mencapai tujuan belajar akademik. Mereka mengenali tujuan, mengambil dan mempertahankan strategi untuk mencapai tujuan ini.
Modifikasi perilaku kognitif
Tren dalam pendidikan telah meningkatkan tanggung jawab peserta didik dalam proses belajar (Stipek, 1996; Zimmerman & Schunk,1989) dan sejumlah program telah dikembangkan untuk mengajarkan regulasi diri. Program ini biasanya dikombinasikan dengan strategi manejemen diri kognitif dengan menargetkan tingkah laku spesifik (Alberto dan Troumant,1999). Salah satu nya seperti modifikasi perilaku kognitif, yang telah didefinisikan sebagai modifikasi perilaku secara terang terangan melalui manipulasi pikiran secara tersembunyi (Hallahan & Sapona, 1983) hal ini termasuk aspek-aspek behaviorisme yang mengasumsikan bahwa prinsi dasar penguatan adalah pelaksanaan, tetapi perbedaannya dengan behaviorisme adalah dalam hal ini menegaskan oprasi kognisi seseorang untuk mendapatkan perubahan dalam perilaku (Stipek, 1996).
Modifikasi perilaku kognitif mengharuskan siswa bertanggung jawab lebih untuk perilaku belajar mereka sendiri dengan melakukan hal dibawah ini:
§  Pengaturan tujuan (goal setting)
§  Pengamatan diri (self-observation)
§  Penilaian diri (self-assessment)
§  Penguatan diri (self-reinforcement)
9.      Teori kognitif sosial di ruang kelas
Teori kognitif sosial mempunyai cakupan yang luas dalam penerapan nya baik dalam ruang kelas kususnya dan di kehidupan sehari-hari umumnya.
Dalam ruang kelas prinsip-prinsip di bawah ini dapat membantu guru menggunakan penerapan teori kognitif sosial di kelas :
§  Bertingkah laku seperti tingkah laku yang diinginkan untuk siswa tiru
§  Buatlah aturan dan prosedur di kelas dengan tulus dan konsisten.
§  Garis bawahi pengaruh modeling dan proses memajukan belajar.
§  Jadikan siswa beada pada peran modeling
§  Garis bawahi tamu sebagai peran model ketika memungkinkan.
10.  Menempatkan teori kognitif sosial ke dalam perspektif
Seperti gambaran belajar dan tingkah laku, teori kognitif sosial memiliki kelebihan dan kekurangan. Sperti contoh telah ditekankan bahwa pentingnya modeling sebagai alat untuk memajukan belajar dan perubahan tingkah laku. Dan teori kogntif sosial membantu mengatasi beberpa batasn behaviorisme dengan membantu memahami pentingnya kognisi seseorang dalam bentuk kepercayaan dan harapan pada tindakan mereka.
Bagaimanapun seperti teori-teori lain teori kognitif sosial memiliki beberapa batasan yaitu:
§  Teori ini tidak dapat menjelaskan kenapa seseorang cenderung mengikuti dan mengimitasi beberapa tingkah laku yang dimodelkan dan tidak mengikuti atau mengikuti yang lain.
§  Teori ini tidak memberikan alasan untuk belajar tugas yang kompleks, seperti belajar menulis
§  Teori ini tidak menjelaskan peran keadaan dan interaksi sosial dalam lingkungan belajar yang kompleks.
Kita menindentifikasi batasan ini bahwa setiap teori belajar tidak lengkap dan saling melengkapi satu sama lain, mampu menjelaskan beberpa aspek dan tidak menjelaskan aspek lainnya. Hal ini menunjukan kenapa seorang guru harus memahami perbedaan pandangan belajar beserta kelebihan dan kekurangannya.
III.             PERBEDAAN PANDANGAN TEORI BEHAVIORISME DAN TEORI KOGNITIF SOSIAL TERHADAP BELAJAR
Teori behaviorisme focus pada perilaku yang dapat diamati (hal ini bertolak belakang dengan berfikir atau proses lain yang terdapat pada kepala peserta didik atau subjek belajar) dan istilah dalam kognitif berimplikasi pada memory, berpikir, dan pengetahuan.
Seperti telah kita tulis sebelumnya bahwa teori kognitif sosial berakar atau berawal dari teori behaviorisme. Contohnya banyak penulis buku tentang teori kognitif sosial memasukan aspek teori kognitif sosial yang focus  dalam bukunya membahas prinsip tingkahlaku (behavioral principle) (Baldwin & Baldwin, 1998) dan beberapa orang masih menggunakan istilah obselvasioanal learning atau teori sosial learning untuk mengistilahkan teori kognitif sosial.
Adapun yang membedakan teori kognitif sosial denagn teori behaviorisme setidak-tidaknya ada tiga hal yaitu:
a.       Cara belajar yang dilihat
b.      Cara interaksi antara tingkahlaku lingkungan dan factor-faktor pribadi digambarkan.
c.       Dan cara penguatan (reinforcement) dan hukuman (punishment) di interprestasikan
Ketika guru memperalkukan siswa dengan sopan dan hormat, siswa dapat mengasosiasikan lingkungan ruang kelas dengan cara peduli guru mereka melalui kondisioning klasik, belajar merespon sekolah dengan emosi positif. Guru juga dapat meningkatkan rasa kompetensi siswa dengan upaya modeling,  ketekunan dan penguatan pencapaian tujuan yang tulus.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ada tiga pandangan dalam behaviorisme dalam membahas belajar yaitu contiguitas conditioning, classical conditioning, dan operant conditioning.
Adapun kontigutas memandang belajar merupakan hasil dari asosiasi stimulus dan respon yang dekat. Kondisioning klasik memandang belajar sebagai adanya stimulus yang tidak tidak terkondisi yang menghasilkan respon terkondisi. Kemudian apabila stimulus tidak terkondisi terus menerus dimunculkan dan menjadi stimulus maka akan menghasilkan respon yang terkondisi. Kodisionig operan menkankan pada konsekuensi perilaku yang merupakan respon terhadap stimulus.
Teori behaviorisme tidak memikirkan tentang istilah memory, berpikir, dan pengetahuan, yang di bahas oleh teori kognitif sosial. Teori konitif sosial menekankan pada proses dan factor-faktor pribadi seseorang. Yang dapat berupa kepercayaan dan harapan dari dalam diri seseorang.











DAFTAR PUSTAKA
Feist, Jess dan Gregory J Feist.Teori Kepribadian. Salemba Humanika.Jakarta:2010
Matlin, w.  Margareth. 1992. psychology. Harcourt Brace Jovanovich colledge  publisher. United

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tutorial Lengkap Agar disetujui Daftar Google Adsense

Sejak membuat BLOGOOBLOK, ratusan sudah postingan yang saya buat. Tidak sedikit diantaranya membahas  Google Adsense . Ini menandakan...