Selasa, 11 November 2014

Filsafat Ibnu Sina



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latang Belakang Masalah

Filsafat memang membingungkan. Namun dari filsafat itulah kita dapat mengetahui esensi suatu hal. Hingga kini menjadi pertanyaan. Filsafat masih saja menjadi kajian wajib diberbagai ajang pendidikan. Dalam islam juga ada filsafat Islam, filsafat yang mengupas tentang keberadaan Islam itu sendiri. Salah satu pengembangnya adalah Ibnu Sina, seorang dokter, ulama, psikolog, seniman, bahkan politisi. Namun menariknya Ibnu Sina juga seorang filosof muslim yang berani melawan kekangan filsafat Yunani, bahkan buah pemikirannya ini pun juga dikonsumsi oleh para pelajar barat.
Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina merupakan sosok yang unik diantara para filosof muslim ia tidak hanya unik, tapi juga memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu - satunya filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad.

B.     Rumusan Masalah
1.      Siapakah Ibnu Sina?
  1. Bagaimana pemikiran filsafat Ibnu Sina?
  2. Bagaimana filsafat ketuhanan Ibnu Sina?

C.    Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui siapa Ibnu Sina.
  1. Untuk mengetahui bagaimana pemikiran filsafat Ibnu Sina.
  2. Untuk mengetahui bagaimana filsafat ketuhanan Ibnu Sina.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Biografi Ibnu Sina
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Husain Ibn Abdillah Ibn Sina. Ia lahir pada tahun 980 M di Asfshana, suatu tempat dekat Bukhara. Ayahnya berasal dari Kota Balakh kemudian pindah ke Bukhara pada masa Raja Nuh ibnu Manshur dan diangkat oleh raja sebagai penguasa di Kharmaitsan, satu wilayah dari kota Bukhara. Di kota ini ayahnya menikahi Sattarah dan dikaruniai tiga orang anak; Ali, Husein (Ibnu Sina), dan Muhammad. Ia hafal kitab metafisika karangan aristoteles, setelah membacanya 40 kali.[1] Dibidang filsafat, Ibnu Sina dianggap sebagai imam para filosof di masanya. salah satu karyanya adalah as-Syifa’ yang memuat tentang filsafat.
2.   Pemikiran Filsafat Ibnu Sina
Ibnu Sina sangat mengutamakan logika, justru fikiran adalah satu jalan pengetahuan yang diberikan dengan satu aturan tertentu kepada suatu yang tidak diketahui.[2] Jalan fikirannya bertolak dari konsepsi makhluk dan mengembangkan dengan argumentasi ontologia.
Menurut dia, ada tiga macam sesuatu yang ada. Pertama, pentingnya dalam diri sendiri, tidak perlu kepada sebab lain untuk kejadiannya selain dirinya sendiri (yakni Tuhan). Kedua, berkehendak kepada yang lain, yaitu makhluk yang butuh kepada yang menjadikannya. Ketiga, makhluk mungkin, yaitu bisa ada dan bisa tidak ada, dan dia sendiri tidak butuh kepada kejadiannya (benda-benda yang tak berakal seperti pohon-pohon, batu, dan sebagainya).[3]


 
[1] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996,  hal: 115
[2] Hamzah Ya’kub, Filsafat Agama: Titik Temu akal dengan Wahyu, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,       1992, hal: 41
[3] Ibid
Secara garis besar Ibnu Sina membagi menjadi dua segi yaitu[4]:
a.       Segi fisika, yang membicarakan tentang macam – macam jiwa (jiwa      tumbuhan, jiwa hewan dan jiwa manusia). Jiwa tumbuh-tumbuhan dengan daya – daya: Makan, Tumbuh, Berkembang biak. Jiwa binatang dengan daya-daya: Gerak, Menangkap dengan dua bagian:  Menagkap dari luar dengan panca indera dan Menangkap dari dalam dengan indera – indera.

b.      Segi metafisika, yang membicarakan tentang wujud dan hakikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa. Bagi Ibnu Sina sifat wujudlah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan diatas segala sifat lain, walaupun essensi sendiri. Essensi, dalam faham Ibnu Sina terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap essensi yang dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Tanpa wujud, essensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting dari essensi.

3.   Filsafat Ketuhanan Ibnu Sina
Ibnu Sina merupakan murid al Farabi. Dalam teori ketuhanan, keduanya membedakan wujud dari esensi dan menetapkan bahwa wujud sesuatu bukan merupakan bagian dari esensinya. Kita bisa membayangkannya tanpa bias mengetahui ia ada atau tidak. Sebab wujud merupakan salah satu aksidensia bagi substansi bukan sebagai unsur pengadanya. Prinsip demikian berlaku bagi Yang Maha Esa SWT, yang wujudnya tidak berpisah dari substansinya. kita tidak membutuhkan pembuktian yang panjang untuk menetapkan eksistensi Allah. Kita cukup mengetahui zat-Nya sekaligus. Bukti ontologis ini lebih bersifat metafisis dibandingkan fisis.[5]
[4] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1985, Cet.V, hal: 34-35
[5] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, Penj. Yudian Wahyudi Asmin, Jakarta: Penerbit Bumi Aksara, Cet. III, 2004, hal: 120-121
BAB III
KESIMPULAN

A.  KESIMPULAN

1.      Ibnu Sina adalah ilmuan muslim yang mahir di banyak bidang seperti kedokteran, politik, kesenian, dan filsafat. Ia juga seorang yang produktif menelurkan karya. Salah satu karyanya adalah as-Syifa’ yang memuat tentang filsafat.
  1. Jalan fikiran ibnu Sina bertolak dari konsepsi makhluk dan mengembangkan dengan argumentasi ontologia. Secara garis besar, ia membagi sesuatu yang ada atas dua sisi. Yaitu Fisika dan Metafisika.
  2. Ibnu Sina menganggap bahwa tidak membutuhkan pembuktian yang panjang untuk menetapkan eksistensi Tuhan. Kita cukup mengetahui zat-Nya sekaligus. Tuhan bertindak dalam alam yang bergerak terus-menerus dalam wujud yang ada, sebagai sebab dirinya sendiri atau dibutuhkan oleh yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tutorial Lengkap Agar disetujui Daftar Google Adsense

Sejak membuat BLOGOOBLOK, ratusan sudah postingan yang saya buat. Tidak sedikit diantaranya membahas  Google Adsense . Ini menandakan...